Sei sulla pagina 1di 16

Kisah Sedih Erndira yang Lugu dan Neneknya yang Kejam

Erndira sedang memandikan neneknya ketika angin yang membawa petaka mulai berhembus.
Rumah besar dengan beton laksana bulan dalam kesunyian gurun itu bergetar hebat dihajar
gempuran pertama. Tetapi Erndira dan neneknya sudah terbiasa dengan kerasnya alam di situ,
dan dalam kamar mandi bergaya Romawi dihias sederet merak dan mozaik aneh warna-warni
mereka sama sekali tidak mempedulikan angin itu.
Si nenek yang berbadan besar, tergolek telanjang dalam bak mandi marmer, persis seperti paus
putih yang cantik. Sang cucu baru saja menapak empat belas tahun, tidak bersemangat, lunglai
seolah tak bertulang, dan terlalu penurut untuk gadis seusianya. Dengan kebekuan yang seolah
sangat keramat, dia memandikan neneknya dengan air rebusan rempah-rempah dan dedaunan
wewangian, membasahi rambut berwarna keperakan, dan menetes lewat bahu yang kokoh
berhiaskan tato yang dapat mempermalukan para pelaut.
Tadi malam aku bermimpi menunggu surat, kata si nenek.
Erndira, yang sedapat mungkin tidak bicara kecuali harus, bertanya:
Hari apa dalam mimpi itu?
Kamis.
Berarti surat yang membawa berita buruk, kata Erndira, tapi surat itu tak akan pernah
sampai.
Setelah selesai memandikan neneknya, Erndira menuntunnya ke kamar tidur. Karena
gemuknya, nenek hanya dapat berjalan bila dipapah oleh cucunya atau bertumpu pada tongkat
penyangga yang menyerupai tongkat uskup. Namun, kendati tertatih-tatih, kekuasaannya yang
besar di masa lalu tetap terlihat. Di kamar tidur, yang dipenuhi perabot berlebihan dengan selera
orang gila, demikian juga yang terlihat di seluruh ruangan, Erndira membutuhkan dua jam lebih
untuk merapikan neneknya. Dia menguraikan rambut neneknya helai demi helai, meminyaki dan
menyisirnya, memakaikan baju bercorak bunga-bunga, membedaki wajahnya, memulaskan
lipstik, pemerah pipi, maskara, dan cat kuku, dan ketika sudah lengkap didandani seperti boneka
hidup, dia membawanya ke kebun buatan dengan bunga-bunga yang sudah layu seperti bungabunga di bajunya, mendudukkannya di kursi besar seperti singgasana, meninggalkannya

mendengarkan musik yang sulit dimengerti dari sebuah fonograf dengan pengeras suara yang
berdentum seperti megafon.
Sementara neneknya tenggelam dalam kenangan masa lalu, Erndira menyibukkan diri dengan
membersihkan rumah yang gelap tetapi berwarna-warni, dengan perabot aneh dan patung para
kaisar, tempat lilin berbentuk tetesan air mata dan malaikat putih, piano bersepuh emas, dan
sejumlah jam dengan berbagai ukuran dan bentuk. Ada bak penampungan air di halaman
belakang untuk menyimpan air dari mata air jauh yang selama bertahun-tahun diangkut di
punggung orang-orang Indian; di dinding bak itu terikat seekor burung unta tua, satu-satunya
makhluk berbulu yang dapat bertahan dari siksa iklim jahanam. Rumah itu jauh dari mana-mana,
di tengah gurun, bertetangga dengan sebuah perkampungan yang jalan-jalannya rusak dan panas
terbakar terik di mana kambing pun bunuh diri karena merana ketika angin petaka bertiup.
Tempat berlindung yang tak terbayangkan itu dibangun oleh suami nenek, seorang
penyelundup legendaris bernama Amadis. Dari lelaki itu dia memiliki anak yang juga dinamai
Amadis, yaitu ayah Erndira. Tidak ada yang tahu asal usul keluarga itu. Yang diketahui orangorang Indian di sekitar situ hanyalah Amadis sang ayah berhasil menyelamatkan istri cantiknya
dari sebuah rumah bordil di Antilles, di mana dia membunuh seseorang dalam pertarungan pisau,
dan membawa perempuan itu ke kemerdekaan gurun selamanya. Ketika kedua Amadis
meninggal, yang satu karena sakit berkepanjangan dan satunya lagi tertembus peluru dalam
pertarungan memperebutkan perempuan, nenek menguburkan keduanya di halaman belakang,
mengusir empat belas pelayan di rumahnya, dan terus memelihara mimpi-mimpi tentang
kemegahan di rumah tersembunyi itu, berkat pengorbanan cucu haram yang dirawatnya sejak
lahir.
Erndira membutuhkan enam jam hanya untuk mencocokkan dan memutar jam-jam di rumah
itu. Di hari ketika petaka itu tiba, dia tidak harus melakukannya karena jam-jam tersebut sudah
diputar sampai besok pagi, tetapi dia harus memandikan neneknya dan memakaikan baju,
menyikat lantai, menyiapkan makan siang dan menggosok kristal. Sekitar pukul sebelas,
sementara mengganti air minum burung unta dan menyirami rumput gurun di sekitar makam
kedua Amadis, Erndira harus bertahan melawan kemarahan angin, yang makin menjadi-jadi,
namun dia tidak punya sedikit pun firasat bahwa itu adalah angin petakanya. Pukul dua belas dia
sedang menggosok gelas sampanye terakhir ketika tercium olehnya bau kaldu dan dia berlari
dengan ajaib ke dapur tanpa memecahkan gelas Venesia.
Erndira berhasil mengangkat panci dari kompor persis saat isinya mulai meluap. Lalu
memasukkan rebusan yang sudah disiapkan dan memanfaatkan kesempatan untuk duduk
beristirahat di bangku dapur. Dia memejamkan mata, lantas membukanya lagi dengan sorot mata
yang sangat berbeda, dan mulai menuang sup ke dalam mangkuk. Dia bekerja sambil tidur.
Si nenek sedang duduk sendirian di meja perjamuan yang dilengkapi tempat lilin perak, yang
diatur untuk dua belas orang. Dia menggoyangkan lonceng kecilnya dan hampir bersamaan
dengan itu Erndira muncul membawa mangkuk mengepul. Sewaktu Erndira menyajikan sup,
neneknya melihat bahwa dia sedang berjalan dalam tidur, dan perempuan tua itu menggerakkan
tangannya di depan mata Erndira seperti menggosok kaca tak terlihat. Erndira tidak melihat
tangan itu. Si nenek mengikutinya dengan pandangan dan ketika Erndira berbalik menuju
dapur, dia berteriak:

