Sei sulla pagina 1di 105

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO.

1, 2355-1666

Pebruary 2014

Konstribusi Penguasaan Teori Terhadap Kemampuan Keterampilan Siswa Pada Siswa Kursus Tata Kecantikan Rambut di DKI Jakarta
Burhan Miftah1 Abstract: The purpose of this research is to obtain empirical data about the relationship of learning outcomes in theory (mastery theory) towards student's skills in the basic classes of hair beauty courses in DKI Jakarta. The population of this research was students of the basic classes of hair beauty courses in DKI Jakarta, who had completed theoretical lessons and have completed or were completing practical lessons. The sample consisted of 133 persons which was taken by using cluster random sampling technique on 11 of hair beauty courses in DKI Jakarta. The instruments used to collect the data were; (1) a test to measure learning outcomes in theory (mastery theory), (2) and a rating scale to measure student's skills. The method used in this research was survey with simple regression and correlation technique to analyze the data obtained and t and F test were used to test the hypotheses at the level of significance = 0.05 The result of simple correlation analysis reviewed that there is a significant correlation found between learning outcomes in theory and student's skills (r = 0.58), and a coefficient determination of 0.3329. Which means that 33.29 % of variance of student's skills is determinated by learning outcomes in theory. So that, contribution learning outcomes in theory (mastery theory) towards student's skills is 33.29 %. The result of simple regression analysis showed that learning outcomes in theory (mastery theory) could predict student,s skills with a regression equation of = 65.99 + 1.20 X. Kata kunci: Kontribusi penguasaan teori, keterampilan siswa Perkembangan industri dan pertumbuhan perusahaan-perusahaan menuntut tersedianya tenaga ahli yang mempunyai kemampuan untuk dapat menyelenggarakan kegiatan tertentu. Pendidikan formal pada umumnya tidak menghasilkan lulusan yang siap kerja, tetapi hanya lulusan yang siap latih. Oleh sebab itu, pendidikan nonformal juga merupakan jembatan antara pendidikan sekolah dan dunia kerja. Berbagai kursus dan bentuk latihan kerja lain memungkinkan lulusan sekolah-sekolah
1

Dr. Burhan Miftah, M.Pd., adalah Kabid PNFI Dinas Pendidikan Kabupaten Bondowos, Emai l: plsbws@yahoo.com. Alamat: Jl. S Parman No, 21 RT 01 RW 01 Badean Bondowoso 1

