Sei sulla pagina 1di 7
BAB IX PERUMAHAN DAN SANITASI Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Periukiman disebutkan rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Menurut Azwar (1996) dan Mukono (2000) rumah berfungsi sebagai tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul dan membina rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat berlindung dan menyimpan barang berharga, dan rumah juga merupakan status lambang sosial. Rumah yang layak huni harus memenuhi standar kesehatan agar penghuni rumah tersebut dapat terjamin kesehatannya. Menurut Depkes RI (2002), rumah harus memenuhi empat kriteria agar bisa dikatakan sehat, yaitu; pertama, dapat memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu, kedua, dapat memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah, ketiga, memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayan dan penghawaan yang cukup, dan yang keempat, memenuhi persayaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain, posisi garis sempadan jalan, kontruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir. Pada tahun 2009, proporsi rumah yang memenuhi kriteria sehat di Jawa Barat baru mencapai 59,78 persen (Dinkes Jawa Barat, 2009). Kota Bekasi memiliki proporsi rumah sehat yang paling tinggi, yaitu mencapai 89,74 persen sedangkan yang paling rendah adalah Kabupaten Bandung yang hanya mencapai 28,13 persen. Berikut ini Penyusunan Kondisi Sosial Ekonomi Jawa Barat Tahun 2009 - 2010 82 akan disajikan gambaran perumahan di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2010 menurut kualitas dan fasilitas rumah tinggal 9.1. Kualitas Rumah Tinggal Kualitas rumah tinggal yang baik akan membuat penghuninya merasa aman, terlindung dan terjamin kesehatannya. Tabel 9.1. adalah persentase rumah tinggal menurut kualitas rumah yang ditempati. Kualitas rumah disini diwakili oleh status penguasaan rumah, jenis diniding, atap dan lantai rumah serta luas lantai per kapita. Tabel 9.1. Persentase Rumahtangga Menurut Kualitas Rumah Jawa Barat Tahun 2010 kKualitas Rumah % Rumah kKualitas Rumah % Rumah aw 2 @) @ 1 Kepemilikan rumah : Jenis lantal terluas = Milik sendiei 75.67 | - Bukan tanah/bambu 90.93 = Kontrak 7.24] -Tanah/bambu 9.07 ~Sewa 42 -Lainnya 12.89 | 5 Luas Lantai per ka <8 16.27 2. Jenis atap terluas : 8-20 55.98 = Beton 236) ->20 27.76 - Genteng 90.89 -Lalnnya 6.75 3 Jenis dinding terluas : Tembok 7952 = Lainaya 20.48 ‘Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2010 Salah satu target dalam MDGs adalah mencapal perbakan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2020. Untuk ‘mencapai target tersebut digunakan indikator-indikator, dimana salah indikator yang digunakan adalah proporsi penduduk atau rumah tangga dengan status rumah tetap Penyusunan Kondisi Sosial Ekonomi Jawa Barat Tahun 2009 - 2010 83 dan terjamin. Status rumah tetap dan terjamin adalah rumah dengan status milik sendiri, sewa atau kontrak. Indikator ini bermanfaat untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan penduduk atau rumah tangga untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu tersedianya rumah yang layak huni. Pada tahun 2010 proporsi rumah tangga dengan status rumah tetap dan terjamin sebanyak 87,11 persen dengan rincian 75,67 persen milik sendiri, 7,24 persen berstatus kontrak dan 4,2 persen berstatus sewa. Sisanya sebanyak 12,89 persen rumah tangga berstatus lainnya, misalnya milik orangtua/famili, rumah dinas, atau bebas sewa. Jenis atap rumah juga mempengaruhi kualitas rumah. Menurut Anne Ahira dari anneahira.com, fungsi atap adalah untuk memberikan perlindungan kepada penghuninya, terutama dari panas dan hujan, oleh karena itu faktor jenis bahan yang digunakan turut memberikan pengaruh kepada kenyamanan