Erndira!
Terbangun karena terkejut, mangkuk yang dipegangnya jatuh ke karpet.
Tidak apa-apa, Nak, kata nenek dengan lembut. Kamu tertidur sambil berjalan lagi.
Tubuhku sudah terbiasa, kata Erndira beralasan.
Masih dikuasai tidur, dia mengangkat mangkuk, dan mencoba membersihkan noda pada
karpet.
Biarkan saja, cegah neneknya. Kamu bisa mencucinya siang nanti.
Jadi sebagai tambahan tugas rutin siangnya, Erndira harus mencuci karpet ruang makan,
sekalian membereskan cucian hari Minggu, sementara angin bertiup di sekeliling rumah mencari
jalan masuk. Dia begitu banyak pekerjaan sehingga malam tiba tanpa disadari, dan saat dia
meletakkan karpet kembali ke ruang makan, sudah waktunya tidur.
Nenek membuang-buang waktu di depan piano sesiangan itu, menyanyikan lagu-lagu lama
dengan nada falsetto, sampai kelopak matanya basah dan penuh noda maskara. Tetapi ketika dia
berbaring dengan gaun malam muslin di ranjangnya, kepedihan masa lalunya datang lagi.
Jangan lupa besok cuci karpet ruang tamu sekalian, katanya kepada Erndira. Sudah lama
tidak dijemur sejak keributan itu.
Ya, Nek, gadis itu menjawab.
Dia mengambil kipas bulu dan mulai mengipasi si tua yang tak terlawan itu, yang memberikan
perintah-perintah malam sampai terlelap.
Setrika semua baju sebelum tidur jadi kamu bisa tidur dengan tenang.
Ya, Nek.
Periksa semua lemari baju dengan cermat sebab ngengat jadi lebih lapar bila malam
berangin.
Ya, Nek.
Kalau keluar, bawa bunga-bunga itu ke halaman belakang supaya dapat udara segar.
Ya, Nek.
Dan beri makan si burung unta.
Dia sudah tertidur tetapi masih memberi instruksi, dan dari situ cucunya mewarisi kemampuan
bekerja sambil tidur. Erndira meninggalkan ruangan tanpa bersuara dan mengerjakan tugas
terakhirnya, sambil terus menjawab perintah-perintah neneknya yang tidur.
Airi makam.
Ya, Nek.

Kalau kedua Amadis tiba, bilang jangan masuk, kata nenek, karena geng Porfirio Galan
sedang menunggu untuk membunuh mereka.
Erndira tidak menjawab lagi karena tahu neneknya sudah mulai mengigau, tetapi dia tidak
melewatkan satu perintah pun. Setelah selesai memeriksa gerendel jendela dan mematikan
lampu, dia membawa lilin dari ruang makan untuk menerangi langkah-langkahnya ke kamar
tidur ketika jeda angin diisi dengkur damai dan keras nenek.
Kamarnya juga mewah, tetapi tidak semewah kamar neneknya, dipenuhi boneka kain dan
mainan binatang bertenaga pegas dari masa kanak-kanaknya yang belum lama lewat. Karena
lelah disiksa kerja seharian, Erndira tidak sanggup lagi berganti baju dan dia meletakkan lilin di
meja samping tempat tidur sebelum terlelap. Sejenak kemudian angin petakanya masuk ke kamar
tidurnya seperti kawanan anjing dan menjatuhkan lilin ke gorden.
***
Saat fajar, ketika angin sudah berhenti, beberapa tetes air hujan berjatuhan, memadamkan
bara terakhir dan mengeraskan abu berasap rumah itu. Orang-orang desa, sebagian besar Indian,
mencoba menyelamatkan sisa-sisa malapetaka: bangkai gosong burung unta, rangka piano
keemasan, torso sebuah patung. Nenek sedang merenungi sisa keberuntungannya dengan
kemurungan tak terkira. Erndira, duduk di antara makam kedua Amadis, sudah berhenti
menangis. Ketika nenek yakin masih ada beberapa yang utuh di antara kerusakan, dia
memandang cucunya dengan rasa iba yang tulus.
Kasihan kamu, katanya berdesah. Hidupmu tidak akan cukup untuk membayar semua
kemalangan ini.
Erndira mulai membayar utangnya hari itu juga, di bawah derai hujan, ketika dia dibawa ke
pemilik toko desa, duda muda kurus yang cukup dikenal di gurun karena harga yang dia
tawarkan untuk keperawanan. Saat nenek menunggu tanpa cemas, sang duda memeriksa
Erndira dengan sangat cermat: dia menaksir kekuatan paha Erndira, ukuran buah dadanya, dan
diameter pinggulnya. Dia tidak mengatakan apa-apa sampai dia memperkirakan harga yang
pantas untuk Erndira.
Dia masih bau kencur, katanya kemudian. Dia punya puting pelacur.
Kemudian dia menyuruh Erndira naik ke timbangan untuk membuktikan keputusannya
dengan angka. Berat Erndira sembilan puluh pon.
Dia tidak lebih berharga dari seratus peso, kata sang duda.
Nenek meradang.
Seratus peso untuk seorang gadis yang sama sekali baru! kata nenek hampir menjerit.
Tidak, Seor, itu menunjukkan Anda tak punya hormat pada kebajikan.
Seratus lima puluh, deh kata sang duda.
Gadis ini membuat aku rugi lebih dari sejuta peso, kata nenek. Dengan harga segitu dia
butuh dua ratus tahun untuk membayarku.
Anda mujur karena satu-satunya yang menarik dari dia adalah usianya, kata sang duda.
Badai seolah-olah hendak merobohkan rumah itu, dan begitu banyak lubang di atap hingga
hujan di dalam rumah sama derasnya dengan di luar. Nenek merasa sendirian di dunia penuh
bencana.
Naikkan jadi tiga ratus, katanya.
Dua ratus lima puluh.

