Sei sulla pagina 1di 4

Pada sisi lain, Adorno dan Horkheimer kemudian melakukan penjelajahan terhadap akar masalah yang

reifikasi masyarakat modern. Mereka memulainya dengan penelusuran ke masa fajar budi, dimana saat itu
kemampuan rasio manusia mendapatkan tempat sebagai pembimbing dalam memahami alam. Mereka
menemukan, bahwa usaha manusia modern untuk mengetahui alam sejatinya tidak berbeda dengan usaha
manusia primitif. Manusia primitif mengetahui alam dengan cara melakukan proses ritual. Dalam proses
ritual tersebut mereka melakukan proses mimesisatau proses peniruansehingga mereka menjadi tahu
posisi mereka di tengah-tengah alam. Sedangkan manusia modern, mengetahui alam dengan ilmu
pengetahuannya. Dengan ilmu pengatahuan itu, manusia modern melakukan penjajakan, penjelajahan,
pengkalkulasian dan sebagainya, sehingga gambaran alam dapat ia ketahui.

Manusia modern melalui ilmu pengetahuannya yang dipimpin oleh rasio, ternyata juga melakukan
mimesis. Awalnya rasio kritis berusaha mengatahui alam sebagai wujud keprihatinan eksistensial manusia
di tengah-tengah alam. Namun, lambat laun, rasio kritis mampu membakukan prosedur-prosedur tersebut
sebagai hukum-hukum pengetahuan yang dapat dilakukan secara terus menerus. Manusia modern
kemudian memiliki seperangkat prosedur, tata aturan yang dapat membantunya untuk mengetahui alam.
Berangkat dari konteks ini, kemudian rasio kritis kehilangan ruhnya dan meninggalkan form dalam
bentuk prosedur-prosedur baku. Rasio kritis menjadi netral.

Netralitas rasio ini kemudian dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk melakukan apapun. Rasio yang
netral dapat digunakan tanpa harus mempertimbangkan untuk apa mereka mengetahui, apa konsekuensi
dari pengatahuan itu, dan seterusnya. Umat manusia dapat menggunakannya secara bebas, siapapun dan
di mana pun. Rasio kritis yang sudah dipisahkan antara spirit awal dengan form-nya berubah menjadi
rasio bertujuan atau rasio instrumental.

Rasio instrumental hasil dari pencerahan, sejatinya merupakan bentuk mitos baru bagi manusia. Awalnya,
mitos dalam bentuk tahayul, mistis, dan semecamnya dapat diketahui dengan penceraha atau logos.
Kemudian dialektika mitos dan logos ini melahirkan logos baru yang sifatnya netral. Logos baru, sebagai
ilmu pengatahuan yang sifatnya positivistik berlaku secara kalkulatif, manipulatif, proyektif yang dari
kebenaran-kebenaran (dari proposisi tertutupnya) ia menjadi tidak terverifikasi. Manusia modern tidak
memikirkannya kembali (rethinking) tetapi hanya mimesis. Mereka tanpa kritisisme, mempercayai begitu
saja logos baru itu. Pada titik ini, sejatinya logos kembali menjadi mitos.

Dalam realitasnya, Adorno dan Horkheimer menyaksikan ekses dari mitos pencerahan di masa fajar budi
di landscape sejarah masyarakat manusia; Perang Dunia I dan II, pembantaian massal (genocide) oleh
Nazi, fasisme menjadi sah sebagai alat pejuangan seperti yang ia lihat dalam New Left Movement (1956)
sampai akhirnya mereka, termasuk Marcuse mengundurkan diri sebagai juru bicaranya. Sisi gelap mitos
pencerahan ini mereka saksikan sebagai pengalaman keseharian.

Melihat sejarah yang penuh nestapa itu, mereka menjadi skeptis akan kemampuan rasio manusia untuk
melakukan praksis yang emansipatoris. Mereka sudah melihat bahwa rasio kritis yang berangkat dari
keprihatinan eksistensial, ternyata berubah menjadi rasio instrumental yang justru destruktif. Di tangan
mereka Teori Kritis menjadi mandul. Epistemologi kritis yang mempertautkan antara teori dan praksis
pun gagal mereka temukan.

Kritik atas Rasionalitas Modern
Kemandulan proyek Generasi Pertama Teori Kritis menjadikan seorang tokoh Madzhab Franfurt lainnya
tersentil untuk melakukan kerja dalam rangka membangun epistemologi kritis. Jurgen Habermas, sebagai
seorang tokoh lain tampil dalam panggung perdebatan dengan membawa kerangka kerja yang lain.
Meskipun lain, Habermas masih meminjam penemuan dari tiga rekan sebelumnya. Ia meminjam analisis
Adorno dan Horkheimer tentang ilmu tradisional yang positivistik sebagai perwujudan dari rasio
instrumental; dan juga meminjam analisis Marcuse tentang reifikasi.

