Sei sulla pagina 1di 4

Demokrasi Sosial

Sejarah telah usai, teriak Francis Fukuyama. Seruan itu tepat didengungkan setelah
komunisme di Uni Sovyet runtuh lewat program glasnost dan perestroika dan hampir
bersamaan dengannya China juga mulai membuka ekonomi nasionalnya. Komunisme dan
model ekonomi-terpimpin yang awalnya begitu gagah dan tangguh melawan kapitalisme dan
demokrasi liberal, tiba-tiba jatuh tersungkur tak bangkit lagi. Perang Dingin usai sudah. Lewat
seruan Fukuyama itu genderang kemenangan sudah ditabuh. Hingga kini, Demokrasi Liberal
dan Kapitalisme menjadi pemenang tunggal peradaban. Lantas, seperti Fukuyama ungkapkan,
tugas manusia modern menjadi semakin ironis; hanya merawat dunia yang laksana museum
tambo. Tidak ada lagi gairah, perlawanan dan antidot. Cerita tentang sosok Che sang petualang
revolusi sudah harus dikubur dalam-dalam. Kisah heroik Lenin hanya tinggal sejarah di buku-
buku, keberanian Usamah bin Laden cukup hanya tersemat di kaos-kaos anak muda saja.
Narasi besar tentang revolusi dan perlawanan massa hendak diakhiri, tetapi narasi besar yang
lain, yang berwujud demokrasi liberal dan kapitalisme harus tetap dibiarkan melenggang.
Lantas seorang sastrawan Indonesia, Gunawan Mohamad, mengamininya dengan menuliskan
sebuah buku; Setelah Revolusi Tak Ada Lagi.
Benarkah Demokrasi Liberal dan kapitalisme adalah satu-satunya kebenaran? Benarkah tidak
akan ada perlawanan terhadap dominasi Two Towers (baca: demokrasi liberal dan
kapitalisme) ini? Benarkah ini sistem yang terbaik? Benarkah kapitalisme dan demokrasi liberal
tidak akan mengalami krisis dan kontradiksi internalnya?
Petaka Demokrasi Liberal
Krisis dan kritik terhadap model demokrasi liberal sebenarnya sudah jauh hari diingatkan oleh
beberapa kalangan. Kritik terhadap demokrasi datang dari tradisi Marxisme utamanya Lenin
yang menyebut bahwa demokrasi sebenarnya adalah siasat kaum borjuis. Lenin mengolok
demokrasi liberal sebagai kediktatoran kaum borjuis (the dictatorship of borguise), dimana
instrumen dan sumberdaya kekuasaan yang berupa hukum, ekonomi dan politik terkonsentrasi
pada segelintir kelompok borjuis saja. Karena itu, alih-alih berpihak kepada kesejahteraan
proletar, model demokrasi ini hanya akan menghasilkan model politik massa mengambang
serta lahirnya oligarkh dan teknokrat politik yang enggan berbaur dan menjawab tuntutan serta
penderitaan rakyat.
Tidak hanya pada tradisi marxisme, kritik terhadap demokrasi liberal juga datang dari kalangan
pendukungnya sendiri. Ironi ini bermula dari teoretisi demokrasi Joseph Schumpeter yang
menafsirkan demokrasi hanya terbatas sebagai mekanisme memilih pemimpin melalui pemilu
yang kompetitif dan adil. Senada dengan itu, Samuel P. Huntington, sama naifnya dengan
Schumpeter, juga menyanyikan nada yang seirama. Bagi Huntington, kualitas demokrasi diukur
oleh pemilihan umum yang kompetitif, adil, jujur dan berkala dan partisipasi rakyat yang tinggi
selama pemilu. Cita-cita mulia demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan
teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat dibutuhkan dan
ditambang hanya ketika pemilu datang. Setelah itu, suara rakyat ditendang dan dikhianati;
kebijakan publik tidak lagi memihak rakyat, harga-harga semakin mahal, penggusuran dimana-
mana, BBM dinaikkan, pendidikan dan kesehatan dikomersialisasikan, kemiskinan dan
pengangguran tetap saja berkembang biak. Demokrasi, dalam cita-cita yang sesungguhnya,
perlahan-lahan mati.