Akhirnya mereka setuju dengan harga dua ratus dua puluh peso tunai ditambah beberapa
bahan makanan. Nenek kemudian memberi tanda kepada Erndira untuk ikut sang duda yang
menuntun Erndira ke ruang belakang seperti hendak mengantarnya sekolah.
Aku menunggu di sini, kata nenek.
Ya, Nek, kata Erndira.
Ruang belakang itu adalah semacam bangunan luar dengan empat tiang batu bata, atap daun
palem, dan dinding tanah liat setinggi hampir satu meter, tempat segala kekacauan di luar
menyelinap masuk rumah. Di atas dinding tanah liat bertengger pot-pot kaktus dan tanaman lain
daerah tandus. Sebuah buaian yang sudah pudar warnanya tergantung di antara dua tiang batu
bata dan bergoyang seperti sekoci. Di antara deru badai dan terpaan air terdengar teriakan di
kejauhan, sayup-sayup lolong binatang, dan jerit kapal karam.
Ketika Erndira dan sang duda pergi ke bangunan itu mereka harus berpegangan supaya tidak
terpelanting dihempas hujan yang membuat mereka basah kuyup. Suara mereka tidak terdengar
tetapi gerakan-gerakan mereka menjadi jelas dalam deru badai. Saat sang duda mulai mencoba,
Erndira meneriakkan sesuatu yang tidak terdengar dan mencoba kabur. Sang duda
menjawabnya tanpa suara, memelintir pergelangannya dan menyeretnya ke buaian. Erndira
berontak dengan mencakar wajah si duda dan berteriak dalam diam lagi, tetapi lelaki itu
membalas dengan tamparan yang membuat tubuh Erndira terangkat dari lantai dan tertahan di
udara sejenak dengan rambut Medusa panjangnya mengambang di awang-awang. Si duda meraih
pinggang Erndira sebelum menyentuh lantai lagi, melemparkannya ke buaian dengan brutal,
dan menekannya dengan lututnya. Erndira dilanda ketakutan, hilang kesadaran, dan terus begitu
seakan-akan tersihir oleh cahaya bulan dari seekor ikan yang mengapung di udara badai, ketika
sang duda menelanjanginya, merobek-robek bajunya dengan cakaran-cakaran metodis, seolaholah sedang mencabuti rumput, dan menyebar cabikan-cabikan pakaian itu dengan sentakan
warna-warni yang berkibar-kibar bagai pita dan terbang dibawa angin.
Ketika tidak ada lagi satu pun lelaki di desa yang dapat membayar cinta Erndira dengan apa
saja, nenek membawanya naik ke truk ke tempat para penyelundup. Mereka menempuh
perjalanan di bak truk terbuka, di antara karung-karung beras dan berember-ember lemak babi
dan sisa-sisa kebakaraan: kepala tempat tidur gaya bangsawan, serdadu malaikat, singgasana
hangus, dan benda-benda tak berguna lainnya. Dalam sebuah peti dengan dua tanda salib dari
garis besar-besar mereka membawa tulang-tulang bapak anak Amadis.
Nenek melindungi dirinya dari matahari dengan payung compang-camping dan kesulitan
bernapas karena siksaan keringat dan debu, tetapi bahkan dalam keadaan tidak enak itu dia tetap
mengontrol gengsinya. Di belakang tumpukan kaleng dan karung beras Erndira membayar
ongkos perjalanan dengan bercinta untuk dua puluh peso sekali main dengan kernet truk.
Pertama kali sistem pertahanannya masih sama seperti yang dia pakai terhadap sang duda, tetapi
pendekatan si kernet berbeda, pelan dan tenang, dan dia menjinakkan Erndira dengan
kelembutan. Ketika sampai di kota pertama setelah perjalanan maut itu, Erndira dan kernet
sedang bersantai setelah bercinta di balik tumpukan muatan. Sopir berteriak kepada nenek:
Di sini dunia bermula.
Dengan rasa tidak percaya nenek mengamati jalanan menyedihkan dan lengang sebuah sebuah
kota yang lebih besar tetapi sama mengenaskannya dengan tempat yang mereka tinggalkan.
Tidak begitu menurutku, katanya.

Ini daerah misi, kata sopir.


Aku tidak tertarik dengan amal. Aku lebih suka para penyelundup, kata nenek.
Sambil mendengarkan percakapan dari balik muatan, Erndira membolongi sebuah karung
beras dengan jarinya. Tiba-tiba dia menemukan seutas benang, menariknya dan seuntai kalung
mutiara asli berada dalam genggamannya. Erndira menatap penuh pesona, menggenggamnya di
antara jari-jari layaknya memegangi ular mati, ketika sopir menjawab ucapan nenek:
Jangan berkhayal, Seora. Tidak ada yang namanya penyelundup itu.
Tentu saja tidak, kata nenek. Aku percaya itu.
Coba cari sendiri, dan Anda akan tahu, seloroh sopir itu. Setiap orang membicarakan
mereka, tetapi tidak pernah ada yang melihat satu pun.
Si kernet menyadari bahwa Erndira sudah menemukan kalung, cepat-cepat merampasnya lagi
dan mengembalikan ke dalam karung beras. Nenek, yang memutuskan untuk tinggal walaupun
itu kota melarat, memanggil cucunya untuk membantunya turun dari truk. Erndira
mengucapkan selamat tinggal kepada kernet sambil mencium sekilas tetapi spontan dan
sungguh-sungguh.
Nenek menunggu, duduk di singgasananya di tengah jalan, sampai mereka selesai menurunkan
barang-barang. Yang terakhir diturunkan adalah peti berisi sisa-sisa bapak anak Amadis.
Peti ini beratnya seperti orang mati, kata sopir diiringi tawa.
Ada dua, kata nenek, jadi perlakukan mereka dengan hormat.
"Taruhan,

itu pasti patung marmer. Si sopir tertawa lagi.

Dia meletakkan peti berisi tulang-tulang itu dengan sembrono di antara perabotan hangus dan
meminta bayaran kepada nenek.
Lima puluh peso, katanya.
Budakmu sudah dibayar dengan pantas.
Sopir melihat pada kernetnya dengan terkejut dan si kernet memberi isyarat mengiakan.
Kemudian si sopir kembali ke kabin truk, di mana seorang perempuan yang berduka sedang naik,
bayi di gendongannya menangis kepanasan. Si kernet, dengan sangat percaya diri, berkata
kepada nenek:
Erndira ikut saya, kalau boleh. Maksud saya baik.
Si gadis terkejut dan menyela:
Aku tidak bilang apa-apa!
Itu gagasan saya, kata kernet.

Nenek memandanginya lekat-lekat, saat itu, untuk merendahkannya tetapi juga berusaha
mengukur nyalinya.
Boleh saja, kata nenek, asalkan kamu membayar seluruh kerugianku karena
kecerobohannya. Semuanya delapan-ratus-tujuh-puluh-dua-ribu tiga ratus lima belas peso,
dikurangi empat ratus dua puluh yang sudah dibayarnya, jadi tinggal delapan-ratus-tujuh-puluhsatu ribu delapan ratus sembilan puluh lima.
Mesin truk dinyalakan.
Percayalah, akan saya berikan uang itu bila ada, kata kernet itu sungguh-sungguh. Gadis itu
patut menerimanya.
Nenek sangat terkesan dengan keputusan anak muda itu.
Kalau begitu kembali saja bila kau sudah punya uangnya, jawab nenek dengan nada
simpatik. Tapi lebih baik kamu pergi sekarang, karena kalau kita hitung-hitungan lagi akhirnya
kamu akan berutang sepuluh peso.
Si kernet melompat ke belakang truk dan berangkat. Dari atas truk dia melambaikan tangan
kepada Erndira, tetapi Erndira masih kaget hingga tidak membalas lambaiannya.
Di tanah kosong di mana truk itu meninggalkan mereka, Erndira dan neneknya membuat
gubuk dari seng dan sisa-sisa karpet Oriental. Kemudian mereka membentangkan dua tikar di
tanah dan tidur selelap di rumah besar dahulu sampai matahari membuat lubang-lubang di langitlangit dan membakar wajah mereka.
Berbeda dari biasanya, kini nenek menyibukkan diri pagi itu mendandani Erndira. Nenek
merias wajah cucunya dengan gaya kecantikan orang mati yang menjadi mode di masa mudanya,
menghiasinya dengan kuku palsu dan pita organdi yang terlihat seperti kupu-kupu di kepala
Erndira.
Kamu terlihat menyeramkan, katanya, tapi lebih baik begitu: laki-laki sangat bodoh ketika
berurusan dengan masalah perempuan.
Lama sebelum makhluk-makhluk sangat bodoh itu terlihat mereka mengenali suara dua ekor
bagal berjalan di bentangan batu api gurun. Mengikuti perintah nenek, Erndira berbaring di
tikar dengan gaya yang mungkin dilakukan seorang aktris amatir ketika layar siap diangkat.
Bertumpu pada tongkat uskupnya, nenek keluar gubuk dan duduk di singgasana menanti bagal
lewat.
Tukang pos yang datang. Umurnya dua puluh tahun, tetapi pekerjaannya membuatnya
tampak tua. Dia mengenakan seragam khaki, celana ketat, topi pandan, dan sepucuk pistol
bergantung di ikat pinggang pelurunya. Dia menunggang bagal bagus dan menarik tali kekang
bagal lebih tua yang membawa kantong surat-surat.
Ketika melewati nenek dia memberi salam dan berlalu, tetapi nenek memberi tanda padanya
untuk mengintip ke dalam gubuk. Laki-laki itu berhenti dan melihat Erndira terbaring di tikar
dengan riasan kematiannya mengenakan baju ketat ungu.
Kamu suka? tanya nenek.

