Sei sulla pagina 1di 18

Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.

id
1



IDENTITAS DOKUMEN (Preview)
Judul : Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi Difabel (Studi Kasus di Kabupaten
Bantul, Yogyakarta)
Nama Jurnal : Jurnal Fenomena
Edisi : Volume 6-Nomor 1-Maret 2008
Penulis : Saru Arifin
Abstrak :
The materiality consideration is a professional consideration influenced by an auditor
perception on the need of people who have a sufficient knowledge and put a trust on
the financial report. The research aimed to know the relationship between an auditor
professionalism as an independent variable and dependent variable, that is the
consideration of the materiality level in auditing process of the financial report. The
researchs respondents are some professionals working either as a part-timer job,
junior auditor, senior auditor, supervisor, manager or partner in Public Accountant
Firm located in Jogjakarta. Using the nonprobability sampling method, The research
tries to collect some important information given by respondents. Questionaire is a
tool used to measure the variables. The hypotheses were tested with Kendall Tau
nonparametric statistic method in order to know if there is a relationship between an
auditor professionalism and the consideration of the materiality level in auditing
process of the financial report.
An auditor professionalism variable is indicated from five dimension, that is: devotion
of profession, social obligation, independence, profession trustworthy and relation
with same profession. The result of this research shows that only profession
trustworthty dimesion has significant relation. It also has positive relation with the
materialty level in auditing process of the financial report showed by ()= 0,420 and
significant 0,000. High integrity embedded in each individual and same profession
makes the consideration of the materiality level better.
keywords : Disable, Mitigation, Satlak, Policy, Disaster
Kesimpulan : Berdasarkan deskripsi uaraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa:
a. Kebijakan mitigasi bencana yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Bantul secara umum telah berhasil dengan cepat memulihkan
kondisi Bantul yang porak-poranda dilanda bencana gempa. Melalui
kebijakan top down dan kemampuan mobilisasi masyarakat dan korban
dalam bahu membahu memulihkan keadaan pasca gempa. Dalam konteks
inilah sebenarnya letak keberhasilan kebijakan mitigasi tersebut secara
umum. Sebab, meskipun pada masa-masa tanggap darurat pemerintah
daerah tidak mempunyai konsep yang jelas dalam menanggulangi keadaan,
namun proses penyempurnaan cara yang telah ada secara terus-menerus,
dibantu segenap elemen masyarakat, maka proses mitigasi dapat secara
cepat dilakukan.
b. Keberhasilan kebijakan mitigasi sebagaimana tersebut di atas, tidak secara
umum juga terjadi bagi korbani kaum difabel di Kabupaten Bantul. Sebab,
sejak awal proses penanggulangan korban bencana menggunakan
paradigma masyarakat secara normal. Sementara bagi kaum difabel, hanya
dilakukan oleh kelompok-kelompok swasta. Selain itu, kebijakan tersebut
mengesankan adanya diskriminasi bagi kaum difabel dalam desain
kebijakan mitigasi, yang menempatkan mereka pada kelompok terakhir
dalam penanganannya. Pada level kebijakan praktis di Daerah, kaum
difabel juga tidak diposisikan sebagai kelompok yang punya kebutuhan
khusus. Hal ini ditandai dengan lemahnya komitmen pemerintah daerah
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
2
dalam merehabilitasi para korban difabel. Seperti, rehabilitasi dampak
ekonomi dan sosial budaya mereka yang dirasakan cukup memberatkan,
bahkan tidak jarang yang menderita stress.
Penerbit : Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM)
Univervitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Format : PDF
Web : http://www.uii.ac.id ; http://dppm.uii.ac.id
Tag : Jurnal Penelitian dan Pengabdian
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
3
Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi Difabel
(Studi Kasus di Kabupaten Bantul, Yogyakarta)

Oleh:Saru Arifin
( DPPM UII, Yogyakarta)

Abstract

This research attempts to analyze the mitigation policy for disable as a victim of earth quake in
Bantul on March 27, 2006. The type of data used in this research is primary and secondary data.
Primary data was collected directly from the respondent.This research use unstructured
questionnaires in collecting the information from the respondents especially from disables. The
result of this research show that generally the mitigation policy for disasters victim was well run,
because of the equity of Satlak PBP in mobilizing the society in tackling the disaster victim. But it
was not also happened to the disables, because most of them are still safer in each their home,
and there is no special policy for them.

Keywords: Disable, Mitigation, Satlak, Policy, Disaster

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu hal penting yang selama ini kurang mendapatkan perhatian masyarakat dalam
setiap bencana alam terjadi adalah, adanya realita bahwa bencana alam selain menimbulkan
korban jiwa juga menyebabkan beberapa korban selamat menjadi difabel (cacat). Banyak dari
korban yang kemudian kehilangan kaki, lengan, atau fungsi fisik lainnya seperti fungsi penglihatan
dan pendengaran selama proses penyelamatan diri (Fuad, 2006; Twigg, 2004).
Ada dua kelompok difabel pada situasi bencana alam, pertama, adalah mereka yang sudah
menjadi difabel sebelum terjadinya bencana (existed difabel) dan kedua, adalah mereka yang
menjadi difabel akibat dari terjadinya bencana (newly difabel). Kedua kelompok tersebut, memiliki
persoalan yang hampir sama dalam situasi bencana, dimana fasilitas yang tersedia di barak
pengungsian kebanyakan tidak ramah terhadap keberadaan mereka. Sehingga, seringkali para
difabel mengalami penderitaan yang lebih berat dibandingkan dengan para korban bencana yang
selamat lainnya (Fuad, 2006).
Persoalan lain yang cukup penting adalah kenyataan bahwa negeri ini belum memiliki
sistem peringatan dini (early warning system) dan sistem evakuasi bencana alam yang aksesibel
terhadap keberadan difabel. Sehingga, dengan demikian konsekuensinya para difabel menjadi
kelompok yang beresiko tinggi saat terjadinya bencana. Banyak dari para difabel yang kemudian
kehilangan alat bantu mereka seperti kursi roda, kruk dan tongkat petunjuk bagi mereka yang
difabel netra (Fuad, 2006).
Permasalahan lain yang dihadapi difabel adalah kesempatan mereka untuk
menyelamatkan diri pada situasi panik sangatlah terbatas karena tidak tersedianya alat
transportasi yang aksesibel bagi mereka. Selain itu, bahwa sistem evakuasi bencana yang ada
belum memperhitungkan keberadaan para kelompok rentan termasuk di dalamnya difabel. Sistem
evakuasi bencana yang ada masih berdasar pada evakuasi terhadap masyarakat normal. Untuk
itu perlu didesain sebuah sistem evakuasi bencana yang memperhitungkan keberadaan para
kelompok rentan (vulnerable group) yang meliputi antara lain anak-anak, ibu hamil, lanjut usia dan
difabel (Fuad, 2006).
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
4
Pada kasus bencana alam gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tahun 2006
lalu, sebagian dari korban selamat banyak yang kemudian menjadi difabel. Namun demikian,
keberadaan mereka pasca terjadinya bencana kurang mendapatkan perhatian, baik dari lembaga
internasional maupun pemerintah sendiri. Kondisi para difabel pasca bencana cukup parah baik
secara sosial maupun psikologis. Banyak dari mereka yang kemudian mengalami trauma berat
dan merasa rendah diri akibat dari kenyataan bahwa kondisi tubuh mereka tidak selengkap seperti
dulu. Akibatnya para korban difabel tersebut mengisolasi diri di dalam rumah (Fuad, 2006).
Selama ini saat pelaksanaan evakuasi bencana, para korban seringkali ditempatkan di
penampungan sementara, seperti di sekolah, kantor kecamatan, atau lapangan yang tentu
kondisinya sungguh tidak layak untuk para difabel. Keberadaan sistem sanitasi, struktur bangunan,
dan kondisi lingkungan fisik lainnya jelas menyulitkan para difabel untuk melakukan aktivitasnya
sehari-hari (Fuad, 2006).
Selain itu, sistem distribusi bantuan di tempat pengungsian selama ini juga kurang dapat
memberikan akses terhadap keberadaan para difabel. Seperti misalnya, distribusi bantuan
makanan yang seringkali dilakukan dengan cara mengedrop makanan dengan helikopter
menimbulkan situasi saling berebut diantara para pengungsi. Kondisi semacam ini jelas tidak
menguntungkan bagi para kelompok rentan seperti wanita, lanjut usia, anak-anak termasuk juga
para difabel. Mereka jelas tersingkirkan karena tidak mampu mengakses bantuan yang
sebenarnya sangat mereka butuhkan (Fuad, 2006).
Keberadaan para kelompok rentan (vulnerable group) termasuk difabel seharusnya
menjadi referensi utama dalam penanganan korban pada situasi bencana. Hal ini disebabkan
jumlah korban selamat yang kemudian menjadi difabel tidak sedikit. Selain itu, sangat terkait
dengan bagaimana sistem distribusi bantuan, pembangunan infrastruktur baik pada program
rekontruksi (reconstruction program) maupun pada program pengembangan masyarakatnya
(development program). Seringkali yang terjadi selama ini bahwa program-program yang
dirancang untuk merespon bencana kurang memperhatikan keberadaan para difabel. Sehingga,
banyak para difabel yang kemudian termarjinalkan dan terisolasi pasca terjadinya bencana alam
(Fuad, 2006; Twigg, 2004).