Dalam konteks ini kritik Geoff Mulgan terhadap paradoks demokrasi sangat tepat dan jitu. Ada
tiga hal pokok dalam kritiknya terhadap demokrasi. Pertama, demokrasi cenderung melahirkan
oligarki dan teknokrasi. Bagaimana mungkin tuntutan rakyat banyak bisa diwakili dan
digantikan oleh segelintir orang yang menilai politik sebagai karier untuk menambang
keuntungan finansial?
Kedua, prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan dan kompetisi juga telah
dibajak oleh kekuatan modal. Yang disebut keterbukaan, hanya berarti keterbukaan untuk
berusaha bagi pemilik modal besar, kebebasan artinya kebebasan untuk berinvestasi bagi
perusahaan multinasional, kompetisi dimaknai sebagai persaingan pasar bebas yang penuh tipu
daya.
Ketiga, media yang mereduksi partisipasi rakyat. Kelihaian media mengemas opini publik
membuat moralitas politik menjadi abu-abu, juga cenderung menggantikan partisipasi rakyat.
Ini berujung pada semakin kecil dan terpinggirkannya partisipasi langsung dan kedaulatan
langsung rakyat.
Tidak hanya itu, sesat pikir kaum demokrasi prosedural juga karena ia menyembunyikan fakta
tentang negara dan kekuasaan. Negara, seperti kita semua maklum, adalah tempat akses dan
relasi ekonomi, politik, hukum berlangsung. Karena itu, sistem demokrasi juga berhadapan
dengan masalah ekonomi. Negara dan sistem demokrasi juga berhubungan dengan masalah
bagaimana menciptakan kesejahteraan, bagaimana menjalankan dan mengatur finansial sebuah
negara. Karena itu negara membutuhkan sebuah persekutuan yang taktis dan cepat. Karena
hanya model ekonomi kapitalisme yang tersedia yang bertumpu pada kekuatan modal besar -,
maka demokrasi membutuhkan kapitalisme, begitu juga sebaliknya. Dari sini, persekutuan najis
itu mulai tercipta.
Di ujung jalan, tampaknya kapitalismelah yang berkuasa. Atas nama kemajuan dan
perdagangan bebas, ia mulai mengangkangi negara. Atas nama pertumbuhan ekonomi, ia mulai
menyiasati demokrasi. Lalu muncullah makhluk lama dengan baju yang baru: neoliberalisme.
Sebuah makhluk yang mengendap-endap muncul, lalu menjalankan taktik silent takeover.
Istilah terakhir ini dipinjam dari Noreena Heertz, artinya kurang lebih sebuah penjajahan yang
terselubung.
Teror Neoliberalisme
Pada awalnya hanyalah gagasan. Neoliberalisme digulirkan sekelompok intelektual di sebuah
dataran tinggi Mont Pelerin di Swiss. Beberapa pemikir, pengusaha dan media ini
memperbincangkan dan mengangankan sebuah tata dunia baru yang tanpa tapal batas; sebuah
tata dunia baru yang dikendalikan sepenuhnya oleh pasar dan kekuatan modal; sebuah tata
dunia yang berjalan tanpa aturan negara; sebuah tata dunia yang meninggalkan negara
kesejahteraan a la Keynessian menuju pasar bebas. Neoliberalisme kemudian dikenal sebagai
sebuah kendaraan yang mengusung satu proyek besar dunia; globalisasi. Gagasan ini kemudian
dengan cepat menjadi sebuah horor global ketika ia diadopsi menjadi sebuah tata dunia baru.
Ini terjadi setelah administrasi Reagen dan Tatcher mengadopsi gagasan Mont Pelerin Society
ini. Setelah itu, hampir semua kebijakan dan lembaga internasional seperti World Bank, IMF
dan WTO praktis mengalami perubahan untuk mendukung paham globalisasi.