Tukang pos itu masih belum mengerti apa maksud pertanyaan nenek.
Tidak terlalu jelek untuk orang yang sedang diet, katanya sambil tersenyum.
Lima puluh peso, kata nenek.
Astaga, banyak amat! katanya. Bisa untuk makan sebulan itu.
Jangan pelit-pelit, kata nenek. Pengantar pos udara upahnya lebih bagus daripada pastor.
Saya mengantar surat-surat lokal, kata laki-laki itu. Pengantar pos udara menggunakan
truk.
Padahal, cinta sama pentingnya dengan makan, kata nenek lagi.
Tapi tidak bisa memberimu makan.
Nenek sadar bahwa lelaki yang hidup dari apa yang ditunggu-tunggu orang mempunyai waktu
yang cukup banyak untuk menawar.
Berapa uangmu? tanyanya.
Tukang pos turun dari bagalnya, mengambil beberapa uang kertas kumal dari kantongnya dan
menunjukkan kepada nenek. Nenek menyambar semuanya segesit menangkap bola.
Aku turunkan harga untukmu, katanya, tapi dengan satu syarat: kamu harus menyebarkan
berita ini ke mana-mana.
Sampai ke sisi lain dunia, kata tukang pos. Itu pekerjaan saya.
Erndira, yang tidak dapat berkedip, mencabut bulu mata palsunya dan pindah ke pinggir tikar
memberi tempat bagi pacar kilatnya. Segera setelah tukang pos itu masuk gubuk, nenek menutup
pintu dengan sentakan kuat pada tirai.
Kesepakatan yang sungguh ampuh. Berdasarkan kabar dari tukang pos, laki-laki berdatangan
dari tempat-tempat jauh untuk merasakan kebeliaan Erndira. Di belakang para laki-laki itu
datanglah meja judi dan warung makan, dan di belakang mereka lagi datang seorang tukang foto
bersepeda yang, di seberang gubuk, memasang kamera dengan kain hitam di atas tripod dan
sebuah latar belakang danau dengan angsa-angsa lesu.
Nenek, mengipasi diri di singgasana, terlihat aneh di tengah bazar bikinannya itu. Satu-satunya
yang menarik minatnya adalah menjaga ketertiban antrean tamu yang menunggu giliran dan
memeriksa jumlah uang yang mereka bayar di muka untuk bertemu Erndira. Mulanya dia begitu
kaku hingga menolak tamu setia yang kurang lima peso uangnya. Tetapi seiring bulan berlalu dia
bersedia belajar dari kenyataan dan akhirnya meloloskan orang yang menggenapi pembayaran
mereka dengan medali keagamaan, pusaka keluarga, cincin kawin, dan apa saja yang dia gigit
terbukti emas murni, sekalipun tidak berkilat.
Setelah lama menetap di kota pertama ini, nenek memiliki cukup uang untuk membeli keledai,
dan dia bertolak menjelajahi gurun untuk mencari tempat-tempat yang lebih menguntungkan
bagi pembayaran utang. Dia naik tandu yang dipasang di atas keledai dan terlindung dari
matahari yang tak pernah bergerak dengan payung berjeruji setengah yang dipegangi Erndira
tepat di atas kepalanya. Di belakang mereka berjalan empat kuli angkut Indian yang membawa
sisa-sisa perkemahan: tikar tidur, singgasana yang sudah diperbaiki, malaikat pualam, dan peti
tulang-tulang bapak anak Amadis. Tukang foto mengikuti rombongan dengan sepedanya, tetapi
tidak pernah mendekati, seolah-olah dia menuju keramaian lain.
Enam bulan berlalu sejak kebakaran, nenek mulai mendapatkan gambaran utuh bisnisnya.
Bila segalanya seperti ini, katanya kepada Erndira, kamu bisa melunasi utangmu dalam
waktu delapan tahun tujuh bulan sebelas hari.
Dia kembali menghitung dengan mata terpejam, meraba-raba biji-biji yang dia keluarkan dari