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

jenis tertentu memperoleh kemampuan kerja yang diperlukan di dunia kerja. Peluang amat luas tersedia di jalur pendidikan nonformal untuk memperoleh pendidikan yang tidak dapat diperoleh di jalur pendidikan formal melalui kursus, kelompok belajar dan pelatihan keterampilan. Salah satu jenis kursus yang populer di tengah masyarakat adalah kursus tata rias rambut. Tujuan kursus tata rias rambut menurut Direktorat Pendidikan Masyarakat adalah meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap warga belajar, agar mampu melaksanakan kegiatan tata rias rambut dalam rangka memperoleh kesempatan kerja sebagai bekal kehidupan dan penghidupannya. Dalam penyelenggaraan kursus tata rias rambut terdapat beberapa komponen yang saling kait-mengkait dan menunjang dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan kursus. Komponen-komponen Kursus tata risa rambut adalah pamong kegiatan belajar, warga belajar (siswa), sumber belajar (guru), prasarana belajar, sarana belajar, dana, program kegiatan belajar (kurikulum), metode belajar, motivasi belajar, dan hasil belajar. Dalam kenyataan terdapat aneka ragam keberhasilan dalam penyelenggaraan kursus tata rias rambut, baik dilihat dari hasil belajar, maupun programnya. Keanekaragaman tersebut dipengaruhi oleh: keaneka-ragaman latar belakang siswa baik dari segi umur, pendidikan, inteligensi, kedudukan sosial maupun ekonominya, dan motivasi belajarnya, dan keanekaragaman, berbagai komponen program penyelenggaraan lainnya, seperti media, tenaga pendidik, proses belajar mengajar baik teori maupun praktik, sarana dan prasarana, alat bantu, dan lain-lain. Akan tetapi kurikulum yang dipergunakan dalam kursus tata rias rambut sama yaitu berpedoman pada kurikulum yang dikeluarkan oleh Depdikbud Pada kursus tata rias rambut aspek keterampilan (psikomotorik) merupakan aspek utama yang harus dikuasai oleh siswa, di samping aspek teori (kognitif) dan sikap (afektif). Hal ini sesuai dengan tujuan dari penyelenggaraan kursus tata rias rambut yang mementingkan aspek keterampilan siswa. Untuk mengukur hasil belajar pada kursus tata rias rambut baik pelajaran teori maupun keterampilan (psikomotorik) diadakan ujian atau uji kompetensi. Teori menurut Kerlinger adalah serangkaian konsep, sistematis tentang suatu fenomena. Curzon mengatakan bahwa teori adalah suatu sistem ide-ide (kognisi) yang berusaha menjelaskan sekelompok gejala. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penguasaan teori berarti hasil belajar di ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar di bidang pengetahuan dan kemampuan intelektual. Tujuan ranah kognitif bermaksud mengarahkan siswa untuk mengembangkan kemampuan intelektual, mulai dari mengingat kembali informasi-informasi yang didapat melalui pengalaman belajarnya sampai kemampuan menilai kejadian, peristiwa, dan pendapat melalui akalnya yang berupa konsep, definisi, prinsip-prinsip, dan proposisi yang saling berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang apa yang dipelajari. Hasil belajar keterampilan menurut Aronson dan Bringgs adalah perilaku siswa yang dapat diamati dari cara siswa tersebut menunjukkan kemampuan yang telah dipelajarinya. Ranah psikomotorik berkenaan dengan kemampuan sesorang secara motorik. Hasil belajar psikomotorik menekankan pada otot dan motorik, manipulasi, atau obyek serta koordinasi neuromuskular. (Bloom dan kawan-kawan)
2

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Proses pengajaran keterampilan menurut Curzon adalah (a) menjelaskan kepada siswa tentang jenis, bentuk, dan signifikansi dari keterampilan yang akan diajarkan, (b) memformulasikan peranan dan aturan yang akan dilaksanakan dalam kegiatan yang akan ditampilkan hingga siswa memper oleh dasar-dasar teoritis, (c) menyajikan model kegiatan sehinngga esensi dan nilai peranan dan aturan itu dapat dikenal, (d) siswa berusaha melakukan tindakan sesuai dengan tugas dibawah bimbingan dan secara terus-menerus dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap tindakan yang keliru, (e) siswa dapat melakukan tugas secara sistematis, mandiri, dan tanpa bimbingan sehingga dapat membentuk kebiasaan. METODE PENELITIAN Pelaksanaan penelitian ini menggunakan metode survey, yaitu melakukan pengumpulan data pada siswa di lembaga kursus Tata Rias Rambut yang ada DKI Jakarta. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa Kursus Tata Rias Rambut Tingkat Dasar pada lembaga-lembaga kursus tata rias rambut di DKI Jakarta. Pengambilan sampel menggunakan Cluster Random Sampling. Untuk memperoleh data tentang penguasaan teori dan keterampilan, maka disusun instrumen sebagai berikut: (1) Tes penguasaan teori, data tentang hasil belajar teori digunakan Tes sebagaimana pendapat Gronlund dan Popham. Validitas butir dengan melakukan analisis butir soal yaitu mencari tingkat kesukaran dan daya pembeda. Tingkat kesukaran untuk melihat apakah soal tersebut untuk populasi penelitian, sedangkan daya pembeda digunakan untuk melihat apakah soal tersebut dapat membedakan antara yang menguasai materi dengan yang tidak. Hasil analisis butir soal untuk tingkat kesukaran diperoleh: Mudah 18 (30 %) butir, Sedang 28 (47 %) butir, dan Sukar 14 (23 %) butir, sedangkan hasil perhitungan daya pembeda adalah layak dipakai 50 butir dan dibuang 10 butir. Reliabilitas instrumen tes ini digunakan rumus KR21, dinyatakan reliabel apabila perhitungan sama atau lebih dari 0,70 seperti yang disarankan Fraenkel & Wallen. Hasil perhitungan KR21= 0,71 sehingga dapat dikatakan reliabel. Skala penilaian (rating scale). Skala penilaian (rating scale) yang digunakan untuk mendapatkan data tentang keterampilan sebagaimana disarankan Gronlund dan Popham. Lembar penilaian (rating scale) ini menggunakan skala penilaian 1 s.d. 5 mulai dari tidak baik sampai dengan sangat baik. Untuk mengetahui validitas instrumen rating scale pengukur keterampilan ini menggunakan pendekatan content validity yaitu mengacu pada kurikulum kurikulum tata rias rambut tingkat dasar yang memiliki 5 aspek kemampuan/tugas belajar/kompetensi dasar dan 30 sub aspek kemampuan belajar/kompetensi. Di samping itu juga digunakan pendekatan face validity yaitu mengadakan kajian terhadap instrumen melalui sebuah forum diskusi dengan mengundang para penguji/guru tata rias rambut yang membahas, mengkritik, menambah atau mengurangi materi-materi yang ada dalam instrumen. Reliabilitas instrumen rating scale ini digunakan korelasi product moment dengan cara mengkorelasikan hasil penilaian penilai 1 dengan penilai 2. Dalam melaksanakan praktik menata/merias rambut setiap siswa dinilai oleh dua orang guru
3