Paling tidak, ada dua faktor yang mendorong kenapa gagasan tentang neoliberalisme ini dipakai
dan diadopsi oleh rejim anglo-america tersebut. Pertama, ada krisis besar dan resesi ekonomi
dunia yang utamanya mengenai Amerika Serikat. Krisis ini semacam krisis overproduksi yang
menimpa sejumlah perusahaan multinasional dan perbankan yang diakibatkan oleh sistem
kapitalisme negara yang dianut oleh kebanyakan negara-negara dunia ketiga dan negara-negara
miskin. Kedua, model negara kesejahteraan (welfare state) mengalami kebangkrutan akibat
besarnya pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh negara untuk jaminan sosialnya rakyatnya.
Dengan demikian, kemenangan gagasan neoliberalisme adalah kemenangan bagi perusahaan
multinasional dan sejumlah korporasi yang merasa menderita pada jaman kapitalisme negara.
Termasuk juga kemenangan bagi negara maju dan sejumlah korporasinya untuk memberi
tekanan pada negara miskin agar mematuhi doktrin khas neoliberal: liberalisasi-privatisai-
deregulasi. Pendeknya setelah jaman globalisasi neoliberal menjelang, maka tapak-tapak
imperialisme ini mulai berjalan. Ini bisa ditandai oleh semakin mengguritanya korporasi
internasional yang bersiap mencengkeram seluruh kehidupan rakyat.
Noreena Hertz punya gambaran yang menarik, bagaimana suasana yang terjadi setelah dunia
berada dalam jaman globalisasi neoliberal ini. Menurutnya, selama berlangsungnya era
globalisasi yang ditandai oleh kebijakan privatisasi, deregulasi dan liberalisasi perdagangan, dan
kemajuan teknologi komunikasi, terjadi pergeseran kekuasaan. Kekuasaan pasar dan korporasi
global tiba-tiba tumbuh mejadi monster yang bisa mengancam keberadaan negara dan
demokrasi rakyat.
Dalam data yang dimiliki oleh Noreena tercatat ada 100 perusahaan multinasional terbesar
mengontrol 20% aset asing global, 51 dari 100 negara terbesar dunia adalah perusahaan, hanya
49 yang merupakan negara bangsa. Penjualan General Motor dan Ford lebih besar daripada
GDP seluruh negara-negara sub-sahara Afrika. Aset IBM, BP dan General Electric lebih besar
daripada kebanyakan negara-negara kecil; dan Wal-Mart, pengecer supermarket Amerika
Serikat, memiliki penghasilan yang lebih besar daripada negara-negara Eropa Timur dan
Tengah termasuk Polandia, Republik Ceko, Ukraina, Hungaria, Rumania dan Slovakia. Karena
itu barang-barang yang dikonsumsi manusia hampir berada dalam genggaman korporasi ini. Di
tangan mereka-lah kehidupan dunia kini dipertaruhkan.
Kekuasaan korporasi yang sangat hegemoik dan monopolis ini tentu mengakibatkan sebuah tata
dunia yang timpang. Tata dunia yang ditandai oleh ketidakadilan sosial dan makin merebaknya
kemiskinan. Sebuah tata dunia yang menghasilkan jurang dan celah yang begitu lebar antara
yang kaya dan yang miskin. Menurut Noreena, globalisasi neoliberal ini jelas lebih banyak
menghasilkan mereka yang kalah dibandingkan dengan mereka yang menang. Kesaksian
Noreena atas kemiskinan dan ketimpangan yang juga terjadi di Amerika dan Inggris menjadi
bukti bahwa neoliberalisme memang ancaman besar bagi dunia.
Korporasi multinasional ini tiba-tiba berkembang menjadi finance oligarchy yang bersiap-siap
untuk melucuti demokrasi dan keadilan sosial. Bahkan, tak segan-segan, untuk menegakkan
prinsip-prinsip neoliberalisme, kekerasan juga dihalalkan dan rezim otoriter pun juga didukung
asalkan menegakkan prinsip-prinip demokrasi pasar dan neoliberalisme, maka tentu juga akan
tetap didukung. Yang penting, akumulasi modal dan penumpukan laba jalan terus.
