Sei sulla pagina 1di 3

Munafik

Anton Chekov
JANGAN percaya kepada Yudas-Yudas, bunglon-bunglon! Di zaman kita ini orang
lebih mudah kehilangan kepercayaan daripada sarung tangan tua; dan saya sudah
kehilangan kepercayaan itu!
Malam. Saya naik trem kuda. Sebagai pejabat tinggi, tidak sepatutnya saya naik trem
kuda, tetapi kali itu saya mengenakan mantel bulu besar, dan saya dapat
menyembunyikan diri di balik kerah mantel dari bulu marten itu. Dan lagi, naik trem kuda
lebih mahal, bukan?
Waktu itu sudah larut dan dingin, tetapi gerbong trem penuh sesak. Tidak seorang pun
yang mengenali saya. Kerah bulu marten itu membuat saya incognito. Begitulah saya
bepergian, mengantuk, dan melihat-lihat orang-orang di sekitar.
"Ah, bukan, itu bukan dia!" pikir saya, waktu terlihat oleh saya seorang lelaki bertubuh
kecil, mengenakan mantel dari bulu kelinci. "Itu bukan dia! Bukan, bukan dia! Ah, dia!"
Saya berpikir, dan saya percaya sekaligus tidak percaya kepada mata sendiri....
Orang yang mengenakan mantel bulu kelinci itu mirip sekali dengan Ivan Kapitonich,
seorang di antara pegawai kantor saya.... Ivan Kapitonich adalah makhluk kecil yang
murung dan berhidung pesek, yang hidupnya hanya untuk memungut saputangan yang
terjatuh dan mengucapkan selamat hari raya. Ia masih muda, tetapi punggungnya
bongkok seperti busur, lututnya bengkok, tangannya kotor dan terlekat pada tepi
bajunya.... Mukanya seperti terhimpit pintu atau terhantam gombal basah. Muka itu
asam mengibakan. Melihatnya orang jadi hendak menyanyikan lagu "Oskolki"
(Serpihan), lalu merintih. Jika melihat saya, ia gemetar, pucat, dan merah-padam,
seolah saya ingin menelan atau menyembelihnya, sedangkan kalau saya marahi, ia
menggigil, dan seluruh anggota tubuhnya menggeletar.
Tidak ada orang yang lebih hina, lebih pendiam, dan lebih tidak berharga daripada dia.
Bahkan saya tidak mengenal binatang yang lebih cinta damai daripada dia.
Lelaki kecil bermantel bulu kelinci itu betul-betul mengingatkan saya kepada Ivan
Kapitonich: betulbetul dia! Cuma, lelaki kecil itu tidak sebongkok Ivan Kapitonich, tidak

begitu murung, gayanya bebas, dan yang paling menjengkelkan, ia bicara politik
dengan orang di dekatnya. Seluruh gerbong mendengarkannya."Gambetta mati!"
katanya sambil memutar badan dan mengayunkan tangannya. Ini menguntungkan
Bismarck. Gambetta memang punya otak sendiri. Ia berperang melawan orang Jerman,
dan punya andil!. Ivan Matveich! la memang orang jenius! la orang Prancis, tetapi
jiwanya Rusia. Orang berbakat.""Gombal kamu!"

Ketika kondektur mendatanginya dengan membawa karcis, pembicaraan tentang


Bismarck itu dihentikannya."Kenapa gerbong ini begini gelap?" kecamnya kepada
kondektur. "Apakah tak ada lilin? Betul-betul tak ada ketertiban. Siapa yang mesti
mengajar kalian? Kalau di luar negeri, sudah kena kalian! Bukan masyarakat untuk
kalian, tetapi kalian untuk masyarakat! Setan! Tidak mengerti saya, bagaimana
penglihatan para pemimpin!"

Sebentar kemudian ia meminta kami bergeser."Geser sedikit! Kalian yang saya ajak
bicara ini! Kasih tempat pada perempuan! Sopanlah sedikit! Kondektur! Coba ke sini,
Kondektur! Kalian kan ambil uang? Mesti kasih tempat! Ini licik namanya!" "Di sini
dilarang merokok!" teriak kondektur kepadanya."Siapa yang melarang? Siapa yang
punya hak? Ini pelanggaran kebebasan! Saya tidak akan membiarkan siapapun
melanggar kebebasan saya! Saya orang bebas!" "Makhluk macam apa kamu ini!"
Saya pandang moncongnya, betul-betul tak percaya saya pada mata sendiri. Tidak, itu
bukan dia! Tak mungkin! Yang itu tak kenal kata-kata seperti "kebebasan" dan
"Gambetta".
"Apa boleh buat, memang baik peraturan itu!" katanya sambil membuang rokoknya.
"Bolehlah

hidup

dengan

Tuan-tuan

ini!

Mereka

gila

bentuk,

gila

huruf!

Orang-orang formalis, orang-orang Philistine! Suka mencekik!"


Saya tak tahan lagi, dan tertawa terbahak-bahak. Mendengar tawa saya, sekilas ia
menoleh kepada saya, dan gemetarlah suaranya. Ia mengenali tawa saya, dan tentunya
mengenali juga mantel bulu saya. Sekejap itu juga punggungnya melengkung, wajahnya
mengasam, suaranya padam, kedua tangannya turun ke tepi bajunya, dan lututnya

membengkok. Berubah dalam sekejap mata! Saya tak sangsi lagi... itulah Ivan
Kapitonich, pegawai kantor saya. Ia pun duduk, menyembunyikan hidungnya yang kecil
di balik mantel bulu kelincinya.Kini saya tatap mukanya."Apa betul orang yang murung
dan pesek ini bisa mengucapkan kata-kata seperti 'orang Philistine' dan 'kebebasan'?
Ha? Apa betul? Ya, betul. Ini sukar dipercaya, tetapi benar. Gombal kamu!"
Cobalah,

apa

sesudah

itu

saya

bisa

mempercayai

bunglon-bunglon

yang

memperlihatkan tubuhnya yang mengibakan itu! Saya sungguh-sungguh tidak bisa lagi.
Cukuplah, saya tidak bisa dibohongi lagi!

Potrebbero piacerti anche