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

dengan menggunakan lembar penilaian. Instrumen ini dinyatakan reliabel apabila korelasi antara hasil penilaian dua orang tersebut mempunyai harga r-hitung > r tabel pada = 0,05. Hasil perhitungan rxy (r hitung) = 0,725, sedangkan r tabel pada taraf siginifikansi 0,05 dengan n= 32 r-tabel= 0,349. Dengan demikian, instrumen pengukur yang berbentuk lembaran penilaian keterampilan memenuhi persyaratan reliabilitas. Teknik analisis data: pertama, gambaran umum mengenai hasil penelitian diperoleh dari hasil analisis frekuensi masing-masing variabel. Deskripsi data tersebut meliputi penyebaran data dalam bentuk pengelompokan data, rata-rata hitung, median, modus, dan simpangan baku. Kedua, selanjutnya adalah melakukan pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis penelitian digunakan analisis regresi dan korelasi sederhana beserta uji keberartiannya. Digunakannya teknik tersebut karena analisis regresi menyangkut hubungan satu arah antara variabel bebas dengan variabel terikat. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan, diperoleh dua macam data yang harus dianalisis, yaitu data tentang penguasaan teori (X), dan keterampilan siswa (Y). Data tersebut diperoleh melalui 2 macam instrumen penelitian yang meliputi tes untuk menjaring data Penguasaan teori, dan lembar penilaian (rating scale) untuk menjaring data hasil belajar dalam bentuk keterampilan. Sampel penelitian yang diambil secara acak berukuran 133 subyek dari keseluruhan siswa yang telah menyelesaikan pelajaran teori dan telah/sedang menyelesaikan pelajaran praktik pada kursus tata rias rambut tingkat dasar di DKI Jakarta. Setelah dilakukan pengecekan dan penskoran terhadap instrumen tersebut, maka diperoleh data mengenai penguasaan teori, dan keterampilan siswa kursus tata rias rambut tingkat dasar di DKI Jakarta dapat disajikan berikut ini. 1. Data Penguasaan Yeori Data tentang penguasaan teori menunjukkan skor tertinggi adalah 48, skor terendah 21, nilai rata-rata 37, simpangan baku 4,98, modus 39, dan median 38. Tabel 1 Distribusi Frekuensi Skor Penguasaan Teori Siswa Kursus Tata Rias Rambut Tingkat dasar.
Kelompok 1 2 3 4 5 6 7 8 Penguasaan Teori 19 - 22 23 - 26 27 - 30 31 - 34 35 - 38 39 - 42 43 - 46 47 - 50 Fabs 1 4 10 15 47 41 13 2 133 frel. 1 3 7 11 35 32 9 2 100

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Apabila diperhatikan distribusi frekuensi dan histogram skor penguasaan teori, diketahui bahwa skor penguasaan teori ini kebanyakan menyebar pada kelas interval 35-38 sebanyak 47 orang, dan kelas interval 39-42 sebanyak 41 orang.