Berbeda dengan yang dilakukan oleh Adorno dan Horkheimer, Habermas tidak menapaki jalan dialektika
pencerahan. Justru Habermas membaca kegagalan proyek Adorno dan Horkheimer karena
mendialektikakan antara mitos dengan logos yang akhirnya melahirkan logos baru dalam bentuk rasio
instrumental. Menurutnya, Adorno dan Horkheimer masih terlalu setia terhadap warisan Marx yakni
kerangka dialektika.

Habermas mecoba melakukan kritik terhadap rasio instrumental yang mereifikasi dunia kehidupan
masyarakat manusia. Dengan rasio instrumental manusia modern berlaku terhadap di luar dirinya dalam
hubungan subyek-obyek. Tidak hanya kepada alam, melainkan juga kepada sesama manusia.
Menurutnya, pengetahuan yang lahir dari rasio instrumental adalah pengetahuan yang sejauh mana dapat
mendefinisikan obyek di luar dirinya. Dan praksis yang lahir, sejauh mana manusia sebagai subyek
otonom mampu memanipulasi realitas di luar dirinya.

Melampaui Adorno dan Horkheimer, Habermas menawarkan perangkat lain yakni rasio komunikatif.
Rasio komunikatif ini ia bedakan secara tegas dengan rasio instrumental. Dalam rasio komunikatif, relasi
yang dibangun adalah relasi subyek-subyek. Proses mengetahui bukan dalam rangkan mendefiniskan
obyek di luar dirinya, melainkan membangun pemahaman intersubyektif antarsubyek dalam dunia
kehidupan.

Oleh sebagian pengamat, Habermas dianggap telah melakukan turning to language. Analisisnya
memusatkan kepada bahasa, bukan dalam konteks semantik, gramatikal atau sintaksis, melainkan dalam
konteks wicara (speech act). Menurutnya, potensi manusia untuk berbicara terkandung di dalamnya
potensi manusia untuk mengerti dan dimengerti. Peroses bicara yang termaktub dalam penggunaan
bahasa, membuka lebar proses belajar dari kesalahan.

Lebih jauh, dalam teorinya, Habermas mengemukakan tentang kompetensi komunikasi. Dalam sebuah
komunikasi, individu harus memiliki empat klaim dasar; kebenaran, kejujuran, kejelasan dan ketepatan.
Setiap individu yang berkomunikasi sejatinya pasti meneguhkan empat klaim tersebut. Lantas tahap
selanjutnya yang harus dilakukan antara pembicara dengan pendengar (dan sebaliknya, kaena mereka
akan bertukar posisi-peran) adalah melakukan uji validitas terhadap tuturan berdasar empat klaim
tersebut.

Satu komunikasi dianggap berhasil bukan karena mampu mewujudkan tujuan dari satu atau lebih
pesertanya, melainkan jika setiap peserta mempunyai pemahaman intersubyektif yang sama tentang
situasi atau masalah yang sedang terjadi. Habermas nampaknya sedang membelokkan hasrat bertujuan
rasio instrumental ke arah klaim moral tentang dunia kehidupan bersama itu.

Praktiknya, setiap komunikan harus menyampaikan satu masalah dengan benar; yakni ketika masalah
yang disampaikan sesuai dengan yang sedang atau sudah terjadi. Juga harus menyampaikannya secara
jelas; yakni tuturan tidak mengandung miskonsepsi yang berpotensi melahirkan mispemahaman. Lantas
komunikan harus menyampaikannya secara jujur; yakni apa yang disampaikan adalah sesuai apa yang
diinginkan, tidak memanipulasi pembicaraan atau berbohong. Dan terakhir, komunikan harus
menyampaikan secara tepat; yakni apa yang disampaikan sesuai dengan tata aturan, kode, simbol yang
sudah dipahami oleh peserta diskusi secara intersubyektif.

Dengan memegang tegus klaim validitas di atas, Habermas berharap bahwa komunikasi intersubyektif
akan terbangun. Komunikasi yang demikian pada gilirannya akan mengikis hasrat bertujuan dari rasio
instrumental manusia modern. Untuk itu, Habermas juga mensyaratkan bahwa komunikasi harus jauh dari
kepentingan-kepentingan tersembunyi yang bertujuan tertentu. Bilamana ada, selubung kepentingan
tersebut harus dapat ditelanjangi melalui proses verifikasi. Habermas mendambakan sebuah masyarakat
ideal yang melakukan sesuatu atas dasar ketulusan, itikad baik untuk menuju kehidupan bersama yang
lebih baik.