tas anyaman yang juga dipakai untuk menyimpan uang, dan membetulkan ucapannya sendiri:
Semua itu, tentu saja, belum termasuk upah dan uang makan para Indian dan pengeluaranpengeluaran kecil lainnya.
Erndira, yang berusaha terus melangkah sejajar keledai, membungkuk menghindari panas dan
debu, tidak menanggapi angka-angka yang dikatakan neneknya, tetapi dia harus menahan air
matanya.
Badanku nyeri semua, katanya.
Coba tidur.
Ya, Nek.
Dia memejamkan matanya, mengambil napas panjang dari udara kering kerontang, lalu terus
berjalan sambil tidur.
Sebuah truk kecil penuh sangkar terlihat, menakuti kambing-kambing di debu cakrawala, dan
riuh burung-burung seperti percikan air dingin pada hari Minggu yang lesu di San Miguel del
Desierto. Memegang kemudi adalah seorang petani Belanda gendut, kulitnya pecah-pecah karena
udara alam terbuka, dengan kumis cokelat tebal yang dia warisi dari kaket buyutnya. Anaknya
Ulises, yang duduk di sebelahnya, adalah remaja keemasan dengan mata pelaut kesepian dan
penampilan bak malaikat menyamar. Orang Belanda itu melihat sebuah tenda yang di depannya
semua tentara dari garnisun setempat sedang menunggu giliran. Mereka duduk di tanah, minum
dari botol yang sama dari mulut ke mulut, dan mengenakan ranting pohon badam di kepala
mereka seolah-olah sedang menyamar untuk bertempur. Si Belanda bertanya dalam bahasanya:
Hah! Apa yang dijual di sana?
Perempuan, anaknya menjawab kalem. Namanya Erndira.
Bagaimana kautahu?
Semua orang di gurun tahu, jawab Ulises. Si Belanda berhenti di hotel kecil di kota dan
keluar. Ulises tinggal di truk. Dengan jari-jarinya yang gesit dia membuka kopor yang ditinggal
ayahnya di jok, mengambil segulungan uang, menyimpan beberapa di kantongnya, dan
mengembalikan semua seperti semula. Malam itu, ketika ayahnya tidur, dia memanjat jendela
hotel dan ikut antre di depan tenda Erndira.
Keriaan itu memuncak. Para tentara kroco mabuk menari-nari demi tidak menyia-nyiakan
musik gratis, dan tukang foto mengambil gambar malam dengan kertas magnesium. Sambil
mengawasi bisnisnya, nenek menghitung uang di pangkuannya, memisahkan dalam tumpukantumpukan dan menyusunnya dalam keranjang. Hanya ada dua belas tentara saat itu, tetapi
antrean malam itu bertambah panjang dengan tamu sipil. Ulises yang terakhir.
Saat itu giliran tentara yang tampangnya hancur. Nenek tidak hanya menghalangi jalannya
tetapi bahkan tidak mau menyentuh uangnya.
Tidak, Nak, katanya. Kau tidak bisa masuk walaupun membayar dengan semua emas di
dunia. Kau membawa sial.
Si tentara, yang tidak berasal dari daerah situ, bingung.

Apa maksudmu?
Kau mengundang bayangan setan, kata nenek. Setiap orang bisa melihatnya di wajahmu.
Dia menghalau tentara itu dengan tangannya, tanpa menyentuhnya, dan memberi jalan bagi
tentara berikutnya.
Langsung masuk saja, ganteng, katanya ramah kepada tentara itu, tapi jangan lama-lama,
negara membutuhkanmu.
Si tentara masuk tetapi langsung keluar lagi karena Erndira ingin bicara dengan neneknya.
Nenek menjinjing keranjang uang dan masuk ke tenda yang tidak terlalu bagus tetapi bersih dan
rapi. Di belakang, di atas pelbet tentara, Erndira tidak mampu menghentikan gemetar badannya,
keadaannya berantakan, kotor oleh keringat tentara.
Nek, katanya terisak-isak, rasanya mau mati.
Nenek memegang dahinya dan ketika dirasanya bukan demam, dia mencoba menghibur
Erndira.
Tinggal sepuluh tentara lagi, katanya.
Erndira mulai menangis dengan jeritan binatang ketakutan. Nenek sadar bahwa Erndira
sudah melampaui batas ketakutan dan, sambil membelai kepalanya, berusaha menenangkannya.
Masalahnya, kamu lemah, katanya kepada Erndira. Sudahlah, jangan menangis lagi,
mandi dengan air rempah agar aliran darahmu normal kembali.
Dia meninggalkan tenda ketika Erndira sudah lebih tenang dan mengembalikan uang tentara
yang sedang menunggu itu. Sudah dulu hari ini, katanya. Datang lagi besok dan aku beri
kamu giliran pertama. Kemudian dia berteriak di depan antrean.
Sudah dulu ya. Besok lagi jam sembilan pagi.
Para tentara dan tamu-tamu lain bubar diiringi teriakan protes. Nenek menghadapi mereka
dengan sikap tenang tetapi mengacungkan tongkat uskupnya dengan serius.
Kalian semua brengsek! teriaknya. Kalian pikir gadis ini terbuat dari apa? Besi? Coba
kalian jadi dia. Orang-orang sesat! Gembel!
Kumpulan laki-laki itu menjawabnya dengan makian yang lebih pedas, tetapi akhirnya dia
berhasil menangani pemberontakan itu dan berjaga-jaga bersama para pembantunya hingga
mereka mengambili meja dan membongkar lapak judi. Nenek baru akan berbalik masuk ke tenda
ketika dia melihat Ulises, mengejutkan, sendirian di tempat gelap dan kosong di mana tadi
orang-orang berada. Dia memancarkan aura luar biasa dan tampaknya dia bisa terlihat dalam
bayang-bayang berkat pendar ketampanannya.
Kamu, nenek menyapanya. Ada apa dengan sayapmu?
Yang punya sayap kakek saya, jawab Ulises kalem, tetapi tidak ada yang percaya.
Nenek meneliti Ulises lagi dengan terkesima. Yah, aku percaya, katanya. Pakai sayapmu
dan kembali besok. Dia kembali ke dalam tenda dan meninggalkan Ulises yang tersipu.
Erndira merasa lebih baik setelah mandi. Dia memakai rok dalam pendek tembus pandang
dan mengeringkan rambutnya sebelum tidur, tetapi dia masih berusaha menahan tangisnya.
Neneknya sudah tidur.
Dari belakang tempat tidur Erndira, pelan-pelan sekali, Ulises muncul. Erndira melihat mata
yang cemas dan bening, tetapi sebelum membuka mulut dia menggosok-gosok kepalanya dengan
handuk untuk memastikan bahwa itu bukan ilusi. Ketika Ulises berkedip untuk pertama kalinya,
Erndira bertanya dengan suara sangat rendah.
Siapa kamu?
Ulises muncul sampai sebatas bahu. Namaku Ulises, katanya. Dia menunjukkan uang
curiannya dan menambahkan:

Aku punya uang.