Gambar 1 Distribusi Frekuensi Skor Penguasaan Teori Siswa Kursus Tata Rias Rambut Tingkat Dasar. Penyebaran sebagian besar skor tersebut memperlihatkan bahwa prestasi siswa dalam penguasaan teori cukup memuaskan 2 . Data tentang Keterampilan siswa. Data terahir yang didapat dalam penelitian ini adalah data tentang keterampilan siswa. Data ini terdiri atas skor tertinggi adalah 135, skor terendah adalah 87, nilai rata-rata 110, simpangan baku 10,37, modus 104, dan median 107, (lampiran D-3). Untuk memperjelas keterangan di atas distribusi frekuensi dan histogramnya dapat dilihat pada tabel 2 dan gambar 2 . Tabel 2 Distribusi Frekuensi Skor Keterampilan Siswa Kursus Tata rias Rambut tingkat Dasar.
Kelompok 1 2 3 4 5 6 7 8 Hasil Belajar Keterampilan 85 - 91 92 - 98 99 - 105 106 - 112 113 - 119 120 - 126 127 - 133 134 - 140 fabs 2 11 32 41 20 15 8 4 133 frel. 2 8 24 31 15 11 6 3 100

Memperhatikan distribusi frekuensi relatif dan histogramnya, dapat dijelaskan sebagian besar skor keterampilan siswa menyebar secara berturut-turut pada kelas

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

interval 99-105 terdapat sebanyak 32 orang, kelas interval 106-112 sebanyak 41 orang, dan kelas interval 113-119 sebanyak 20 orang.

Gambar 2 Histogram untuk Distribusi Frekuensi Skor Keterampilan Siswa Kursus Tata Rias Rambut Tingkat Dasar. Sama halnya dengan data sebelumnya, penyebaran sebagian besar skor keterampilan siswa pada kelas interval kelompok menengah tersebut memperlihatkan bahwa keterampilan siswa juga cukup memuaskan. Pengujian Hipotesis Penelitian Melalui analisis regresi sederhana Y atas X, diperoleh persamaan regresi = 65,99 + 1,20 X. Untuk mengetahui apakah persamaan regresi Y atas X signifikan atau tidak, maka perlu dilakukan pengujian signifikansinya dengan menggunakan uji F. Setelah diketahui signifikansi persamaan regresi Y atas X tersebut, juga perlu diketahui kelinearannya dengan menggunakan uji F pula. Tabel 3 Daftar Analisis Varians untuk Uji Signifikansi dan Kelinearan Regresi Y atas X
Sumber varias Total Koefisien (a) Regresi (b/a) Sisa Tuna Cocok Galat dk 133 1 1 131 22 109 JK 1632598 1620098 4693 9499 1494 8005 KT 1620098 4693 72,51 41,52 72.77 0,57 1,59 Fi 64,72 Ft 3,91

Berdasarkan analisis varians di atas untuk uji kelinearan regresi Y atas X diperoleh harga F-hitung sebesar 0,57. Daftar distribusi F (22,109) = 1,59 pada taraf