B. Rumusan Masalah
Berpijak pada deskripsi latar belakang masalah di atas, maka penelitian dipandang perlu
dilakukan untuk mengetahui (1). Bagaimana pola kebijakan pemerintah daerah dalam melakukan
mitigasi terhadap para difabel sebagai korban bencana alam?; (2). Apakah pola kebijakan mitigasi
bencana alam yang dilakukan oleh pemerintah daerah tersebut sesuai dengan kebutuhan para
difabel?.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berpijak pada deskripsi latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pola kebijakan pemerintah dalam melakukan mitigasi bencana alam khususnya bagi
difabel. Hal ini dimaksudkan juga untuk mengetahui persoalan-persoalan apa saja yang
mendukung dan menghambat dalam implementasi mitigasi bagi kelompok difabel. Dalam konteks
yang lebih jauh, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi model bagi para stakeholders
dalam melakukan tindakan-tindakan mitigasi bagi kelompok difabel jika terjadi suatu bencana alam
dalam wujud apapun.

D. Tinjaun Pustaka
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
5
1). Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian hukum normatif yang dilakukan oleh Thontowi dan Arifin (2003), terlihat,
bahwa Indonesia belum memiliki sistem peraturan hukum terkait dengan bencana alam. Sehingga
kondisi tersebut berimplikasi serius ada tataran aplikasi mitigasi bencana alam khsusnya bagi
korban yang selalu lamban dan cenderung tidak terorganisir dengan baik. Oleh sebab itu,
kehadiran UUPBA tidak sekedar merupakan payung hukum bagi penanggulangan semata,
melainkan harus diarahkan pada upaya mendorong tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam
mencegah dan menanggulangi ancaman bencana alam. Termasuk perlunya peran serta
pemerintah daerah juga mempelopori lahirnya peraturan daerah yang sinergis.
Fujisawa Kazunori (2002) dari hasil kajiannya menyimpulkan, bahwa selama ini tidak
terdapat sistem hukum yang bermanfaat untuk penanggulangan bencana di Indonesia. Indonesia
tidak mengatur secara rinci mengenai upaya pencegahan dan penanggulangan bencana alam
menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi hadirnya suatu perangkat Undang-Undang
Bencana Alam. Sehingga, kehadiranya diharapkan selain dapat membantu pemerintah dalam
meningkatkan pelayanannya pada masyarakat terkait dengan bentuan bencana alam, juga
membantu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pencegahan dan kesiapsiagaan
dalam meminimalisir timbulnya korban.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Arifin, Suparwoko, dan Fajriyanto (2006),
menyimpulkan beberapa temuan antara lain, bahwa ekpektasi masyarakat korban gempa terhadap
realisasi janji pemerintah dalam pelaksanaan rekonstruksi pada awalnya cukup tinggi. Namun,
seiring berlalunya waktu, maka ekpektasi tersebut sedikit mengikis, karena kenyataannya antara
janji dengan realisasi tidak sinergi.
Beberapa hasil penelitian tersebut, secara subtansial merefleksikan adanya sinergi kajian,
yaitu antara kevakuman kebijakan legislasi terkait denga persoalan bencana alam, dan adanya
disorganisasi antara aparatur pelaksana mitigasi dan rekonstruksi pasca bencana alam di
lapangan. Dalam konteks inilah posisi penelitian ini menampakkan benang merahnya, yang
berbeda dari penelitian terdahulu tersebut. Penelitian ini lebih bersifat sektoral mengupas pola
kebijakan mitigasi korban bencana alam alam dari aspek kelompok rentan yaitu difabel.
Pemilihan topik ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa para difabel korban bencana
alam khususnya yang baru, memerlukan penanganan khusus dibandingkan dengan mereka yang
normal. Bagi difabel baru sebagai korban bencana alam, selain menghadapi persoalan kehilangan
materi, juga beban psikologis yang berat menerima kenyataan sebagai difabel.