Erndira meletakkan tangannya di atas tempat tidur, mendekatkan wajahnya ke wajah Ulises,
dan bicara kepadanya seperti dalam permainan taman kanak-kanak.
Mestinya kamu antre, katanya kepada Ulises.
Aku menunggu semalaman, kata Ulises.
Nah, sekarang kamu harus menunggu sampai besok, kata Erndira. Rasanya ginjalku
seperti dipukuli.
Pada saat itu nenek mulai berbicara dalam tidurnya.
Sudah dua puluh tahun sejak hujan terakhir, katanya. Badai begitu hebat hingga hujan
bercampur air laut, dan paginya seluruh rumah penuh ikan dan siput, dan kakekmu Amadis,
semoga dia beristirahat dengan damai, melihat sinar mantra berpendar mengambang di udara.
Ulises bersembunyi di belakang tempat tidur lagi. Erndira tersenyum geli.
Tenang saja, katanya. Dia selalu bertingkah gila kalau tidur, tetapi gempa pun takkan dapat
membangunkannya.
Ulises muncul kembali. Erndira memandangnya sambil tersenyum, senyum nakal dan bahkan
manyiratkan kasih, dan mengangkat seprai kotor dari kasur.
Sini, katanya. Bantu aku mengganti seprai.
Kemudian Ulises keluar dari belakang tempat tidur dan meraih salah satu ujung seprai. Karena
seprai lebih besar daripada kasurnya, mereka harus melipatnya beberapa kali. Setiap lipatan
membuat Ulises lebih dekat pada Erndira.
Aku tergila-gila ingin bertemu kamu, sekonyong-konyong Ulises berkata. Setiap orang
bilang kamu cantik sekali dan mereka benar.
Tapi aku akan mati, kata Erndira.
Ibuku bilang setiap orang yang mati di gurun tidak akan masuk surga tetapi ke laut, kata
Ulises.
Erndira menyingkirkan seprai kotor dan menutup kasur dengan seprai bersih dan habis
disetrika.
Aku belum pernah melihat laut, katanya.
Seperti gurun, cuma isinya air, kata Ulises.
Jadi tidak bisa jalan di atasnya.
Ayahku tahu ada orang yang bisa, kata Ulises, tapi itu sudah lama sekali.
Erndira tertarik namun dia ingin tidur.
Bila kamu datang pagi-pagi besok, kamu bisa dapat giliran pertama, katanya.
Aku berangkat dengan ayahku fajar nanti, ujar Ulises.
Apa kamu tidak akan lewat sini lagi?
Siapa yang tahu? jawab Ulises. Kami di sini juga karena tersesat di perbatasan.
Erndira berpikir sambil melihat neneknya yang sedang tidur.
Baiklah, putusnya. Mana uangnya.
Ulises memberikan uang itu kepadanya. Erndira berbaring tetapi Ulises gemetar di tempatnya
berdiri: pada saat-saat yang menentukan itu tekadnya malah luntur. Erndira meraih tangan
Ulises menyuruhnya cepat-cepat dan barulah dia menyadari kesulitan Ulises. Dia hafal dengan
ketakutan itu.
Ini yang pertama, ya? tanyanya pada Ulises.
Tidak menjawab, Ulises tersenyum kecut. Erndira berubah menjadi sosok berbeda.
Bernapaslah pelan-pelan, katanya. Selalu begitu waktu pertama. Setelah itu kamu akan
terbiasa.

Erndira membaringkan Ulises di sampingnya dan sambil membukakan baju Ulises dia
menenangkannya dengan keibuan.
Siapa namamu?
Ulises.
Nama gringo, kata Erndira.
Bukan, nama pelaut.
Erndira menelanjangi dada Ulises, mendaratkan beberapa kecupan sayang, mengendus
badannya.
Sepertinya kamu terbuat dari emas, katanya, tapi badanmu harum bunga.
Pasti bau jeruk, kata Ulises.
Lebih tenang sekarang, Ulises tersenyum tahu sama tahu.
Kami membawa burung-burung untuk menghindari orang yang mencari tumpangan di jalan,
tambahnya, tambahnya, tetapi sebetulnya kami menyelundupkan jeruk menyeberangi
perbatasan.
Jeruk bukan barang terlarang, kata Erndira.
Yang ini terlarang, kata Ulises. Setiap jeruk lima puluh ribu peso harganya.
Erndira tertawa untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Yang aku suka darimu, katanya, gayamu yang serius mengarang omong kosong.
Dia menjadi spontan dan banyak bicara lagi, seolah-olah keluguan Ulises tidak hanya
mengubah suasana hatinya melainkan juga tabiatnya. Nenek, cuma sejengkal dari kemalangan,
masih bicara dalam tidurnya.
Saat itu, awal Maret, mereka membawamu pulang, kata nenek. Kamu seperti cicak
dibungkus katun. Amadis, ayahmu, muda dan gagah, begitu bahagia sore itu hingga dia
mengirimkan dua puluh kereta penuh bunga dan menaburkannya di sepanjang jalan sampai
seluruh desa seperti lautan bunga.
Dia terus meracau dengan teriakan-teriakan keras dan semangat tak kenal padam selama
beberapa jam. Tetapi Ulises tidak dapat mendengarnya karena Erndira melayaninya dengan
sungguh-sungguh dan begitu penuh cinta hingga melayaninya lagi dengan separuh harga selama
nenek mengigau dan terus melayaninya tanpa bayaran apa pun sampai fajar.
Sekelompok misionaris yang menegakkan salib berdiri bahu-membahu di tengah gurun. Angin
seganas angin petaka mengibar-ngibarkan pakaian goni dan jenggot kasar mereka dan mereka
nyaris tidak sanggup berdiri. Di belakang mereka adalah gedung misi, sebuah bangunan batu
kolonial dengan menara lonceng mungil di atas tembok yang dikapur tidak rapi.
Misionaris termuda, yang bertugas memimpin kelompok, menunjuk pada sebuah retakan
alami di tanah lempung halus.
Kalian tidak boleh melewati garis ini! teriaknya.
Keempat Indian yang mengusung nenek di atas tandu dari papan berhenti ketika mendengar
teriakan itu. Walaupun tidak begitu nyaman duduk di atas papan-papan tandu dan semangatnya
digerus debu dan keringat gurun, nenek tetap mempertahankan kecongkakannya. Erndira
berjalan kaki. Di belakang tandu terdapat delapan orang Indian membawa peralatan dan sebagai
penutup adalah tukang foto di atas sepedanya.
Gurun ini bukan milik siapa-siapa, kata nenek.
Milik Tuhan, kata misionaris, dan kamu melanggar hukum-Nya yang suci dengan bisnis
kotormu.