Keprihatinan Habermas tentang reifikasi yang terjadi di masyarakat modern sudah dijawabnya dengan
lengkap. Dua jilid karyanya Theorie des Kommunikativen Handelns, Band I&II, menyiratkan
keseriusannya dalam menekuni dunia komunikasi sebagai fitrah manusia. Menurutnya hidup masyarakat
manusia terbangun dari proses bertanya dan berjawab. Berbeda dengan konsepsi Marxis Ortodoks yakni
proses kerja untuk produksi.

Keseriusan ini juga terungkap dalam tindakan-tindakannya; Habermas turut serta melakukan aksi
pengkritisan ketika pemerintah Jerman Barat ingin menceburkan diri dalam aliansi NATO. Ia juga
berteriak lantang ketika teknologi clonning terhadap manusia atau pun binatang ditemukan oleh para
saintis. Untuk itu, ia mendorong agar masyarakat diajak berdiskusi atas suatu permasalahan. Dalam
konteks tersebut, Habermas menggariskan bahwa diskusi akan optimal ketika jauh dari tekanan dan dalam
kesederajatan posisi.

Konsensus atau kesepakatan bersama akan lahir sebagai hasil dari pemahaman intersubyektif peserta
diskusi. Nampak Habermas adalah sosok yang anti-fasis, dalam kerangka besar teorinya, ia tidak ingin
menyelesaikan masalah dengan cara kekuasaan atau kekerasaan, melainkan dengan cara adu argumentasi.
Dalam proses adu argumen tersebut, peserta diskusi yang kalah (baca: salah) dalam menyusun atau
memberikan pendapatnya harus mengakuinya secara jujur dan bijaksana. Dari proses ini, koreksi
kesalahan (falsifikasi) dapat terjadi. Harapan dari koreksi atas kesalahan ini, peserta diskusi dapat
melakukan proses refleksi diri.

Proses komunikasi intersubyektif semacam ini yang menurut Habermas dapat mengembalikan pesona
dunia. Manusia berinteraksi bukan hanya karena tujuan-tujuan tertentu saja, melainkan juga dalam rangka
membantu memahami yang lain. Egosentrisme tidak harus melulu ada dalam proses interaksi masyarakat
manusia.

Dari dua karya besarnya, Habermas menggarisbawahi bahwa komunikasi intersubyektif sebagai sebagai
bentuk praksis emansipatoris dapat terjadi ketika setiap individu meneguhkan empat klaim validitas;
kebenaran, kejujuran, kejelasan dan ketepatan. Selain itu, ia juga menggariskan bahwa komunikasi harus
jauh dari tekanan atau dominasi. Dan juga komunikasi intersubyektif akan terbangun ketika individu
berada dalam posisi yang sederajat serta menetralkan kepentingan-kepentingannya.

Konsepsi besar ini merupakan kritik atas rasionalitas intrumental yang menjerembabkan manusia pada
nestapa kehidupan dan tragedi kemanusiaan. Selain itu, melalui teorinya praksis yang emasipatoris akan
tercapai ketika individu sampai pada pemahaman intersubyektif.
Sebagai teori yang ia klaim kritis (dengan maksud praksis), nampaknya kita harus menguji klaim
kebenaran itu. Pengujian ini kita dasarkan pada bangunan teori yang tersebut di atas. Sederhananya,
Habermas berharap besar terhadap itikad individu untuk berubah ke arah yang lebih baik. Asumsi
semacam ini tentu saja cukup naif dan tidak menjejak pada realitas. Sehingga sebagai hipotesis awal, saya
berpendapat bahwa bangunan teori Habermas rapuh dalam praksisnya. Ia hanya rigorus sebagai sistem
teori atau sistem berfikir, tidak untuk bertindak (praksis).

Untuk membuktikan hipotesis tersebut, saya mengajukan dua pertanyaan penelitian; bagaimana konsepsi
teori praksis komunikasi atau rasio komunikatif Habermas? Dan pertanyaan kedua, apakah teori itu dapat
dipraksiskan dalam realitas sebagai bentuk konsistensi atas epistemologi kritis?

Seperti satu komentar dari Franz Magnis-Suseno, Habermas adalah Kantian sampai ketulang sum-
sumnya. Karena itu, saya melihat bahwa Habermas berangkat dari idealisme yang mungkin akan
terjerembab dalam utopisme (dalam makna Mannheimian). Apakah benar seperti itu? Semoga saya
mampu membuktikannya.[]

Potrebbero piacerti anche