Sei sulla pagina 1di 5

Marxisme dan Universalia (Bagian I)

6 February 2013
Martin Suryajaya
Logika
KONON, menurut tradisi yang turun-temurun di kalangan pemikir Marxis, titik tolak filsafat
Marx adalah pembalikkan atas filsafat Hegel. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan
membalik filsafat Hegel? Apakah yang sebetulnya terjadi dalam proses pembalikkan itu?
Ada yang mengatakan, Marx mengubah dialektika pada tataran ide menjadi dialektika pada
tataran realitas. Ada pula yang mengatakan, sementara Hegel membuat pikiran menjadi motor
penggerak materi, Marx membuat materi menjadi motor penggerak pikiran. Pernyataan-
pernyataan ini tidak keliru. Persoalannya hanyalah bahwa itu kurang lengkap. Apa yang
sebetulnya dipertaruhkan dalam pembalikkan tersebut belum terkemukakan secara memadai.
Dalam artikel ini, kita akan menunjukkan bahwa dalam kritik Marx atas Hegel, terkandung
pokok perdebatan yang sungguh mendasar dan memiliki asal-muasal yang purba dalam sejarah
filsafat.
Hegel (Koleksi: IISH)

Marilah kita lihat teks yang dituliskan Marx pada waktu ia berusia 25 tahun, Kritik atas Doktrin
Hegel tentang Negara:
Hegel membuat predikat, objek-objek, menjadi otonom, tetapi ia melakukannya dengan
memisahkan predikat itu dari otonominya yang sesungguhnya, yakni subjeknya. Subjek yang
sesungguhnya kemudian nampak sebagai hasil, padahal pendekatan yang tepat mesti berangkat
dari subjek yang sesungguhnya dan kemudian mempertimbangkan objektifikasinya. [Dalam
Hegel] substansi mistik lalu menjadi subjek yang nyata, sementara subjek aktual nampak
sebagai sesuatu yang lain, yakni sebagai momen dari substansi mistik. [...] Hegel tidak
berangkat dari keberadaan aktual (hupokeimenon) tetapi dari predikat determinasi universal.
(Marx 1992: 80)
Apabila kita abstraksikan seluruh dekorasi retoris dan ringkaskan inti argumen dari pemaparan
Marx di muka, kita memperoleh dua proposisi yang berturut-turut merepresentasikan posisi
Hegel (menurut Marx) dan posisi Marx:
Posisi Hegel: predikat dapat ada terpisah dari subjek dan subjek tak lain ketimbang
manifestasi tertentu dari predikat
Posisi Marx: predikat tidak dapat ada terpisah dari subjek dan adanya predikat dikondisikan
oleh adanya subjek
Pertama-tama, kita mesti klarifikasi apa yang dimaksud dengan subjek dan predikat di sini.
Kedua istilah tersebut dimengerti di sini dalam pengertian logisnya. Dalam proposisi S adalah
P (misalnya, Joko itu baik, meja ini berwarna merah, tembok ini tebalnya 30 cm), S adalah
subjek dan P ialah predikatnya. Secara umum, subjek adalah hal (atau disebut juga substansi)
yang dikenai sifat, sementara predikat adalah sifat atau relasi yang dikenakan pada suatu hal.
Setelah kita menangkap pengertian logis subjek dan predikat, kita dapat memahami perbedaan
posisi Marx dan Hegel melalui parafrase:
Posisi Hegel: ada sifat atau relasi tanpa hal (atau substansi) yang disifatkan dan substansi tak
lain daripada kumpulan sifat-sifat atau relasi.
Posisi Marx: tidak ada sifat atau relasi tanpa hal (atau substansi) yang disifatkan atau
dihubungkan dan adanya sifat atau relasi tersebut dikondisikan oleh substansi.
Kini kita akan menempatkan kembali pemahaman kita ke dalam konteks perdebatan dalam teks
di muka. Dalam bagian yang kita kutip tadi, Marx tengah mempersoalkan cara Hegel
memahami kedaulatan (sovereignty). Hegel membuat kedaulatan menjadi esensi yang sudah
ada sebelum adanya negara atau warga negara yang berdaulat sedemikian, sehingga negara dan
warga negara itu tak lain ketimbang inkarnasi dari roh kedaulatan. Marx menunjukkan,
sebaliknya, bahwa tak ada kedaulatan tanpa hal yang berdaulat (entah negara atau warga
negara). Sifat, misalnya, berdaulat, hanya ada dalam hal yang menjadi landasan tempat
dikenainya sifat tersebut, sehingga karakteristik dari sifat seperti berdaulat dikondisikan oleh
landasan tersebut, yakni rakyat yang tertentu.
Kawan-kawan pembaca yang pernah mempelajari tulisan Marx, tentu segera menyadari bahwa
apa yang dibahas di sini akan menjadi titik berangkat Marx di berbagai tulisannya kemudian.
Tak ada keadilan yang keberadaannya sama sekali terpisah dari masyarakat dimana keadilan itu
membadan; tak ada kebaikan tanpa orang/tindakan yang baik; tak ada hubungan tanpa hal
yang dihubungkan. Argumen semacam ini juga dapat kita saksikan dalam karya ekonomi-politik
Marx. Penolakan Marx atas pendekatan sirkulasionis (yang antara lain mengemuka dalam
pemikiran Samuel Bailey), juga dilandasi oleh argumen yang sebangun: tak ada sirkulasi
tanpasesuatu yang disirkulasikan, sehingga adanya sesuatu itu (dan karenanya produksi)
mengondisikan bagaimana sirkulasi atasnya dimungkinkan. Puncak dari model argumen ini
mengemuka ke dalam apa yang kini kita kenal sebagai tesis materialisme historis: basis