2). Kerangka Teori
(a). Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan
Istilah kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini disepadankan dengan kata bahasa
Inggris policy yang dibedakan dari kata wisdom yang berarti kebijaksanaan atau kearifan.
Menurut Ealau dan Prewitt (dalam Suharto, 1997), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang
berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya
maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Kamus Webster memberi pengertian
kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan
keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang
diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto, 1997).
Kebijakan, menurut Titmuss (dalam Suharto, 1997), senantiasa berorientasi kepada
masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian
dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
6
mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai
tujuan tertentu.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa analisis kebijakan
adalah usaha terencana yang berkaitan dengan pemberian penjelasan (explanation) dan
preskripsi atau rekomendasi (prescription or recommendation) terhadap konsekuensi-konsekuensi
kebijakan publik yang telah diterapkan. Penelaahan terhadap kebijakan publik tersebut didasari
oleh prinsip-prinsip umum yang dibuat berdasarkan pilihan-pilihan tindakan sebagai berikut
(Suharto, 1997):
(1) Penelitian dan rasionalisasi yang dilakukan untuk menjamin keilmiahan dari analisis yang
dilakukan.
(2) Orientasi nilai yang dijadikan patokan atau kriteria untuk menilai kebijakan sosial tersebut
berdasarkan nilai benar dan salah.
(3) Pertimbangan politik yang umumnya dijadikan landasan untuk menjamin keamanan dan
stabilitas.
(4) Ketiga alternatif tindakan tersebut kemudian diterapkan untuk menguji atau menelaah
aspek-aspek kebijakan publik yang meliputi:
a. Pernyataan masalah sosial yang direspon atau ingin dipecahkan oleh kebijakan
publik.
b. Pernyataan mengenai cara atau metoda dengan mana kebijakan sosial tersebut
diimplementasikan atau diterapkan.
c. Berbagai pertimbangan mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan atau akibat-
akibat yang mungkin timbul sebagai dampak diterapkannya suatu kebijakan publik.

(b). Defenisi Difabel
Dalam ketentuan umum Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,
khususnya Pasal 1 dan pada bagian penjelasannya disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan
penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang
dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara
selayaknya, yang terdiri dari:
a) cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain
gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan bicara;
b) cacat mental adalah kelainan mental dan/atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun
akibat dari penyakit;
c) cacat fisik dan mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan
sekaligus.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) (dalam Kasim, 2007), memberikan
definisi kecacatan ke dalam tiga (3) kategori, yaitu: impairment, disability dan handicap.
Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau fungsi
psikologis, atau anatomis. Sedangkan Disability adalah ketidakmampuan atau keterbatasan
sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal
bagi manusia. Adapun handicap, merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat
adanya imparment, disability, yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal (dalam
konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang bersangkutan.
Dari segi konseptual, definisi penyandang cacat seperti termuat dalam Undang Undang
Nomor 4 Tahun 1997 yang juga mengacu kepada definisi yang dikeluarkan WHO, pengertian
keadaan disability atau kecacatan dipahami pada konsep normal dan abnormal, yang melihat
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
7
anatomi manusia sebagai sesuatu yang fleksibel dan dapat diubah. Konsekuensi pengertian ini
menempatkan masalah penyandang cacat hanya pada hal yang bersifat anatomi atau proses yang
bersifat psikologis semata. Misalnya, hal ini dapat dilihat dari pernyataan yang sering dikemukan
sebagai berikut. Banyak penyandang cacat tidak memiliki pekerjaan disebabkan impairment/
ketidakberfungsian organ anatomis (Kasim, 2007).
Senada dengan apa yang uraikan oleh Kasim di atas, Heijnen (2005), menyatakan bahwa
Bahasa negatif dan merendahkan akan menghasilkan citra negatif dan juga merendahkan. Kata-
kata seperti kelainan, kecacatan dan hamabtan sering digunakan secara bergantian. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) dengan seksama mendefinisikan ketiga kata ini dengan
mempertimbangkan hak asasi manusia, perbedaan dan keragaman. Kecacatan saat ini dipandang
sebagai kumpulan kondisi rumit, yang kebanyakan diciptakan oleh lingkungan sosial

(c). Hak-Hak Difabel Dalam Hukum Internasional
Dalam Deklarasi mengenai Hak-hak bagi Penyandang Cacat (the Declaration on the Rights
of the Disabled Persons), yang diadopsi melalui Resolusi Majelis Umum 3447 (XXX) pada tanggal
9 Desember 1975, dinyatakan bahwa deklarasi ini merupakan tindak lanjut dari niat komunitas
untuk menciptakan standar kehidupan yang tinggi, pemenuhan hak-hak tenaga kerja dan
kemajuan dan pengembangan kondisi sosial ekonomi, serta memperkuat kepercayaannya dalam
Hak Asasi manusia, kebebasan mendasar dalam prinsip-prinsip perdamaian, martabat and nilai
dari kemanusiaan individu dan keadilan sosial. Cukup penting untuk dicatat dari Deklarasi ini
adalah adanya keterkaitan antara kesemua dokumen HAM internasional.
Dalam kaitannya dengan hak-hak sipil dan politik yang dimiliki oleh para penyandang cacat
dinyatakan oleh Pasal 4 yang berbunyi:
Disabled persons have the same civil and political rights as other human beings;
paragraph 7 of the Declaration on the Rights of Mentally Retarded Persons applies to any
possible limitation or suppression of those rights for mentally disabled persons.

Dengan adanya pembedaan antara penyandang cacat dan penderita keterbelakangan
mental, maka dimungkinkan pembedaan dalam hal keluasan hak-hak yang disandang oleh kedua
kelompok. Hal ini dengan jelas dinyatakan oleh Pasal 4 di atas, atau dengan kata lain,
penyandang cacat memiliki hak-hak sipil dan politik penuh sebagaimana layaknya orang-orang
normal.

(d). Hak-hak Korban Bencana Alam
Hak korban untuk memperoleh bantuan termasuk hak dasar yang fundamental bagi
negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Dasar Politik dan Ekonomi, ICESCR
(International Covenant for Economics and Social, Cultural Rights) penolakan berakibat
penjatuhan sanksi. Konvensi ini telah diadopsi oleh Majlis Umum PBB, 16 Desember 1966. Secara
khusus, hak yang diperlukan dan wajib ditunaikan oleh negara adalah jaminan sosial (social
security) mencakup perlindungan terhadap keluarga, Ibu dan anak-anak, jaminan standar
kehidupan yang layak, seperti makanan, pakaian, perumahan, kesehatan fisik dan mental,
pendidikan, dan kebudayaan. Pemerintah suatu negara yang tidak mampu menunaikan kewajiban
tersebut dipandang melanggar dan karena itu harus mempertanggungjawabkannya (Alston dan
Steiner, 1996).
Pasal 41 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Setiap warga negara
berhak atas jaminan sosial, yang diartikan sebagai setiap warga negara mendapatkan jaminan
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
8
sosial. Dengan demikian, tampak bahwa bantuan kemanusiaan bukan sekedar norma hukum
yang lemah (Lex feranda), melainkan telah menjadi norma hukum yang mengikat.
Secara ekonomis, resiko akibat bencana telah menjadi ancaman kongkrit, APBN akan
senantiasa gagal dalam menanggulangi dan menangani akibat bencana, jika persoalan IDPs tidak
diformulasikan secara husus dalam UUBA. Dalam konteks ini, maka paradigma pengurangan
resiko bencana harus diintegrasikan dalam kebijakan APBN maupun APBD. Hal ini penting
dilakukan, mengingat Indonesia sebagai negara yang mempunyai kerentanan terhadap bencana
alam, baik gempa bumi maupun bencana alam akibat perubahan iklim global, seperti banjir,
longsor, air pasang, kebakaran dan lain sebagainya.


