Sei sulla pagina 1di 12
Delik Perzinahan 27 DELIK PERZINAHAN MENURUT KUHP DAN PERKEMBANGANNYA Hasbullah F. Sjawie Penulis artikel ind, mengulas masalah delit perduahan dalam tinjauan KGHP serta per- Aembangannye, Hasbullah sangat mencemas- an maraknya prostitusi di Indonesia, terutama i Kota-kota besar. Prostitusi sekarang ini bisa berkembang demikian pesat karera prostitusi telah dianggap sebagat suatu "ladang bisnis" yang menguntungkan. Penulis berpendapat bahwa ketentuan hukum tentang percinahan harus diperbaharui dan harus benarbenar mencerminkan aspirasi dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu, dia meng- usulkan agar aturan kukwn pidana tentang Perdinahan lebih diperketat lagi dalam KUHP ‘Nasional yang akan datang. Pendahuluan ‘Bolum lama ini mass media membetitahukan meningkatnya kuantitas pe~ Janggaran hukum (baca: kejahatan) yang terjadi disekeliling kita. Peningkatan ‘ersebut tidak hanya berkisar pada kejahatan yang menyangkut harta benda, ‘tetapi juga pada kejahatan yang berkaitan dengan Kesusilaan. lik susila, yang oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diatur-dalam pasa! 281 sampai dengan 303 bis, terdiri dari beberapa delik. ‘Adanya penambahan pada kelompok yang mengatur kejahatan susila itu da- lam KUHP (misalnya penambahan pasal 303 bis) menunjukkan bahwa apa yang dianggap atau dipandang porno, a susila atau melanggar kehormatan kesusilaan itu diantara orang per orang, suama lingkungan masyarakat, suku bangsa, negara dan sebagainya adalah (relatif) berbeda; dan bahkan pan- Nomor 1 Tahun XVI 28 Huda dan Pembangunan dangannya iu akan berubah pula dari masa ke masa." ‘Meskipun demikian tidak terpungkiri bahwa ada pula bagian dari delik Kesusilaan yang bersifat universal, dimane la akan menjadi suatu ketentuan universal atau Ketentuan yang menjangkaw Ke seluruh negara-negara yang, I. Delik demikian dilskukan dengan kekerasan, seperti petkosaan; 2. Yang menjadi korban adalah orang di bawah umur; 3. Delik yang demikian dilakukan dimuka umum; 4, Korban dalam keadaan tidak berdaya, pingsan dan sebagainya; 5. Terdapat hubungan tertentu antara pelaku dan objek delik, misalnya, seorang atasan terhadap bawahannya. Diantara berbagai perbuatan yang menyangkut (pelanggaran) kesusilaan, salah satu (Kejahatan?) yang juga suka diberitakan oleh mass media, akan fetapi jarang disentoh, adeiah masalah yang berkisar perzinahan dan prostitusf. Jika kita perhatikan dengan seksama perkembangen bl tersebut di kola-kora besar di tanah air, Khususnya di Jakarta, menurut kami sesungguhnya sudab sampai pada taraf yang mengkhawatirkan. Kekhawatiran itu akan terasa bila kita “maa” menengok industri prosti- twsi yang ada di sekitar kita, baik yang sepertinya "Tegal” (atau sering diistilahkan dengan lokalisasi), maupun yang liar. Cobalah "buang” waktu sedikituntuk memperhatikan, bagaimana perkembangen kuantitas "populasi" pihak-pihak yang berkecimpung dalam industti yang seperti itu. Sudah ba- rang tent sera ini akan membawa dampak yang tidak baik (bukannya: ku- ‘ang baik) bagi masyarakat pada umummya, terlebih yang bermukim di seki- tar tempat berlangsungnya “busisses transaction” yang demikian. Peng- anjayaan, penyalahgunaan obat terlarang, babkan pembunchan, juga sering terjadi ditempat lokalisasi bisnis haram ini, KUHP kita, yang merupakan "warisan” penjajah, yang sudah usang dan “renta” itu, yang ketentuan didalamnya banyak “mencover” kepentingan pe- ‘erintahan kolonial, pada dasarnys juga meogatur kejahatan gusila. Apakah pengaturan delik perzinahan, yang merupakan bagian dari delik susila, yang ‘telah diatur