Sei sulla pagina 1di 3

Di luar negeri, pembantu rumah tangga jadi pengisi kas terbesar bagi negara.

Xxxx dolar setiap


tahunnya mengalir deras dari tenaga kerja Indonesia yang membabu di negeri orang. Gelar
pahlawan devisa terasa relevan dengan jasa dan kontribusi xxxx pekerja Indonesia walau untuk
itu Indonesia terkadang dijuluki sebagai negara pembantu. Tak cuma cibir dari negara tetangga,
risiko menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri juga tak mini. Beragam berita negatif
menghiasi media nasional bahkan internasional yang memampangkan foto TKI yang babak belur
dihajar majikan. Belum lagi mereka yang mesti menghadapi algojo penggal kepala karena
terbelit masalah hukum di negara Timur Tengah.
Menderita di negeri orang bukan jaminan terlindungi di negara sendiri. Berita perlakuan PRT
yang jauh dari kata manusiawi masih rutin menghiasi media massa Indonesia. Mulai dari
penyekapan buruh peralatan rumah tangga di Jakarta hingga perbudakan nelayan di Benjina.
Bahkan menurut salah satu LSM yang paling gencar menyuarakan perlindungan pada Pembantu
Rumah Tangga di Indonesia, Jala PRT, menyebut jika kondisi pembantu rumah tangga di
Indonesia lebih memprihatinkan dibanding pekerja migran di luar negeri. Nasib dan
kesejahteraan Pekerja Rumah Tanggal domestik lebih parah dibanding PRT migran.
Sejak tahun 2004, UU Pekerja Rumah Tangga diajukan ke DPR, tetapi tidak dibahas dalam
periode 2004-2009. Di periode 2009-2014 RUU tersebut menjadi Proleknas (Program Legalisasi
Nasional) 2010, tetapi kembali juga tidak dibahas dan menjadi Proleknas 2011. Sekarang
disiapkan oleh Sekjen DPR-RI. Diharapkan bulan September 2011 sudah disusun naskah RUU
tersebut dan naskah akademisnya.
Selain karena mereka tidak dilindungi oleh hukum, kasus penyiksaan PRT domestik hampir tidak
disorot oleh media. Dari riset-riset yang dilakukan JALA PRT, dalam realitasnya tidak ada
batasan jam kerja, tidak ada batasan beban kerja, tidak ada kejelasan mengenai standar upah,
tidak ada jaminan sosial, kesehatan, tidak ada hak berkomunikasi, berorganisasi dan sebagainya.
Jadi tidak ada kepastian hukum dan kontrol sosial. Nasib mereka tergantung dari kebaikan hati
majikan.
Persoalan PRT domesik rata-rata sama dengan pekerja di luar negeri. PRT belum diakui sebagai
profesi, sehingga hak-haknya juga tidak dilindungi oleh hukum. LSM yang mengkhususkan diri
untuk advokasi PRT sudah mengusulkan kepada DPR agar dibuat UU Perlindungan Pekerja