ekonomis mengondisikan superstruktur politiko-legal-kultural. Argumen dasarnya tetaplah
serupa: tak ada kebudayaan tanpa masyarakat, tak ada hukum tanpa masyarakat, dan karena
adanya masyarakat mengandaikan pemenuhan kebutuhan biologis sebagai syarat kemungkinan
bagi keberadaannya (dan karenanya ekonomi), maka basis ekonomis mengondisikan
superstruktur politiko-legal-kultural.
Darimanakah asal-muasal argumen yang demikian kuat ini, yang sebagai implikasinya tesis
materialisme historis dimungkinkan? Apakah Marx menciptakannya dari ketiadaan? Tidak.
Argumen semacam ini telah beredar lama, ribuan tahun sebelum Marx lahir. Kita dapat
mengasalkannya pada Aristoteles. Perbantahan Marx dengan Hegel, dalam arti ini, dapat dilihat
sebagai kelanjutan dari perdebatan purba Aristoteles lawan Plato. Bagi Plato, adanya sifat-sifat
dapat terseparasi atau terpisah dari substansi partikular. Apabila ada lima buah benda dan
kelimanya dapat kita sebut sebagai kursi, tentu terdapat kekursian yang menjadi alasan
mengapa kelimanya dapat kita sebut sebagai kursi. Kelima benda itu dapat dinyatakan sebagai
kursi karena kelimanya terhubung pada satu esensi kekursian yang sama. Adanya kekursian
ini, menurut Plato, tidak mensyaratkan adanya kursi material sebab justru kekursian itulah
yang disyaratkan oleh fakta bahwa kelima kursi adalah kursi dan bukan hal lain. Kendati
bersepakat dengan Plato bahwa ada esensi kekursian dalam setiap kursi, Aristoteles
menyanggah gurunya dengan menunjukkan bahwa adanya kekursian tersebut tidak terpisah
dari adanya kursi material. Kekursian, bagi Aristoteles, tak ada dimanapun selain di
dalamkursi material.
Pandangan Plato dan Aristoteles ini kemudian terus diperdebatkan dalam Abad Pertengahan.
Berdasarkan tradisi ini, pandangan Plato kemudian kita kenal sebagai realisme ekstrem: ada
sifat-sifat objektif yang keberadaannya dapat terlepas dari keberadaan hal-hal yang menjadi
pembawanya. Ini juga dikenal sebagai realisme ante rem (harafiahnya: mendahului benda)
atau realisme transenden, karena sifat-sifat tersebut dikatakan
ada sebelum dan melampaui adanya hal-hal yang memiliki sifat tersebut. Sifat-sifat inilah yang
dalam Abad Pertengahan disebut sebagai universalia (universals), sementara substansi atau hal
yang dikenai sifat-sifat tersebut disebut sebagai partikularia (particulars).
Pada ujung yang berlawanan dengan realisme Platonis, berkembanglah pandangan anti-
esensialis dalam Abad Pertengahan yang dikenal sebagai nominalisme, yakni pandangan bahwa
tak ada sifat-sifat selain sebagai nama (nomina)belaka dan yang ada hanyalah substansi
partikularia. Di tengah-tengah kedua posisi yang berlawanan itu, berdirilah posisi Aristotelian
yang dikenal sebagai realisme moderat: ada sifat-sifat atau universalia (membantah kaum
nominalis), tetapi keberadaan sifat-sifat itu imanen dalam benda atau partikularia (membantah
kaum realis ekstrem). Ini juga dikenal sebagai realisme in re (harafiahnya: dalam benda) atau
realisme imanen, karena sifat-sifat itu tak pernah ada selain di dalam hal-hal yang
menubuhkannya. Thomas Aquinas adalah salah satu pemikir yang berada pada garis tradisi ini.
Demikian pula, seperti telah kita lihat, Marx ratusan tahun kemudian. (Tak kelirulah pendapat
R.H. Tawney, seorang sosialis-Katolik dari Irlandia awal abad ke-20, yang menyatakan bahwa
Marx adalah seorang Skolastik terakhir).
Dengan begitu, kita dapat mengerti sekarang apa yang sebenarnya dipertaruhkan dalam kritik
Marx atas Hegel. Pada jantung pemikiran Marx tidak hanya terdapat kritik atas idealisme
objektif (Hegel); di balik itu, terdapat upaya mengartikulasikan kembali posisi realisme moderat
Aristotelian melawan realisme ekstrem Platonis (dan tentunya juga melawan nominalisme, di
sisi lain). Dengan demikian, pada jantung materialisme historis (dan outlook ekonomi-politik
Marx secara umum), termuat konsepsi universalia in rebus. Dengan cara ini, kita tahu bahwa
tradisi materialisme historis bukanlah fenomena abad ke-19 semata, melainkan tradisi dengan
akar yang amatlah tua. Apabila kita bongkar pohon Marxisme, kita akan menemukan bahwa
ujung akar pohon itu akan mengantarkan kitavia Vatikan dan Persia serta Andalusia tempat
pemikiran Aristoteles diselamatkan oleh para filsuf Islam seperti Ibn Sina dan Ibn Rushd
sampai ke Athena pada abad ke-3 SM.
Kendati ini merupakan proyek ekskavasi sejarah pemikiran yang menarik, kita tidak
berkesempatan untuk mengolahnya secara lebih detail dalam artikel-artikel kita nanti. Apa yang
dapat kita jalankan, sesuai dengan semangat rubrik ini, adalah ekskavasi logis atas implikasi
dari sentralitas doktrin universalia in rebus dalam kritik Marx atas Hegel dan pengaruhnya pada
konsepsi dialektika yang khas Marxian. Inilah yang kiranya akan kita jalankan di artikel
selanjutnya.***

Potrebbero piacerti anche