(e). Mitigasi Bencana Alam
Proses pelaksanaan mitigasi bencana alam, menurut Thontowi (2005), dilakukan melalui
beberapa fase tingkatan, mulai kegiatan tanggap darurat, fase rekonstruksi, Rehabilitasi, dan
reintegrasi. Fase kegiatan tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:
1). Fase tanggap darurat
Pemerintah bersama-sama masyarakat segera melakukan langkah-langkah tanggap
darurat terhadap korban bencana alam, antara lain (Thontowi, 2005):
a) Mengevakuasi korban selamat ke tempat-tempat yang aman;
b) Mengevakuasi korban meninggal;
c) Melakukan pengamanan terhadap harta benda, baik milik negara maupun
masyarakat.
d) Mengumumkan status bencana, kerusakan, dan korban yang diprediksikan.
Pemerintah bersama-sama masyarakat setelah melakukan evakuasi terhadap korban,
maka segera melakukan tindakan-tindakan antara lain:
a) Melakukan pencatatan dan identifikasi korban yang masih hidup dan meninggal;
b) Mengidentifikasi kerusakan fisik bangunan pemerintah, dan masyarakat;
c) Melakukan tindakan penyelamatan dokumen-dokumen negara;
d) Menyediakan informasi kepada publik mengenai korban bencana alam;
e) Mengupayakan bantuan logistik, obat-obatan, dan relawan kemanusiaan;
f) Melakukan prosesi pemakaman korban meninggal;
g) Menyediakan posko informasi.
h) Menyediakan dapur umum
i) Menyediakan rumah sakit darurat
j) Melakuikan koordinasi antar lembaga terkait, masyarakat dan instansi pemerintah.
2). Fase Rekonstruksi
Pemerintah melalui instansi terkait melakukan langkah-langkah rekonstruksi, antara lain:
a) Mendata seluruh bantuan yang masuk, baik berupa uang maupun logistik;
b) Melakukan identifikasi terhadap kerusakan fisik baik bangunan milik negara, maupun
masyarakat;
c) Melakukan pendistribusian bantuan untuk pembangunan kembali kerusakan dan
kehilangan bangunan milik negara dan masyarakat;
d) Membangun tanggul/bendungan penahan/pengendali sedimen, perkuatan tebing,
penghijauan;
e) Penyempurnaan kurikulum di Sekolah-sekolah, peninjauan kembali tata ruang
kawasan.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
9
3). Fase Rehabilitasi dan Repatriasi
Pemerintah melalui instansi terkait melakukan langkah-langkah rehabilitasi antara lain:
a) Membuka posko pusat krisis;
b) Mengambil alih pengasuhan anak-anak korban bencana; dan
c) Menyediakan sarana dan prasarana hiburan bagi korban bencana alam yang amsih
hidup.
4). Reintegrasi Sosial
Pemerintah melakukan langkah-langkah Reintegrasi Sosial antara lain: melakukan
pendataan penduduk yang ingin tetap tinggal di daerah bencana; dan melakukan pendataan
penduduk yang ingin di relokasi daridaerah bencana.

E. Metode Penelitian
1). Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kebijakan (policy research) sedangkan metodenya
deskriptif kualitatif. Hasil temuan penelitian kebijakan ini sebagai rekomendasi kepada para
pengambil keputusan untuk bertindak secara praktis dalam menyelesaikan masalah, khususnya
dibidang ketahanan pangan (Riduwan, 2004; Sugiyono, 2004).

2). Subyek dan Penelitian
Subyek penelitian ini terdiri dari beberapa unsur, yaitu: Pemerintah Daerah yang
mencakup: Dinas Kesbanglinmas/Satlak PBP Kabupaten Bantul, Bappeda, Dinas Sosial, dan
Perwakilan Difabel.
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam melakukan mitigasi korban bencana alam secara
umu, dan secara khusus obyek yang akan diteliti adalah mencakup beberapa hal sebagai berikut:
1) Kebijakan mitigasi bagi korban bencana alam
2) Kebijakan mitigasi khususnya bagi difabel
3) Kebijakan pemberdayaan difabel pasca bencana alam.



3). Data Penelitian
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini bersumber pada data primer dan sekunder. Data
primer berupa ungkapan-ungkapan verbal (kata-kata) yang didapatkan dari subyek penelitian
sebagaimana tersebut di atas, yang dipilih dalam penelitian ini. Data sekunder bersumber pada
jurnal-jurnal ilmiah, dokumen-dokumen, buku-buku, majalah, koran, arsip-arsip, perundang-
undangan, dan berbagai referensi yang relevan dengan masalah penelitian.

4). Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, instrumen utama untuk mendapatkan dan mengumpulkan data
penelitian adalah peneliti sendiri (Moleong, 2002; Alsa, 2004). Untuk mendukung pengumpulan
data tersebut, peneliti melakukan kegiatan pengumpulan data dengan cara wawancara semi
terstruktur dengan responden, dan melakukan studi pustaka atau dokumen.

5). Metode Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kebijakan publik, yaitu usaha
terencana yang berkaitan dengan pemberian penjelasan (explanation) dan preskripsi atau
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
10
rekomendasi (prescription or recommendation) terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan
publik yang telah diterapkan oleh pemerintah (Suharto, 1997).
Analisis tersebut difokuskan untuk menguji atau menelaah aspek-aspek kebijakan
pemerintah yang meliputi (Suharto, 1997):
a. Pernyataan masalah sosial yang direspon atau ingin dipecahkan oleh kebijakan publik.
b. Pernyataan mengenai cara atau metoda dengan mana kebijakan publik tersebut
diimplementasikan atau diterapkan.
c. Berbagai pertimbangan mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan atau akibat-akibat
yang mungkin timbul sebagai dampak diterapkannya suatu kebijakan publik.

F. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1). Data Penelitian
a). Pelaksanaan Mitigasi Bencana
Terjadinya bencana alam berupa gempa bumi pada tanggal 27 Mei 2006 lalu yang
menimpa DIY dan sebagian Jawa Tengah merupakan suatu bencana yang sama sekali diluar
dugaan masyarakat. Sebab, pada saat yang bersamaan konsentrasi masyarakat banyak tertuju
pada gunung merapi yang berada pada posisi kritis, sehingga segala persiapan banyak ditujukan
untuk mengantisipasi dampak dari letusan gunung merapi.
Kondisi tersebut, diakui juga oleh Ketua Satlak PBP Kabupaten Bantul yang sekaligus
Bupati, yaitu Idham Samawi. Menurutnya, degan jujur diakui bahwa Pemerintah dan masyarakat
Kabupaten Bantul, tidak dalam posisi siap menghadapi bencana. Bahkan Palang Merah Indonesia
(PMI) dan Tim SAR Kabupaten Bantul, saat itu sedang bertugas untuk urusan bencana Gunung
Merapi di Kabupaten Sleman. Selain itu, di Bantul sendiri sejak hari Kamis tanggal 25 Mei 2006
tengah melakukan libur panjang, cuti bersama, sehingga koordinasi tidak bisa dilakukan dengan
sesegera meungkin dalam menghadapi bencana gempa bumi tersebut.
Dalam kondisi yang panik tersebut, diakui oleh Idham merupakan situasi yang sangat
memprihatinkan dan benar-benar memukul batin. Sebab, dengan kondisi yang sama sekali tidak
siap dan sarana prasana yang dibutuhkan untuk menghadapi bencana sangat terbatas, sementara
korban sedemikian banyaknya yang dari waktu ke waktu terus bertambah.
Kabupaten Bantul merupakan daerah yang paling parah terkena bencana dan dampaknya
sangat luas, terlebih para aparaturnya juga merupakan bagian dari korban yang terkena bencana.
Namun demikian, pada situasi tersebut roda pemerintahan di Kabupaten Bantul tetap berjalan,
walaupun belum berfungsi optimal. Para karyawan yang notabene kondisi rumahnya mengalami
kerusakan, tetapi tetap terpanggil untuk menangani dampak bencana alam, khususnya dalam
pendistribusian logistik berupa makanan dan obat-obatan yang diterima dari banyak pihak.
Banyaknya bantuan dari segala pihak tersebut, diakui Idham membuat pemerintah daerah merasa
tidak sendirian lagi dalam melakukan upaya-upaya mitigasi bencana di daerahnya.
Dalam keadaan yang tidak siap tersebut, diakui juga oleh Idham membuat situasi panik dan
rasa cemas yang mendalam. Situasi tersebut membuat segala sesuatu berjalan tanpa
perencanaan yang matang dan panjang, bahkan tindakan yang dilakukan pemerintah bersifat pasif
dan tergesa-gesa. Situasi tersebut dihadapkan pada kenyataan timbulnya kecemasan, kepiluan
dan kepanikan warga, baik karena korban jiwa yang terus berjatuhan, kerusakan rumah ataupun
karena isu tsunami, serta diliputi oleh suasana tidak menentu akan datangnya gempa susulan.
Oleh sebab itu, menurut Idham penanganan kebutuhan bantuan pangan dan obat-obatan
pada saat itu memang sangat mendesak. Menurut Ris Widodo
1
dan Jundan
2
, akibat keterbatasan

1
Staff Dinas Sosial dan Ketua Mitigasi Bidang Perekonomian khususnya bagi difabel. Wawancara pada tanggal 21 Mei 2008.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
11
SDM, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam mitigasi bencana, pada
saat itu proses mitigasi banyak dilakukan oleh pihak luar, baik LSM maupun kalangan luar lainnya,
seperti pemerintah daerah lain dan asing.
Dalam kondisi darurat tersebut, satu pegangan sebagai arahan dalam penanggulangan
bencana yang digunakan oleh Pemerintah Daerah Bantul adalah petunjuk Presiden Republik
Indonesia yang disampaikan dalam rapat koordinasi di Gedung Agung, Yogyakarta. Dalam
kesempatan tersebut, Presiden memberikan empat (4) arahan dalam proses mitigasi bencana.
Pertama, selamatkan jiwa para korban, mereka yang terluka, barulah harta benda. Kedua, perbaiki
infrastruktur, listrik dan jalan raya supaya logistik bisa didistribusikan, serta untuk penyelamatan
korban. Ketiga, pastikan makanan cukup, koordinasikan dengan baik. Keempat, identifikasi
seberapa banyak rumah maupun bangunan yang rusak untuk nantinya direhabilitasi dan
direkonstruksi.
Arahan Presiden tersebut dimaksudkan untuk memberikan arahan bagi Pemerintah Daerah
dalam melakukan tindakan mitigasi dalam kondisi darurat. Sifatnya tidak hirarkis berdasarkan
urutan, tetapi lebih dimaksudkan untuk guide di lapangan dan dalam konteks praktisnya
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Sebagai langkah awal untuk keseragaman
koordinasi dan sekaligus pengelolaan bencana, Bupati mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 166
Tentang Pembentukan Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Pengungsi (Satlak PBP)
Kabupaten Bantul, tanggal 27 Mei 2006.

b). Fase Recovery (Pemulihan)
Program pemulihan kembali di Kabupaten Bantul, pasaca terjadinya gempa bumi, diberi
nama Bantul Bangkit. Dalam konteks ini dimaksudkan meliputi pulihnya kondisi "kejiwaan"
(trauma), serta kemampuan produktivitas korban, sehingga roda kehidupan dan penghidupan
dapat segera bergulir seperti sedia kala atau bahkan bisa menjadi lebih baik.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan terus memberikan
pemahaman (sosialisasi) kepada masyarakat luas, bahwa Bantul Bangkit bukan berasal dari orang
lain. Pemerintah yakin masyarakat masyarakat akan sadar, bahwa yang namanya bantuan pada
suatu saat akan berhenti. Kebangkitan ini hanya akan berlangsung manakala masyarakat sendiri
yang bangkit melalui usaha dan kerja keras. Langkah-langkah yang dilakukan penanganan pasca
gempa bumi adalah sebagai berikut:
a. Melakukan identifikasi yang menyeluruh, termasuk terus memperbaiki
b. Data korban dan data lainnya akibat bencana alam
c. Melakukan berbagai upaya untuk membangkitkan kembali semangat rakyat,
meyakinkan rakyat bahwa bantuan hanya bersifat sementara dan pada akhirnya
masyarakat sendiri yang harus membantu dirinya dengan kerja keras.
d. Melakukan berbagai upaya untuk mempercepat penyaluran bantuan living cost dan
melakukan percepatan perbaikan dan pembangunan kembali fasilitas umum yang
rusak, seperti fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, pasar dan lain-lain.
e. Melakukan upaya menggerakkan ekonomi rakyat, antara lain meberikan bantuan kepada
petani, pengrajin, kemudahan akses modal usaha dan lain-lain.
f. Melakukan upaya untuk mengurangi beban rakyat, seperti pembebasan biaya PBB, IMB,
pembuatan KTP, retribusi pasar, biaya berobat ke puskesmas, dan rumah sakit kelas
tiga sampai dengan bulan Desember 2006.