Nenek mengenali pilihan kata dan gaya bahasa semenanjung misionaris itu dan menghindari
konfrontasi langsung karena tidak mau remuk membentur kekuhuhan sang misionaris. Nenek
pun kembali menjadi dirinya.
Aku tidak mengerti maksudmu, Anakku.
Misionaris itu menunjuk Erndira.
Anak ini masih di bawah umur.
Tapi dia cucuku.
Lebih parah kalau begitu, jawab misionaris. Serahkan dia dalam asuhan kami atau kamu
harus mengusahakan cara lain.
Nenek tidak menyangka mereka akan mempermasalahkan sampai sejauh itu.
Baiklah, kalau harus demikian. Dia menyerah ketakutan. Tetapi cepat atau lambat aku akan
lewat, lihat saja.
Tiga hari setelah perjumpaan dengan para misionaris, nenek dan Erndira sedang tidur di
sebuah desa di dekat misi ketika sekelompok orang dengan diam-diam, merayap layaknya patroli
infanteri, menyelinap ke dalam tenda. Mereka adalah enam frater Indian, kuat dan muda,
seragam mereka yang kasar tampak berpendar dalam cahaya bulan. Tanpa bersuara mereka
menyelubungi Erndira dalam kelambu dan mengangkatnya tanpa membuatnya terbangun, lalu
membawanya seperti ikan besar yang tidak berdaya dalam jaring.
Tidak ada usaha yang tidak dicoba nenek untuk mengambil cucunya dari lingkungan
misionaris. Baru setelah semuanya gagal, dari yang paling mudah sampai yang paling rumit, dia
menemui penguasa sipil, yang dijabat oleh seorang militer. Nenek menjumpainya di halaman
rumahnya, lelaki itu bertelanjang dada, dengan senapan tentara dia menembaki satu-satunya
awan hitam di langit yang membakar. Dia sedang mencoba melubangi awan itu untuk
mendatangkan hujan, tembakannya gencar dan sia-sia, tetapi dia meluangkan waktu untuk
mendengarkan nenek.
Saya tidak dapat berbuat apa-apa, jelasnya setelah mendengar keterangan nenek. Para
pastor, menurut konkordat, berhak mempertahankan gadis itu sampai dia cukup umur. Atau
sampai dia menikah.
Jadi mengapa mereka memilihmu sebagai wali kota di sini? tanya nenek.
Untuk membuat hujan, jawab si wali kota.
Kemudian, ketika awan itu bergerak menjauhi jarak tembak, dia menyudahi tugas resminya
dan memberi perhatian penuh pada nenek.
Yang Anda butuhkan adalah seseorang dengan kekuasaan besar yang mendukung Anda,
katanya pada nenek. Seseorang yang dapat menjamin reputasi moral dan perilaku baik Anda
secara tertulis. Anda kenal Senator Onesimo Sanchez?
Duduk di bawah terik matahari di kursi yang terlalu sempit untuk pantat besarnya, nenek
menjawab dengan marah tertahan:
Aku hanya seorang wanita miskin yang sendirian di tengah luasnya gurun.
Wali kota itu, mata kanannya berkedip-kedip menahan panas, memandang nenek dengan iba.
Kalau begitu jangan sia-siakan waktumu, Bu, katanya. Anda akan membusuk di neraka.
Dia tidak membusuk, tentu saja. Dia memasang tendanya di seberang misi dan duduk berpikir,
seperti prajurit yang mengepung benteng kota musuh seorang diri. Tukang foto, yang sangat
mengenalnya, menaruh peralatannya dalam keranjang sepeda dan bersiap-siap pergi sendiri
ketika dia melihat nenek di bawah terik matahari dengan mata menatap misi.
Kita lihat siapa yang lelah, kata nenek, mereka atau aku.
Mereka di sini sudah tiga ratus tahun dan masih bertahan, ujar tukang foto. Aku pergi.

Baru saat itulah nenek melihat barang muatan sepeda.


Mau ke mana kamu?
Ke mana angin membawaku, jawab tukang foto, dan dia pergi. Dunia ini luas.
Nenek manghela napas.
Tidak seluas yang kau bayangkan, manusia tak tahu di untung.
Tetapi dia tidak menolehkan kepalanya walaupun marah agar pandangannya tidak terlepas dari
misi. Dia tidak menolehkan kepalanya selama beberapa hari yang terik menyengat, selama
beberapa malam yang berangin ganas, selama dia bermeditasi dan tidak seorang pun keluar dari
misi. Orang-orang Indian membangun tempat berteduh dari daun palem di samping tenda dan
menggantung buaian mereka, tetapi nenek berjaga sampai jauh malam, tertunduk di
singgasananya dan mengunyah butiran beras dari kantungnya dengan kelambanan bawaan sapi
mendekam.
Suatu malam iring-iringan truk bak tertutup yang berjalan lambat lewat sangat dekat
dengannya dan cahaya dari rangkaian lampu pijar berwarna membuat iring-iringan itu tampak
seperti altar remang-remang yang tidur sambil berjalan. Nenek langsung mengenali karena
bentuk truk-truk itu seperti milik Amadis. Truk terakhir berjalan pelan, berhenti, dan seorang
lelaki turun dari kabin untuk membetulkan sesuatu di belakang. Dia terlihat seperti replika
Amadis, mengenakan topi dengan tepi terlipat ke atas, sepatu bot tinggi, dua selempang peluru
melintang di dadanya, sepucuk senapan tentara, dan dua pistol. Kalah oleh godaan tak terlawan,
nenek memanggil lelaki itu.
Tahukan kamu siapa aku? tanya nenek.
Lelaki itu menyorotkan senter tepat ke wajah nenek. Untuk sesaat dia mengamati wajah kuyu
karena begadang, mata redup karena letih, dan rambut kusut perempuan yang, bahkan di usianya
itu, dalam keadaannya yang mengenaskan, dan dengan cahaya terang menyorot wajahnya,
mampu menggambarkan bahwa dia pernah menjadi wanita paling cantik di dunia. Ketika yakin
belum pernah bertemu nenek sebelumnya, dia mematikan senter.
Satu-satunya yang aku yakin adalah kau bukan Santa Perawan Penolong Abadi.
Sebaliknya, kata nenek dengan suara yang sangat manis. Akulah Doa.
Lelaki itu meraih pistol mengikuti nalurinya.
Doa siapa?
Doa Amadis yang agung.
Berarti kau bukan dari dunia ini, katanya hati-hati. Apa maumu?
Pertolonganmu untuk menyelamatkan cucuku, cucu Amadis yang agung, putri anak kami
Amadis, yang ditahan di misi itu.
Lelaki itu terlepas dari takutnya.
Kau datang pada orang yang salah, katanya. Kalau kaupikir kita bisa berkompromi dalam
urusan Tuhan, kau bukanlah seperti yang kaukatakan, kau tidak pernah kenal bapak anak
Amadis, dan kau tidak tahu apa-apa soal penyelundupan."
Dini hari itu nenek tidur lebih sedikit dari sebelumnya. Dia terbaring terjaga memikirkan
semuanya, terbungkus dalam selimut wol ketika awal hari mengaduk-aduk kenangannya dan
igauan yang dia redam berusaha muncul bahkan ketika dia melek, dan dia harus mengencangkan
jantung dengan tangannya agar tidak tercekik kenangan tentang rumah di tepi laut dengan bungabunga merah besar tempat dia pernah bahagia. Nenek tetap seperti itu sampai lonceng misi
berdentang dan cahaya pertama masuk lewat jendela dan gurun dipenuhi aroma roti panas pagi
hari. Baru saat itulah dia mencampakkan letihnya, didorong khayalan bahwa Erndira sudah
bangun dan mencari jalan untuk kabur dan kembali padanya.