KUHP ina, dapat tetap kita pertahankan, dengan memperhatikan perkembangan yang terjadi di alam nyata, khususnya prostitusi dalam hukum + Agi Hamas: Pomograf Dalam Buku Pidong; Suat Sul! Prbendingan Qakara: Bins Muli, 1987), bal 34 eas Sen Atl: Herzientng, Gand Rug, Sanp, Perhembongon Delt Gauss: Edangen, 1 bu. 360 Pebruari 1996 Delik Perzinahan 29 kita, adalah cema yang dicoba untuk diangkat pada tulisan ini. Sekitar (Subjek) Prostitusi Perzinahan sering dikaitkan, antara Iain, dengan prostitusi. Menurut agama dan ajaran Islam, perzinahan itu terjadi apabila dilakukannya hubung- an kelamin antara pria dengan wanita yang tidak terikat tali perkawinan. Kami kira, pandangan agama lain non Islam pun akan demikian. Dari sudut pandang religius-sosiologis, bagi suatu perzinahan, tidaklah ipermasalabkan apakah antara pria dan/atau wanita yang melakukan perzi nahan itu, terikat tai perkawinan dengan pria atau wanita lainaya, Juga tidak dipersoalkan, apakah perzinahan itu terjadi berdasar keinginan semata dari kedua belah pihak atau berdasar pembayaran (wang) tertentu. Dengan perka- taan lain, perzinahan itu febih fuas cakupannya daripada "overspell”? Terlepas dari persangkaan bahwa usia prostitusi di dunia ini adalah sama tuanya dengan usia manusia itu sendiri, sepertinya kita akan sepakat menga- takan disini bahwa prostitusi adalah sebuah ladang bisnis usang yang tidak pernah lapuk termakan usia. Dia tetap dapat eksis dan hidup di berbagai be- lahan dunia, Mungkin hanya prosentase kuantitasnya saja yang membedakan keberadannya di suatu daerah atau negara dengan daerah aiau negara laianya. Dan, yang cukup mengagetkan adalah bahkan hasil yang didapat deri seorang pelaku bisnis ini per tahunnnya rata-rata di Amerika Serikat pada 1982 ber- kisar antara US $ 15,000 sampai US $ 45,000.* Sungguh angke yang cukup besar, bila kita bandingkan dengan pendapatan dari pekerjaan lain, yang tidak menjual tubwh. ‘Hubungan sex antare pria dan wanita yang bukan isterinya ini, dilakukan berdasar uang semata, atau imbalan lai truksi hukum perdata seperti jual-beli jika kita boleh menganalogikannya. Disini tidak dipersoalkan perassan “suka” atau “tidak sukanya” para pelaku, tetapi ia akan terjadi dan karenanya berkehendak hanya dikarenakan semata dan becdasarkin wang atau pembayaran/imbalan tertentu lainnya. Petkembangan "peketjaan” prostitusi, ternyata tidak lagi semata suatu pekerjaan "full time”. [a tidak lagi harus merupakan pekerjaan utama dari inet: Topo Santoro: Masatch Delk Percnahan di Indonesla Dewasa Ini, dalam Majlah Hucum den ‘Pembangunaa No, 2 Th, XXV Apel 1995 Garis; FAUT, 1995) al. 156-157 “Cer P. Simon and Ann D. Wie: Beetag the System: The Underground Economy, (Dover, MD: ‘Avborn House, 1982), hal. 49 Nomor 1 Tehun XX¥T 30 nos Hukum dan Peiubangunan mereka yang berkecimpung dalam dunia yang demikian. Di USA, oleh Lind- quist dilansir, bahwa disamping “full time", ada pula pelaku bisnis ini yang bekerja "part time", seperti bu rumah tangga, pegawai departemen store, pegawai kantoran, yang membutuhkan ang ekstra agar mencukupi gaya bi- dup mewah yang dilingkungannya, dan lain sebageinya.* Bagaimana dengan di negara kita? Pemberitean mass media kiranya su- ah cukup membuktikan fenomena yang sama. Perempuan eksperimen, atau yang lebih populer dengan istilah perek, antara lain, telah memperlihatkan kerja paruh waktunya dari yang bersangkutan dalam bisnis ini. Latar belakang serta motivasi para pelaku bisnis ini ternyata cukup beragam, dan pada umumnya adalah dikarenakan desakan ekonomi; tertips~ yang kemudian tidak max lepas dari ketertipuannya-, kecanduan alkohol dan obat terlarang; dijual oleh suaminya -sepert yang terjadi di Jakarta, yang bbaru-baru ini diberitakan mass medi perkosa.