2
Kepala Kesbanglinmas, Kabupaten Bantul. Wawancara pada tanggal 15 Mei 2008.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
12
g. Melakukan kerjasama dengan pabrik untuk mengendalikan harga semen dan pupuk, tidak
mewajibkan siswa untuk menggunakan seragam sekolah bagi korban yang tidak mampu.

c). Fase Rekonstruksi dan Rehabilitasi
Untuk membangun kembali rumah yang roboh/rusak berat pada tahap rekonstruksi dan
rehabilitasi sudah mulai dicanangkan sejak bulan Agustus 2006. Biaya Rehabilitasi dan
Rekonstruksi yang dialokasikan di Kabupaten untuk tahap I sebanyak 32.758 unit rumah dari
143.135 rumah dengan kriteria rumah roboh/rusak berat, Satlak PBP tetap yakin dengan komitmen
pemerintah, bahwa Biaya Rehabilitasi dan Rekonstruksi pada tahap II dan tahap III pasti
digulirkan.
Oleh karena itu, Satlak PBP juga tidak mau gegabah dalam menentukan sasaran. Bagi
Satlak PBP data dianggap final apabila data per nama KK (by name) telah dilakukan pencermatan
olehh POKMAS bersama fasilitafor (pendamping) dan Konsultan Manajemen Kabupaten (KMK)
yang diketahui Pemerintah setempat secara berjenjang, setelah dilakukan verifikasi berdasarkan
kenyataan di lapangan. Koordinasi dalam implementasi program di tingkat bawah dilakukan
bersama Lurah dan Camat untuk penentuan langkah-langkah yang harus segera diambil, serta
menampung semua masukan dari masyarakat.

c). Rehabilitasi Ekonomi Pasca Bencana
Tahapan rekonstruksi dan rehabilitasi pascagempa 27 Mei 2006 di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah kini sudah selesai. Namun, para korban gempa yang
mengalami cacat fisik nyaris terlupakan. Sebenarnya tidak banyak yang mereka inginkan dari
pemerintah maupun pihak-pihak yang akan membantu, karena mereka sadar bahwa kemandirian
harus diciptakan sendiri, bukan selalu berharap serta bergantung pada pihak lain. Beberapa orang
korban gempa yang mengalami cacat fisik di DIY menginginkan agar pemerintah menyediakan
akses khusus bagi mereka terutama di tempat-tempat umum (Attamami, 2008).
Sementara itu, paradigma pembangunan ekonomi yang dirancang pemerintah bagi difabel
yang dilakukan oleh Dinas Sosial Bantul dikemas dalam program Pemberdayaan Usaha Ekonomi
Produktif Penyandang Cacat (Widodo, 2007). Namun kegiatan ini, tidak didasari oleh suatu konsep
program yang terencana dan skema yang jelas.
Program yang menggunakan APBN tersebut, secara teknis dilakukan dengan cara open
request, yaitu bagi para difabel yang membutuhkan bantuan dana dipersilahkan mengajukan
proposal kepad Dinas Sosial sebagai pihak penyelenggara. Di dalam program ini tidak diuraikan
skema dan strategi apa yang dilakukan, kecuali hanya dengan satu tujuan, yaitu agar para difabel
yang masih potensial melakukan usaha dapat berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri
(Widodo, 2007).
Desain program yang tidak terkonsep dengan jelas tersebut, maka berimplikasi terhadap
gagalnya upaya rehabilitasi ekonomi terhadap para difabel. Sebab, sebagaimana diketahui umum,
bahwa para difabel merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai karakteristik yang spesifik
diantara para korban bencana yang normal lainnya. Mereka memang secara fisik mempunyai
keterbatasan dibandingkan dengan orang normal, namun sebagai anngota masyarakat, barangkali
mereka memiliki kemampuan skill, bakat dan minat yang sama dengan orang yang normal, maka
perlakuan terhadap mereka juga perlu memperhitungkan kondisi-kondisi tersebut, (Twigg, 2004).
Upaya lainnya yang saat ini sedang berjalan adalah di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul
segera dibangun sebuah Panti Karya untuk menampung dan membantu para korban gempa yang
mengalami cacat fisik, khususnya cacat fisik permanen. Saat ini baru dalam tahap `design
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
13
building` serta pendataan untuk isi panti itu, dan dibangun di atas tanah `Sultan Ground` (tanah
milik keraton Yogyakarta) seluas tiga hektare. Pembangunan panti karya itu dilakukan dengan
pembiayaan menggunakan dana anggaran 2007 dari pemerintah pusat sekitar Rp. 32 miliar yang
diambilkan dari dana bantuan rekonstruksi sektor non perumahan (Antara, 2007).

2). Pembahasan
(a). Pola Kebijakan Mitigasi Bencana
Berdasarkan data tersebut di atas, tampak bahwa penanganan korban gempa (mitigasi)
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, khususnya Tim Satlak PBP Kabupaten Bantul,
menggunakan pendekatan kebijakan Top Down. Dalam konteks kebijakan penanganan bencana
seperti ini, kendali utama berada Ketua Satlak PBP dalam hal ini Bupati Bantul sendiri.
Kelebihan dari model ini pelaksanaan dapat berjalan secara terkoordinasi, karena ada
prosedur kerja dan kode etik yang menjadi acuan dari para pelaksana lapangan. Di dalam setiap
lapisan pelaksana tugas mitigasi, kendali dilakukan oleh unsur pemerintah dengan tingkatan
terendah ada di Kelurahan. Sementara komposisi keanggotaan melibatkan unsur masyarakat
melalui rekrutment dan persyaratan tertentu, seperti keriteria pendidikan yang sepadan dan basis
pendidikan yang relevan.
Model kebijakan tersebut lahir secara berproses, dimana pada tahap awal tanggap darurat,
pemerintah masih sangat gagap dalam menghadapi bencana, dan dalam posisi yang sama sekali
tidak siap menghadapi bencana. Kebekuan tersebut, segera mencair ketika Presiden memberikan
empat langkah Presiden bagi Pemerintah Daerah Bantul dalam pelaksanaan mitigasi dan tanggap
darurat.
Segera setelah mendapatkan arahan Presiden tersebut, Bupati Bantul membentuk Satlak
PBP yang di Ketuai langsung oleh Idham Samawi selaku Bupati. Sebagai suatu organisasi
kebencanaan yang dibuat dalam situasi genting dan mendesak, tampak bahwa organisasi tersebut
lebih diorientasikan untuk membangun kekuatan guna bahu membahu menanggulangi korban
bencana gempa bumi. Kegemukan struktur dan tidak adanya model koordinasi lapangan, dan
hanya melibatkan unsur Pemda, minus unsur pemerintahan di level Grass root, seperti camat dan
kepala desa, bahkan sampai RT/RW, tidak dimasukkan. Hal ini, sebagaimana disampaikan Idham
dalam laporannya, karena situasi ketika itu aparat pemerintah di level bawah juga kebanyakan
menjadi bagian dari korban.
Sebagai suatu organisasi dadakan maka proses pencarian format terus berjalan, seiring
dengan proses pelaksanaan mitigasi yang dilakukan. Pada taha awal mitigasi, Pemerintah
Daerah/Stalak PBP menggunakan tema-tema mitigasi yang melingkupi segenap kegiatan yang
dilakukannya.
Pertama, menggunakan terminologi korban bencana. Dalam kategori ini, Satlak PBP tidak
membedakan penduduk dan non penduduk Bantul yang biasanya dibuktikan dengan KTP. Prinsip
kemanusiaan menjadi parameter utama yang dialukan ketika itu. Kebijakan ini dilakukan secara
umum bagi semua korban yang ada di wilayah Kabupaten Bantul.
Dalam proses mitigasi korban tersebut Satlak PBP selalu mengakomodir kebijakan dari
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi, sehingga tidak terjadi benturan kebijakan di lapangan.
Dalam tahap selanjutnya, Satlak PBP berhasil melakukan mapping dan klasterisasi korban dengan
cepat, sesuai dengan target dari Menko Kesra. Kecepatan proses tersebut, dikarenakan
kemampuan mobilisasi dan penggalangan partisipasi publik oleh Bupati dalam menggerakkan
masyarakat di kelas bawah dalam bahu membahu melakukan proses mitigasi.
Kedua, untuk kerusakan fisik bangunan dan sarana prasarana pendekatan yang digunakan
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
14
adalah regrouping per kecamatan. Model ini menekankan pada skala kawasan yang terbagi
menjadi tiga, yaitu: rusak ringan, sedang, dan parah. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah
dalam proses rekonstruksi.
Ketiga, pendekatan tema yang dilakukan dalam masa recovery adalah Bangkit. Hal ini
dimaksudkan untuk membangun semangat partisipasi dari segenap elemen masyarakat korban
bencana. Secara operasional tema ini dijabarkan dalam paket-paket kebijakan dalam
pendistribusian dana rekon dan pembagian jatah hidup bagi korban berdasarkan data lapangan
yang dihimpun oleh Tim Mitigasi di lapangan yang direkrut secara selektif. Kelebihan model ini dan
sekaligus yang menjadi kunci keberhasilannya adalah, karena melibatkan unsur pemuda desa dari
setiap desa yang di data.
Target yang ditentukan untuk memperoleh bantuan adalah para Kepala Keluarga korban
yang masih hidup. Unsur utama yang digunakan sebagai pendekatan adalah kepercayaan, baik
kepada Tim Surveyor maupun kepada masyarakat korban, sehingga tidak diperlukan pengawasan.