Begitulah ceritanya. Di negara-negara yang dulunya dipimpin oleh rejim otoriter (seperti
Indonesia, Argentina, Rusia, Korea Selatan atau Brazilia) neoliberalisme masuk ketika negara-
negara itu mengalami krisis politik dan krisis ekonomi. Pada masa itulah melalui sejumlah
agen-agen utamanya semisal IMF dan World Bank, agenda neoliberalisme mulai masuk dan
membuat sejumlah penyesuaian struktural. Dan disambutlah sebuah jaman yang seringkali
disebut-sebut dengan nada optimis yang meluap: transisi menuju demokrasi.
Tetapi, kita sebaiknya tidak menelan mentah-mentah sebuah doktrin bahwa setelah rejim
otoriter runtuh, maka demokrasi akan menjelang, kesejahteraan dan keadilan pasti akan
datang. Faktanya, ada kekuasaan lain yang jauh lebih imperalistik dan menindas. Sebuah
kekuasaan korporasi yang senantiasa mengincar jalan yang sedang ditempuh oleh negara-
negara yang mengalami masa transisi. Jadi, di negara-negara manapun perjalanan transisi
bukan berjalan secara alami, netral dan bukan tidak ada kepentingan-kepentingan modal yang
mengincar setiap ruas jalannya.
Transisi (tidak) Menuju Demokrasi
Salah satu buku babon yang seringkali dirujuk untuk mendalami transisi adalah karya
Guillermo ODonnel, Transisi Menuju Demokrasi, yang mengungkapkan beberapa kasus
transisi demokrasi di Amerika Latin dan Eropa Selatan. Buku yang terdiri dari empat volume
tersebut menjelaskan bahwa transisi demokrasi paling tidak dicirikan oleh suatu peralihan dari
rejim otoritarian, baik yang berbentuk rejim otoriter birokratik, otoriter populis, maupun
otoriter tradisionalis, menuju rejim yang lebih demokratis. Dalam karya itu, transisi yang ideal,
menurut karya Guillermo ODonnel, terletak pada pertama, model transisi politik yang berujung
pada konsolidasi demokrasi, partisipasi politik, peranan partai politik yang kian meluas, adanya
demiliterisasi dan liberalisasi ekonomi. Kedua, model transisi yang tidak diwarnai oleh sebuah
kecenderungan revolusioner, yang berpotensi mengembalikan suatu negara ke rejim otoritarian.
Ketiga, peranan faktor-faktor internasional yang seringkali mempromosikan demokrasi. Bagi
ODonnel, faktor-faktor internasional ini cenderung bernilai positif dalam pembangunan
demokratisasi di sebuah negara.
Dalam konteks yang sama, maka definisi demokratisasi yang ideal bagi masa transisi ini
digambarkan oleh Adam Przeworski sebagai sebuah mekanisme institusionalisasi
(pelembagaan) dari konflik yang berkelanjutan dan pelembagaan demokrasi yang mencakup
cita-cita partisipasi dari seluruh kelompok yang berbeda cita-cita, kepentingan dan bahkan
ideologi sekalipun dan memastikan agar semua kelompok itu bertanding dan berkontestasi
dalam ring dan mekanisme demokrasi itu.
Dalam buku Malapetaka Demokrasi Pasar (Resistbook, 2005), Coen Husain Pontoh, dengan
perspektif yang berbeda, mengatakan bagaimana kekuatan modal dan faktor internasional
justru merupakan faktor dominan yang menyebabkan masa transisi berbelok arah. Tidak lagi
transisi menuju demokrasi, melainkan transisi menuju neoliberalismeatau yang disebutnya
sebagai transition via internationalization. Sebuah model transisi yang dipandu oleh negara-
negara maju melalui hutang luar negeri, sebuah gaya transisi yang juga disokong oleh lembaga
keuangan internasional semacam IMF dan World Bank. Intinya adalah sebuah transisi yang
mengajak sebuah bangsa untuk menuju neoliberalisme. Melalui pembedahan atas kasus Rusia
dan Argentina, Coen hendak mengingatkan bahwa model transisi yang mengarah pada
neoliberalisme pada dasarnya adalah sebuah perangkap yang justru akan memenjarakan
demokrasi rakyat, mengabaikan hak-haknya dan lantas meluncurkannya pada jurang krisis
yang tak kunjung usai.[]

Potrebbero piacerti anche