Rumah Tangga. Di tingkat internasional ada konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional)
Pekerja Rumah Tangga. Usaha perlindungan terhadap PRT diharapkan mendorong pemerintah
Indonesia agar segara meratifikasi kovensi tersebut.
Dari sekian banyak diskriminasi pada PRT, yang masih cukup segar di ingatan adalah kasus
penyiksaan yang dilakukan Syamsul terhadap tiga pekerja perempuan, yaitu Endah (55) asal
Madura, Anisa Rahayu (25) asal Malang, dan Rukmaini (43) asal Demak. Pria keturunan itu
bahkan diduga menjadi otak pembunuhan salah satu pembantunya yang bernama Hermin alias
Cici, agustus 2014 lalu. Bentuk penyiksaan Syamsul sungguh sadis dan brutal. Serangan fisik
berupa pemukulan dengan tangan, sapu, hingga dijepit dengan kursi sudah menjadi sarapan
rutin para pembantu yang mengabdi di rumah Syamsul. Tak hanya penyiksaan, gaji yang
harusnya dibayarkan rutin malah bertahun-tahun tak didapat oleh para pembantu. Kekangan dan
pembatasan gerak membuat pembantu-pembantu itu terisolasi dari dunia luar. Jika berani
mencari bantuan keluar, siksaan yang lebih berat sudah pasti akan diterima. Kabur pun bukan
opsi yang memungkinkan karena mereka dibiarkan tanpa uang sepeser pun di tangan.
Dalam melakukan aksinya, Syamsul tak sendirian. Keluarganya pun ikut serta dalam
menjalankan tindak kekerasan terhadap PRT. Istri dan anak korban bahkan terekam jelas dalam
CCTV yang terpasang di rumahnya sedang menyiksa ketiga pembantunya itu. Tak cuma
keluarga, dua pekerja pria yang ada di rumah itu juga ikut-ikutan melayangkan pukulan dan
tendangan. Finalnya ketika salah satu pembantu bernama Cici mati lemas setelah dibenamkan
dalam bak air oleh para pelaku. Jasad tak bernyawa Cici kemudian dibuang di daerah Kaban
Jahe, Karo.
Polisi yang menggerebek kediaman sekaligus kantor penyalur tenaga kerja milik Syamsul,
menetapkan 7 tersangka dalam kejadian tersebut. Selain Syamsul (51), polisi juga mengamankan
istrinya RDK (39) serta anaknya MT (19), ZKR (28) keponakan mereka, FER (42) sopir mereka,
serta KA (32) dan BHR (36).
Dalam dakwaan yang dibacakan JPU pengganti Sindu Hutomo, Syamsul dinyatakan telah
melanggar sejumlah pasal dan undang-undang, yaitu Pasal 2 ayat (1) UU No 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 44 ayat (3) UU 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT); Pasal 338 KUHP, dan Pasal 181
KUHP.
Kasus di atas seakan menjadi bom yang memicu publikasi gencar dari media terhadap kondisi
miris kehidupan pembantu rumah tangga di Indonesia. Hanya saja pemberitaan yang masif itu
terkesan muncul kesiangan karena sebenarnya diskriminasi terhadap PRT sudah terjadi
berulang kali namun terlewat begitu saja dari tinta jurnalis.
Namun, dengan gencarnya pemberitaan mengenai penyiksaan ketiga PRT di Medan, setidaknya
masyarakat disajikan fakta jika selama ini pembantu rumah tangga tidaklah sekadar menghadapi
masalah kemiskinan dan pemberian upah yang tak layak saja tetapi ternyata mereka juga tak
jarang mesti mendapat penyiksaan fisik dan psikis yang tergolong berat.
Penelitian ini lantas ditujukan untuk mengetahui dan mengukur bagaimana reaksi opini
masyarakat yang terbentuk pasca gencarnya pemberitaan di berbagai lini media massa yang
memublikasi kondisi PRT yang mengalami perlakuan tak manusiawi di salah satu daerah di
Medan.
Opini masyarakat sangat penting untuk diketahui karena sebuah isu bisa lebih mendapat
perhatian yang layak dari pihak berwenang jika publik sudah turun tangan membentuk arus
suara mayoritas. Selain intensitas pemberitaan, tekanan opini publik bisa menjadi kekuatan yang
sanggup memaksa pemerintah melakukan tindakan tertentu yang dianggap bisa memperbaiki
masalah secara menyeluruh. Walau pun opini publik mudah diarahkan dan terkadang bisa saja
salah, namun untuk kasus yang menyakut masalah kemanusiaan, arah opini publik lebih sering
mudah seragam dan kuat karena alasan sentimentil dan humanisme.
Daerah yang dijadikan basis populasi dan penarikan sampel adalah kelurahan xxxxxxxxx. Alasan
pemilihan tersebut didasarkan pada faktor demogrfis penduduk yang memang banyak ditemui
menggunakan jasa pembantu rumah tangga dan beberapa juga berprofesi sebagai PRT.

Potrebbero piacerti anche