b). Kesesuaian Kebijakan Mitigasi dengan Kebutuhan Difabel
Secara umum kebijakan mitigasi korban bencana alam yang dilakukan oleh Tim Satlak
PBP sebagaimana tersebut di atas, mampu dengan cepat merespon kebutuhan penyelamatan
korban secara umum. Namun, sebagaimana diakui oleh Bupati Bantul selaku Ketua Satlak PBP,
kebijakan mitigasi yang dilakukannya memang tidak bisa melakukan suatu metode mitigasi yang
membedakan antara korban selamat yang normal maupun yang cacat (difabel).
Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan sarana prasarana, serta SDM untuk melakukan
proses-proses tersebut. Oleh karena itu, perspektif mitigasi pada fase darurat ini tidak
membedakan antara berbagai keragaman yang dialami korban. Padahal dalam konteks
penanganan korban difabel memiliki karakteristik tersendiri yang memerlukan perlakuan yang
berbeda.
Dalam konteks tersebut, menurut Fuad (2006), sistem evakuasi bencana alam yang
aksesibel terhadap keberadan difable sangat kurang, sehingga konsekuensinya para difable
menjadi kelompok yang beresiko tinggi saat terjadinya bencana. Banyak dari para difabel yang
kemudian kehilangan alat bantu mereka seperti kursi roda, kruk dan tongkat petunjuk bagi mereka
yang difable netra.
Permasalahan lain yang dihadapi difabel adalah kesempatan mereka untuk
menyelamatkan diri pada situasi panik sangatlah terbatas karena tidak tersedianya alat
transportasi yang aksesibel bagi mereka. Selain itu kenyataan bahwa sistem evakuasi bencana
yang ada, sebagaimana halnya di Bantul belum memperhitungkan keberadaan para kelompok
rentan termasuk di dalamnya difable. Sistem evakuasi bencana yang ada masih berdasar pada
evakuasi terhadap masyarakat normal.
Kelemahan dalam mitigasi terhadap kelompok diifabel, telah mampu diatasi dengan
masuknya lembaga-lembaga swasta dan juga Palang Merah Indonesia yang secara spesifik
memfokuskan bantuannya kepada kelompok-kelompok difabel, seperti Handicap Internasional
yang berasal dari konsorsium Eropa.
Selain itu, ada juga kelompok Palang Merah Asing, seperti The Japanese Red Cross yang
turut memberikan bantuan bagi difabel. Palang Merah Jepang (Japanese Red Cross) memberikan
bantuan pembuatan toilet berikut aksesibilitas bagi para penyandang cacat atau kaum difabel
korban gempa bumi 27 Mei 2006.
Sementara itu menurut Kepala Dinas Sosial DIY menyatakan, bahwa penyandang cacat
fisik atau kaum difabel yang disebabkan karena gempa tektonik 2 tahun lalu mencapai lebih dari
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
15
1.600 orang. Para penderita ini, sebagian masih ketergantungan dengan keluarganya maupun
orang lain, sementara fasilitas yang diberikan kepada mereka belum memadahi.
Para penyandang cacat tersebut selain akan mendapatkan pelayanan kesehatan, biaya
hidup selama di panti juga pemberdayaan ekonomi agar kelak para kaum difabel ini bisa mendiri.
setelah keluar dari pusat rehabilitasi terpadu. Dana tersebut juga dipergunakan untuk
menyambung hidup sekitar 600 orang yang mengalami kegagalan pada penyambungan penderita
pada saat pasca gempa dua tahun lalu, yang mengalami patah tulang.
Pemerintah Propinsi DIY lewat dana rekonstruksi mulai tahun 2008 akan membangun
Pusat Rehabilitasi Pusat Terpadu yang akan dibangun di Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul.
Pusat Rehabilitasi fisik Terpadu yang menelan dana Rp 54 miliar bisa menampung 150
penyandang cacat korban gempa yang hidupnya tergantung pada orang lain. Komitment
pemerintah dengan menempatkan kaum difabel sebagai kelompok terakhir penerima bantuan,
menunjukkan rendahnya perhatian dan sikap empati dari pemerintah. Padahal, mereka cukup
mengalami penderitaan yang jauh lebih berat dibandingkan dengan korban selamat lainnya.
Pada level Kabupaten Bantul, Pemerintah daerah baru memulai suatu program yang
disebut dengan pemberdayaan ekonomi penyandang cacat, namun prosesnya masih bersifat
pasif. Hal ini ditunjukkan dengan persyaratan yang diberikan terlalu birokratis, dimana para difabel
yang membutuhkan bantuan diharuskan mengajukan proposal kepada Pemerintah Daerah, dalam
hal Dinas Sosial. Dengan kata lain, pemerintah daerah tidak punya suatu komitmen program yang
secara khusus dilakukan untuk merehabilitasi ekonomi dan sosial bagi kaum difabel. Sebab,
sepertinya cukup menyulitkan bgai korban untuk menyusun suatu proposal permohonan bantuan
dengan kondisi fisik dan mental yang masih rapuh, apalagi membawanya ke kantor Dinas Sosial.