Erndira, bagaimanapun juga, tidak pernah melewatkan semalam pun tanpa tidur sejak mereka
membawanya ke misi. Mereka memotong rambutnya dengan pemangkas tanaman sampai
kepalanya seperti sikat, membungkusnya dengan jubah kasar pertapa dan memberinya seember
kapur dan kuas untuk mengapur tangga setiap kali ada orang yang naik atau turun. Itu pekerjaan
berat karena para misionaris dan pembawa novis tak henti-henti datang dan pergi dengan kaki
berlumpur, tetapi Erndira merasa seolah-olah setiap hari adalah hari Minggu setelah kapal
dayung mengerikan yang adalah ranjangnya. Lagi pula bukan hanya dia yang letih setiap malam,
sebab misi itu didirikan tidak untuk melawan setan melainkan gurun. Erndira menyaksikan
frater-frater Indian membaringkan sapi untuk memerah susu, melompat-lompat di papan berharihari untuk memadatkan keju, menolong seekor kambing yang mengalami kesulitan melahirkan.
Dia melihat mereka berkeringat seperti buruh pelabuhan kepanasan mengangkut air dari tangki,
menyirami dengan tangan kebun unik yang digarap frater-frater lain dengan cangkul untuk
menanam sayur di hamparan batu api gurun. Dia melihat neraka dunia oven untuk membakar roti
dan ruangan untuk menyetrika baju. Dia melihat seorang suster mengejar babi berkeliling
halaman, diseret hewan yang dipegangi kupingnya itu, dan berguling-guling di genangan lumpur
tanpa melepaskannya sampai dua frater dengan celemek kulit membantu mengendalikan babi itu
dan salah seorang dari mereka memotong tenggorokan hewan itu dengan pisau jagal sewaktu
mereka semua bersimbah darah dan lumpur. Di bangsal isolasi klinik dia melihat suster-suster
penderita TBC terbungkus gaun malam, menunggu panggilan Tuhan sambil menyulam baju
pengantin di teras sementara sejawat laki-laki mereka berkhotbah di gurun. Erndira hidup dalam
bayang-bayangnya dan mendapati bentuk lain kecantikan dan horor yang tak pernah dia
bayangkan dalam dunia sempit tempat tidurnya, tetapi novis yang paling kasar atau yang paling
persuasif tidak berhasil membuatnya mengucapkan sepatah kata pun sejak mereka membawanya
ke misi. Suatu pagi, ketika sedang menyiapkan kapur di ember, dia mendengar alunan musik
mirip cahaya yang bahkan lebih bening dari cahaya gurun. Terbius oleh keajaiban itu, dia
mengintip ke ruang sangat besar dan kosong dengan dinding polos dan jendela-jendela lebar di
mana cahaya mempesona Juni masuk dan tinggal di situ, dan di tengah ruangan dia melihat
seorang suster sangat cantik yang belum pernah dia lihat sebelumnya sedang memainkan
oratorium Paskah dengan klavikor. Erndira mendengarkan musik itu tanpa berkedip, hatinya di
ujung tanduk, sampai lonceng makan siang berdentang. Setelah makan, ketika sedang mengapur
anak tangga dengan kuas jeraminya, dia menunggu sampai semua novis selesai naik turun, dan
dia sendirian, tanpa seorang pun mendengarnya, lalu dia bicara untuk pertama kalinya sejak
masuk misi.
Aku bahagia, katanya.
Itulah akhir harapan nenek bahwa Erndira akan melarikan diri dan bergabung dengannya lagi,
tetapi dia tetap mempertahankan pengepungannya yang kukuh tanpa membuat keputusan apa
pun sampai hari Pentakosta. Selama masa itu para misionaris menyisir gurun mencari gundikgundik hamil untuk dinikahkan. Mereka menyisir sampai ke pemukiman-pemukiman terpencil
dengan truk butut dikawal empat tentara bersenjata lengkap dan sepeti pakaian murahan. Bagian
paling sulit dari perburuan Indian itu adalah meyakinkan para perempuan yang mempertahankan
diri terhadap Kasih Tuhan dengan argumentasi telak bahwa lelaki yang tidur di buaian mereka
dengan kaki terentang, merasa berhak menuntut kerja lebih berat dari istri ketimbang dari gundik
mereka. Mereka harus dirayu dengan muslihat, mengencerkan perintah Tuhan dalam bahasa
mereka agar tidak terlalu keras bagi mereka, tetapi yang paling lihai di antara mereka sekalipun
menyerah dengan sepasang anting-anting berkilat-kilat. Sementara itu, begitu pihak perempuan

sudah bersedia menerima, para lelaki digiring keluar dari tempat tidur gantung mereka dengan
popor senapan, diikat, dan dinaikkan ke bak truk untuk dinikahkan paksa.
Selama beberapa hari nenek melihat truk kecil itu dipenuhi perempuan Indian hamil menuju
misi, tetapi dia luput menangkap peluangnya. Dia baru mendapatkannya tepat pada hari Minggu
Pentakosta, ketika dia mendengar ledakan kembang api dan dentang lonceng dan melihat
kerumunan sedih dan gembira pasangan yang akan menikah, dia melihat bahwa di antara
kerumunan itu ada perempuan-perempuan hamil dengan kerudung dan mahkota pengantin
memegang tangan pasangan tidak sah mereka, yang akan disahkan dalam pernikahan massal.
Di barisan terakhir seorang bocah berjalan, lugu, dengan rambut Indian model tempurung
kelapa dan pakaian compang-camping, membawa lilin Paskah dengan pita sutra di tangannya.
Nenek memanggilnya.
Katakan, Nak, tanyanya dengan suara paling lembutnya. Apa peranmu dalam acara ini?
Bocah itu merasa tertekan dengan lilin yang dibawanya dan sulit baginya menutup mulut
karena gigi keledainya.
Pastor akan memberi saya komuni yang pertama, katanya.
Mereka bayar kamu berapa?
Lima peso.
Nenek mengambil segulungan uang dari kantongnya dan bocah itu melihat dengan takjub.
Kuberi kamu dua puluh, ujar nenek. Tidak untuk komuni pertama, tetapi untuk menikah.
Dengan siapa?
Cucuku.
Maka menikahlah Erndira di halaman misi dalam baju pertapanya dan selendang sutra yang
diberikan para novis kepadanya, tanpa tahu nama mempelai pria yang dibelikan neneknya.
Dengan harapan tak pasti dia menghadapi siksaan berlutut di tanah mengandung salpeter, bau
kulit kambing dua ratus pengantin hamil, hukuman Surat Paulus yang disampaikan dalam bahasa
Latin di bawah matahari membara tak kunjung beranjak, sebab para misionaris tidak menemukan
jalan lain untuk menghalangi muslihat perkawinan tak terduga ini, tetapi memberinya janji
sebagai usaha terakhir untuk mempertahankannya di misi. Walaupun demikian, setelah upacara
yang dihadiri oleh pejabat apostolik, wali kota tentara yang menembaki awan, suami barunya,
dan neneknya yang tidak menunjukkan emosi apa pun, Erndira mendapati dirinya sekali lagi di
bawah kekuasaan yang mendominasinya sejak lahir. Ketika mereka bertanya apa kehendak
bebas, murni, dan pastinya, dia bahkan tidak menunjukkan setitik pun keraguan.
Saya mau pergi, katanya. Dan dia menjelaskan banyak hal dengan menunjuk suaminya.
Tapi tidak dengannya, melainkan dengan nenek saya.

Potrebbero piacerti anche