penghuninya. Sebagai contoh genting sangat bagus dijadikan atap, karena selain dapat meredam hawa panas dan suara bising hujan, adanya celah diantara genting memungkinkan udara dapat masuk sehingga menambah kesejukan ruangan. Lalu atap dari bahan asbes, harganya lebih murah daripada genting, tetapi dari sisi kesehatan kurang baik karena dapat menjadi penyebab penyakit kanker. Di Jawa Barat, persentase rumah tangga yang menggunakan genting sebagi atapnya mencapai 90,89 persen, sisanya sebanyak 2,36 persen menggunakan beton dan 6,75 persen menggunakan bahan-bahan lainnya sebagai atap, seperti asbes, sirap, dil. Selain atap, jenis dinding rumah juga mempengaruhi kualitas rumah. Dinding yang terbuat dari bahan yang kuat dan kokoh dapat melindungi penghuninya dari ancaman gempa dan penyakit. Pada tahun 2010, persentase rumah tangga yang berdinding tembok mencapai 79,52 persen, sedangkan yang bahan lainnya seperti kayu, bambu, dil sebesar 20,48 persen. Dari tabel 9.1.1 juga dilihat persentase rumah tangga menurut jenis lantai terluas rumah tinggal. Menurut Yuwono (2008) dalam penelitiannya tentang faktor-faktor fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian Pneumonia pada anak balita di cilacap menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jenis lantai terluas rumah tinggal dengan kejadian pneumonia pada anak balita. Anak balita yang menempati rumah dengan lantai terluasnya dari tanah mempunyai risiko yang lebih besar untuk terkena pneumonia daripada anak balita yang tinggal di rumah dengan lantai terluasnya bukan dari tanah. Di Jawa Barat Penyusunan Kondisi Sosial Ekonomi Jawa Barat Tahun 2009 - 2010 84 terdapat 90,93 persen rumah dengan lantal terluasnya bukan dari tanah atau bambu dan sebanyak 9,07 persen rumah memiliki lantai terluasnya dari tanah atau bambu. Selanjutnya kualitas rumah juga diukur dari rata-rata luas lantai per kapita. Menurut BPN2KT (2011) rata-rata luas lantai per kapita adalah salah satu ukuran yang digunakan untuk menentukan rumah tangga sasaran (RTS) atau biasa disebut dengan kemiskinan mikro, Suatu rumah tangga dikatakan sebagai rumah tangga sasaran apabila rata-rata luas lantai per kapitanya < 8 m?, Pada tabel diatas terlihat persentase rumah tangga yang memiliki rata-rata luas lantai per kapitanya < 8 m? masih cukup tinggi yaitu sekitar 16,27 persen. Yang paling tinggi adalah persentase rumah tanga yang memiliki rata-rata luas lantai perkapitanya 8 ~ 20 m’ yaitu sekitar 56 persen. 9.2. Fasilitas Rumah Tinggal Selain kualitas rumah yang baik, tersedianya fasilitas yang cukup untuk setiap penghuni rumah akan menambah kenyamanan dan kemudzhan dalam beraktifitas serta meningkatkan derajat kesehatan penghuni. Fasilitas rumah tinggal meliputi ketersediaan air bersih untuk minum, ketersediaan fasilitas buang air besar, listrik untuk penerangan dan jenis bahan bakar untuk memasak. Target ke-10 MDGs adalah menurunkan separuh proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015. Indikator yang digunakan untuk memantau pencapaian target tersebut adalah proporsi penduduk atau rumah tangga dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindungi dan berkelanjutan dan proporsi penduduk atau rumah tangga dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak Indikator yang pertama digunakan untuk memonitor akses terhadap sumber air berdasarkan asumsi bahwa sumber air terlindung menyediakan air yang aman untuk diminum, Air yang tidak aman diminum adalah penyebab langsung berbagai sumber penyakit. Dari tabel 9.2.1 terlihat bahwa persentase terbesar adalah rumah tangga yang menggunakan sumur/mata air terlindung sebagai sumber air minum yaitu sebesar 35,46 persen, kemudian rumah tangga yang menggunakan air kemasan/isi ulang sebesar 23,75 persen, lalu yang