F. Penutup
1). Kesimpulan
Berdasarkan deskripsi uaraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa:
c. Kebijakan mitigasi bencana yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul
secara umum telah berhasil dengan cepat memulihkan kondisi Bantul yang porak-poranda
dilanda bencana gempa. Melalui kebijakan top down dan kemampuan mobilisasi
masyarakat dan korban dalam bahu membahu memulihkan keadaan pasca gempa. Dalam
konteks inilah sebenarnya letak keberhasilan kebijakan mitigasi tersebut secara umum.
Sebab, meskipun pada masa-masa tanggap darurat pemerintah daerah tidak mempunyai
konsep yang jelas dalam menanggulangi keadaan, namun proses penyempurnaan cara
yang telah ada secara terus-menerus, dibantu segenap elemen masyarakat, maka proses
mitigasi dapat secara cepat dilakukan.
d. Keberhasilan kebijakan mitigasi sebagaimana tersebut di atas, tidak secara umum juga
terjadi bagi korbani kaum difabel di Kabupaten Bantul. Sebab, sejak awal proses
penanggulangan korban bencana menggunakan paradigma masyarakat secara normal.
Sementara bagi kaum difabel, hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok swasta. Selain itu,
kebijakan tersebut mengesankan adanya diskriminasi bagi kaum difabel dalam desain
kebijakan mitigasi, yang menempatkan mereka pada kelompok terakhir dalam
penanganannya. Pada level kebijakan praktis di Daerah, kaum difabel juga tidak
diposisikan sebagai kelompok yang punya kebutuhan khusus. Hal ini ditandai dengan
lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam merehabilitasi para korban difabel. Seperti,
rehabilitasi dampak ekonomi dan sosial budaya mereka yang dirasakan cukup
memberatkan, bahkan tidak jarang yang menderita stress.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
16

2). Rekomendasi
Berecermin pada keberhasilan kebijakan mitigasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Bantul, terhadap para korban bencana secara umum, maka beberapa rekomendasi
yang dapat disampaikan dari hasil kajian ini, khususnya dalam mitigasi bagi kaum difabel adalah
sebagai berikut:
a. Dalam penanganan korban bencana alam, selayaknya dibuat suatu tim mitigasi yang
secara khusus difokuskan untuk menangani kelompok-kelompok rentan, seperti anak-anak,
orang lanjut usia dan para difabel. Tim khusus ini hendaknya diseleksi dari personalia yang
berpengalaman dibidang tersebut.
b. Hendaknya dalam kondisi normal, masyarakat perlu diberikan penyuluhan mengenai cara-
cara mitigasi bagi korban bencana dari kelompok-kelompok rentan tersebut.
c. Hendaknya desain bangunan pasca gempa disesuaikan dengan kebutuhan aksesibilitas
bagi kaum difabel, sehingga jika terjadi bencana mereka lebih siap lagi untuk
menyelamatkan diri.
d. Hendaknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai model rehabilitasi dampak sosial dan
ekonomi bagi para difabel.

Daftar Pustaka
Alsa, Asmadi, 2004, Pendekatan Kuantitatif & Kualitatif Serta Kombinasinya Dalam Penelitian
Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Alston, Philips & Steiner, Henry J, 1996, International Human Right in Conteks : Law, Politics and
Moral, Clarendon Press, OXFORD.
Anonim, 2008, Bagi Penyandang Cacat Korban Gempa: Palang Merah Jepang Bantu Toilet,
diakses pada tanggal 9 Juli 2008 dari
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=168198&actmenu=36.
Anonim, 2006. Korban Gempa Bumi di Yogyakarta, diakses pada tanggal 19 Juni 2006 dari situs
http://www.SonoraJogjaMedia Center.com,
Anonim, Pemulihan Aceh Pasca Bencana Demi Keutuhan NKRI, Makalah Seminar Nasional,
tanggal 9 Maret, 206 diselenggarakan oleh Ikatan Alumni UII di Jogjakarta.
Arifin, Saru, Suparwoko, dan Fajriyanto, 2006. Persepsi Masyarakat Bantul Terhadap Pelaksanaan
Reknstruksi Pasca Bencana, Laporan Hasil Penelitian dibiayai oleh Direktorat Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Einstein, Albert, 1954, Ideas and Opinions, A Condor Book Souvenir Press. Bonanza Books. New
York. USA.
Fujisawa, Kazunory dalam Jawahir Thontowi, 2002, Hukum dan Bencana Alam. JICA FH UII,
Yogyakarta.
Fuad, Bahrul, 2006. Difabel dan Bencana Alam, diakses pada tanggal 27 Februari 2007 dari situs
http://www.cakfu.info/?p=39#more-39
Heijnen, Els, 2005. Apa Arti Sebuah Nama, Sebutan dan Istilah Berkenaan dengan Kecacatan dan
Kebutuhan Pendidikan Khusus. EENET Asia Newsletter, Edisi Perdana, Juni 2005.
Kasim, Eva, 2007. Tinjauan Terhadap Kebijakan Integrasi Sosial Penyandang Cacat Ke Dalam
Mainstream Masyarakat, diakses pada tanggal 15 Februari 2007 dari situs
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
17
http://www.evakasim.blogspot.com.
Sarwidi,Sebab Akibat Bencana Alam Terhadap Masyarakat Indonesia. Makalah disampaikan
dalam Diskusi Terbatas IMPRESS, Tanggal 26 Februari 2005.
Suharto, Edi 1997, Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekrjaan Sosial: Spektrum Pemikiran,
Lembaga Studi Pembangunan, Bandung.
Sutikno, Peraturan Hukum Nasional Yang Terkait Dengan Bencana Alam, Makalah disampaikan
dalam Workshop Terbatas Kajian Hukum dan Kebijakan terhadap Pencegahan dan
Penanggulangan Bencana Alam. Diselenggarakan oleh JICA dan IMPRESS Yogyakarta.
Hotel Sahid Raya 23 Oktober 2003.
Syam, Muhammad Noor, Politik dan Keamanan Nasional : Wawasan Filosofis Idiologis, Kultural,
Konstitusional. Masukan untuk Raker Dewan Ketahanan Nasional (Rancangan Propenas),
23-25 Juli 2003, Jakarta.
Thontowi, Jawahir, 2005, Naskah Akademik Draft Rancangan Undang Undang Penanggulangan
Bencana Alam, diajukan oleh Tim Fakultas Hukum UII (Tidak dipublikasikan), Yogyakarta.
Thontowi, Jawahir dan Arifin, Saru, 2003. Legal System Related to Natural Disaster in Indonesia,
Laporan Hasil Penelitian Kerjasama antara IMPRESS Yogyakarta dengan JICA-Jepang.
Twigg, John, 2004, Good Practice Review: Disaster Risk Reduction, Mitigation and Preparedness
in Development and Emergency Programming, Humanitarian Practice Network-Overseas
Development Institute, London.

Perundang-Undangan
1) Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasca Amandemen.
2) Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak-Hak Asasi Manusia
3) Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
4) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
5) Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
6) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
7) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
8) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
9) Undang Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan
10) Undang Undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian
11) Undang Undang Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
12) Undang Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan
13) Undang Undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran
14) Undang Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
15) Undang Undang Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
18
16) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1994 Tentang Pengelolaan Perkembangan
Kependudukan.

Potrebbero piacerti anche