* Dalam beroperasinya sehari-hari, dapat ditemui seorang koordinator atau xgermo, yang membawahi beberapa pelacur. Si germo inilah yang menyedia- kan beberapa fasilitas penunjang serta dimaksudkan untuk menaikkan ribai jual “dagangannya”. Hartono, sebagai misal, dari pemberitaan mass media beberapa waktu yang Ialu, adatah seorang germo bagi pelacur “high class" -pada saat per- sidangan ia mengaku bukan germo, tetapi hanyalah fasilitator saja- yang ‘verani berinvestasi dengan cara mengoperasikan bedah plastik anak-anaknya (baca: pelacur asuhannya), juga menyediakan-fasilites tempat tingeal dan assesoris lainnya, Sefain yang beroperasi dibawah germo, ditermui pula pelacur “free Janes", yang mandiri dan bekerja tanpa pengawasan orang lainaya. Yang de- mikian ini tidak terbatas pada yang “part time" saja, tetapi juga yang "pro- fesional", yang *menjual badan* adalah satu-satunya mata pencahariannya. Dengan melihat latar belakang tersebut diatas, banyak abl peeons kan argumen dan teorinya. Karenanya masalah prostitusi ini ti sematsrmata anys injaudar suds pandang sesiolog, tap lah banyak ‘meminta peran serta dari disiptin iin ainnya, seperti psikologi, dengan psychoanalitic teorinya, Kedoktesan jiwa, ekonomi, dan hukum, disamping bidang lainnya dan para agamawan, Semua ini wajib bersatu padu, bahu 9 John H. Lindel: Mlslemeanor Crime: Tnvfel Criminal Pursul, (Newbury Packs Suge Publication, 1988), bal. 38 Pd, ba. 39 Pebruari 1996 Delik Percinahan 3 ‘membahu, untuk memecahkan masalah tersebut. Pemecahan yang ingin dica- pal ini, tidak lain, adalah menghapuskan, paling tidak meminimalkan secara ‘maksimal, bisnis terlarang itu; baik yang terlarangaya itu berdasar alasan gamma, mora! maupun alasan hukum. Keinginan menghapus prostitusi itu tidal hanya demi kebaikan si pela~ ‘kunya, akan tetapi aspek perlindungan masyarakat memegang peranan untuk ina. Kami kira semua akan sependapat, bahwa pengaruh dan akibat yang di- imbulkan dari praktek prostitusitersebut, baik yang dilokelisir maupun yang liar, akan memberikan dampak yang bucuk bagi masyarakat pada umumnya. Perzinahan Menurut KUBP- Delik perzinchan diatur dalam pasal 284 KUHP; salah sani pasal yang termasuk dalam bab XIV, yaitu kejahatan terhadap Kesusilaan: ‘Lengkapnya pasal 284 KUHP” berbunyi sebagai berikut: (1) Ditwkum penjara selama-lamanya sembilan bulan: 1. a. lakislaki yang beristeri berbuat zina, sedang éiketahuinya, bahwa pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata beclaku padanya; b. perempuan yang bersuami berbuat zina; 2. a, lakitaki yang turut melakukannya perbuatan itu, sedang diketa- ‘huinya, bahwa kawannya itu bersuami +b. perempuan yang tidak berswami yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya, bahwa kawannya itu beristeri dan pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku pada kawannya ina, 2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan suami (Isteri) yang menda- pat malu dan jika pada suami (isteri) itu berlaku pasal 27 Kitab Undang- undang Hukum Perdata dalam tempo 3 bulan sesudah pengadvan itu, di- ikuti dengan permintaan akan bercerai atau perpisahan tempat tidur dan meja makan oleh pecbuatan itu juga. (B) Tentang pengaduan ini pasal 72, 73 dan 75 tidak berlaku. (4) Pengaduan itu boleh dicabut selama pemeriksaan dimuka sidang peng- adilan betum dithulai, () Kalau bagi suami dan isteri itu berlaku pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka pengaduan itu