menggunakan sumur bor/pompa sebesar 21,14 persen, yang menggunakan ledeng meteran/eceran sebesar 8,82 persen dan yang Penyusunan Kondisi Sosial Ekonomi Jawa Barat Tahun 2009-2010 85 terakhir adalah lainnya yaitu sebesar 10,83 persen. Yang dimaksud dengan ‘menggunakan sumber air minum lainnya adalah sumur/mata air tidak terlindung, air hujan, air sungai atau lainnya. Dari tabel tersebut juga terlihat bahwa rumah tanga yang membeli untuk mendapatkan air minum sebanyak 35,30 persen dan sisanya mendapatkannya dengan gratis. Indikator yang kedua bermanfaat untuk melihat kelayakan fasilitas sanitasi yang dimiliki oleh penduduk atau rumah tangga. Fasilitas sanitasi yang layak adalah sanitasi yang memenuhi syarat kesehatan antara lain dilengkapi dengan leher angsa dan tanki septik, Pada tahun 2010 di Jawa Barat umumnya rumah tangga sudah mempunyai fasilitas tempat buang air besar, yaitu sebanyak 86,80 persen dan 66,92 persen diantaranya mempunyai fasilitas tempat buang air besar sendiri. Tetapi yang tidak memiliki fasiitas tempat buang air besar juga cukup banyak yaitu sebesar 13,20 persen, Dari rumah tangga yang mempunyai fasilitas tempat buang air besar tersebut sebanyak 80,50 persen diantaranya memakai jenis Kloset leher angsa, sisanya sebanyak 19,50 persen memakai plengsengan, cemplung/cubluk dan jenis lainnya. Sebanyak 60,81 persen rumah tanga _menggunakan tanki/SPAL sebagai tempat pembuangan akhir kotoran, 12 ,39 persen dibuang ke kolam/sawah dan 0,99 persen dibuang ke tempat lainnya seperti sungai, danau, dll Fasilitas rumah lainnya adalah ada atau tidaknya sumber penerangan di rumah tangga. Dari tabel diatas terlihat bahwa hanya 0,99 persen rumah tangga yang belum. ‘mempunyai listrk, sisanya sebanyak 99,01 persen sudah mempunyailistrik. Dari yang. ‘mempunyai listrik tersebut sebanyak 45,82 persen rumah tangga menggunakan daya sebesar 450 watt, 37,92 persen menggunakan daya 900 — 2.200 watt dan 0,47 persen menggunakan daya lebih dari 2.200 watt. Yang menarik adalah persentase rumah tangga yang menggunakan listrik tanpa meteran, persentasenya cukup banyak yaitu sebesar 15,79 persen, Untuk bahan bakar/energi utama untuk memasak, rumah tangga di Jawa Barat banyak menggunakan gas elpili. Hal ini dilihat dari tingginya persentase rumah tanga yang menggunakannya yaitu sebesar 65,39 persen. Tingginya persentase gas elpiji: mungkin dikarenakan masyarakat sudah beralih dari menggunakan minyak tanah. Selain lebih awet dalam pemakaian, gas elpiji juga relatif lebih murah Penyusunan Kondisi Sosial Ekonomi Jawa Barat Tahun 2009 - 2010 86 dibandingkan dengan minyak tanah. Selain itu persentase rumah tangga yang menggunakan kayu bakar untuk memasak masih cukup banyak yaitu sekitar 28,21 Tabel 9.2. Persentase Rumahtangga Menurut Fasi is Rumah di Jawa Barat Tahun 2010 Pastas Rumah wen Pastas hunah wen (a (2) (3) (4) 1 sume eum tn ulang 23.75 ~ Tangki/SPAL 60.81 Ledeng meteran/eceran 8.82 Kolam/Sawah 12.39 = Sumur bor/pompa 21.14 = Lainnya 26.80 “sumur/mataairtindung | 35.46 “anya 1023 | 6 sumberpenerneen 2 cara mempeolhalr minum “sino LN Las Daya Listrik terpasang (watt) 2 bese --50 saz 4 nile unt emai Cemplung/cubluk 5.68 Minyak tanah_ 2.69 “anne as ‘Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2010 persen dan yang menggunakan bahan lainnya (arang, briket, dll) sebanyak 1,88 persen. Persentase rumah tangga yang menggunakan kayu bakar dan bahan lainnya (bahan bakar padat) merupakan salah satu indikator MDGs. Indikator ini digunakan Penyusunan Kondisi Sosial Ekonomi Jawa Barat Tahun 2009 - 2010 87 untuk mengetahui polusi dalam ruangan dan pengurangan sumber daya hutan karena pemakaian bahan bakar padat untuk memasak. Penyusunan Kondisi Sosial Ekonomi Jawa Barat Tahun 2009 - 2010 88

Potrebbero piacerti anche