tidak diindahkan sebelum mereka 7 Tejemahan KUHP yang dipskai adalah dai: R, Sunil: Kitab Undang-undang Hub Adana (KLIP) sero Komentar, Cogor Polisi, 1983). Nomor 1 Tahun XXVE 32. Hukum dea Pembangunan iy bercerai, atau sebelum keputusan hakim tentang perpisahan tempat tidur dan meja makan mendapat ketetapan, Jelas, dari perumusannya terlihat bahwa pada pasal perzinahan ini ter- Kandung unsur diskriminatif, yaita erhadap seorang suami yang tidak tunduk pada pasal 27 KUHPerdata iru bebas dari tuntutan pidana -bila ia melakukan perzinzhan-, sementara hal demikian tidak berlaku bagi seorang isteri atau seorang wanita yang berstatus “masih sendiri". Dengan kata lain, disini pendiskriminasian didasari pada golongan penduduk dan jenis kelamin, Keadaan yang bersifat disksiminati€ ini menurut penjelasan resmi pasal 284 KUBP ina timbul didasarkan atas "eigenaardigesamenstelling der Indis- ‘che maatschappij", dimana menurut pandangan pribumi -yang disimpulkan oleh para penguasa Hindia Belanda perzinahan itu hanya mungkin dilakukan oleh pibak wanita." ‘Apakah memang demikian, bahwa menurut hukumn adat dari banyak dae~ rah di Indonesia, perzinahan hanya dapat dilakukan oleh si isteri dipandang sebagai melanggar hak suami. Dikalangen Islam pun perzinahan itu hanya dapat dilakukan oleh si isteri, laki-taki tidak mungkin, karena agama Islam membolehkan poligami Karai kica, baik hukum adat dari banyak daerah Indonesia, terlebih lagi hukum Islam, sama sekali tidak membberikan "previ- lige” bagi seorang pria atau suami untuk dapat metakukan perzinahar tanpa dikenakan suatu sanksi, seperti juga yang dikenakan pada pihak wanitanya. Selain daripada itu, kami kira, adalah tidak tepat bila kita mengidentikan antara perzinahan dan poligami. Dua bal ini sangat berbeda satu sama Tain, ‘Hubungan sex yang dilakukan dalam perkawinan (yang berpoligami) itu bans dapat dilakukan apabila perkawinan yang kedua (Jaci si suami itu) diseleng- ‘gatakan berdasarkan ketentuan hukum Islam. Sementara itu, seperti celah di- sampaikan di atas, perzinahan itu adalah hubungan kelamin pria dan wanita yang bukan suami isteri. Sehingga karenanya sama sekali idaklah dapat kita ‘katakan bahwa hubungan sex dari suami (yang berpoligami itu) dengan iste~ rinya adalah perzinahan, Dalam kaitan ini Prof. Oemar Seno Adji berpenda- ‘pat babwa pecundang-undangan yang demikian -yang mengadakan pendis- kkriminaséan itu- sudah bersifat "out of ouch". Pertanyannya sekarang adalah, apakah kita harus tetap mempertahankan. * Onur Seno Adji: Rukum Pidana Pengembengen (akara: Erlanggt, 1985), hal. 27- *R.Soetilo: Kab Undang undang Halun Pidana (KUHP) seria Komentar, Bogor: Poti, 1), bal. 209 "* Ocmar Seve Adj: Huon Piiana Pengembanga, opt. hal 27. Pebruari 1996 Delik Perzinahan 33 ceksistensi dari pendiskriminatifan seperti tersebut di atas? Apakah dalam alam dan era kemerdekaan yang telah berusia 50 tahun ini, kita masth tetap ‘memandang dan mengartikan perzinahan dalam pengertian KUHP yang de- mikian, yang nota beneny2, sangat berbau orientalis, Apakah memang kebebasan individu yang digembar gemborkan itu adalah merupakan befiteng perahanan yang dapat mencegah masuknya KUHP dalam lingkup privasi (ex) seseorang? ‘Apakah dalam negara yang berazatkan Pancasila ini, dapat ditolelic pendiskriminatifon yang ada paca pasal mengenai perzinahan tersebut diatas ? Kami kira jawabannya adalah tidak. Pancasila tidak mengenal pembedaan status dan golongan seseorang, dan kacenanya, baik si pria mavpun si wa- rita, dengan tidak melihat ada atau tidaknya keterikatan perkawinan meceka

Potrebbero piacerti anche