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

nyata = 0,05. Dengan demikian F-hitung< F-tabel pada taraf nyata = 0,05, sehingga persamaan regresi Y atas X adalah linear. Selanjutnya analisis varians di atas untuk uji signifikansi persamaan regresi ini diperoleh harga F sebesar 64,72. Daftar distribusi F (1,131) = 3,91 pada taraf nyata = 0,05. Dengan demikian F-hitung > F-tabel pada taraf nyata = 0,05, sehingga hipotesis nol yang menyatakan bahwa koefesian arah regresi tidak signifikan ditolak. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa koefesien arah regresi =65,99+1,20X sangatlah signifikan. Dengan memperhatikan hasil-hasil di atas, dapatlah dilakukan pengujian terhadap hipotesis yang berbunyi "terdapat hubungan antara penguasaan teori dengan keterampilan siswa", digunakanlah teknik korelasi Pearson Product Moment. Dari hasil perhitungan koefisien korelasi sederhana antara X2 dengan Y diperoleh r = 0,58, besar koefesien determinasi r2 = 0,3329 atau kontribusi sebesar 33,29 %. Untuk mengetahui apakah koefesien korelasi ini signifikan atau tidak, maka perlu dilakukan pemeriksaan melalui uji t. Analisis statistik untuk uji ini menghasilkan harga t-hitung sebesar 8,08. Dari daftar distribusi t dengan dk = 131, pada taraf = 0,05 didapatkan harga t-tabel sebesar 1,96. Ternyata harga t-hitung > harga t-tabel pada taraf nyata = 0,05, sehingga dapat diambil kesimpulan adalah bahwa koefesien korelasi r = 0,58 signifikan. Hasil pengujian tersebut dapatlah dibuat kesimpulan bahwa "hubungan antara penguasaan teori dengan keterampilan siswa" signifikan. Hasil pengujian ini juga memperlihatkan adanya hubungan berbanding lurus antara penguasaan teori dengan keterampilan siswa. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa makin tinggi penguasaan teori seorang siswa, makin tinggi pula keterampilan siswa. Hal ini berarti 33,29 % meningkatnya atau menurunnya penguasaan teori dapat dijelaskan oleh keterampilan siswa melalui persamaan regresi linear sederhana = 65,99 + 1,20 X. Mengingat uji signifikansi regresi ini telah membuktikan bahwa persamaan regresi linear sederhana = 65,99 + 1,20 X adalah signifikan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa hasil belajar teori dapat memprediksi keterampilan siswa". Jadi, regresi Y atas X secara berarti dapat digunakan untuk memprediksi rata-rata keterampilan siswa (Y) apabila rata-rata penguasaan teori (X) diketahui. Hasil pengujian hipotesis bahwa terdapat hubungan positif antara penguasaan teori dengan keterampilan siswa, di peroleh r sebesar 0,58 dan koefesien determinasi r2 = 0,3329. Dengan hasil pengujian ini dapat disimpulkan bahwa penguasaan teori memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keterampilan siswa sebesar 33,29 % dan selebihnya pengaruh dari faktor-faktor lain. Diduga faktor-faktor lain tersebut adalah kreativitas, bakat, minat, aspirasi kerja, motivasi kerja, banyaknya (frekuensi) latihan (praktik), kualitas dan kuantitas sumber-sumber belajar yang tersedia, kualitas dan kemampuan guru mengajar praktik (keterampilan), dan lain-lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini. Dengan demikian besarnya koofisien determinasi tersebut menggambarkan keeratan hubungan antara penguasaan teori dengan keterampilan siswa telah dibuktikan dalam penelitian. Penemuan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Smith & Ragan dan Fitts seperti dikutip Curzon bahwa dalam mempelajari keterampilan ada 3 phase. Pertama, fase kognitif, selama fase permulaaan ini (kognitif), siswa memperoleh informasi verbal tentang prosedur dan tata cara
7

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

setiap komponen dari keterampilan yang dipelajarinya. Kedua, fase assoasiasi, siswa mulai mempelajari secara fisik keterampilan itu, gerakan nyata diperlukan selama fase ini. Ketiga, fase otomatis, siswa melakukan praktik dan umpan balik, sehingga siswa mencapai kemajuan dari gerakan yang kasar (kaku) menjadi gerakan yang halus (terampil) . Sebagaimana dijelaskan di dalam kerangka teori dan kerangka berfikir bahwa penguasaan teori tak lain adalah hasil belajar di ranah kognitif, maka asumsi-asumsi yang menjelaskan adanya kaitan sangat erat antara hasil belajar teori dengan keterampilan siswa, hal ini sudah dibuktikan dalam penelitian. Hasil pengujian signifikansi telah membuktikan bahwa persamaan regresi linear sederhana = 65,99 + 1,20 X adalah signifikan, maka dapat digunakan untuk memprediksi rata-rata keterampilan siswa apabila rata-rata penguasaan teori sudah diketahui. Misalnya, bila seorang siswa memperoleh skor rata-rata penguasaan teori sebesar 42, maka skor rata-rata keterampilan siswa yang akan diperoleh dapat diprediksikan sebesar = 65,99 + 1,20 (42) = 116. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bila sesorang memiliki hasil belajar teori yang tinggi, maka ia akan memiliki keterampilan siswa yang tinggi pula dan sebaliknya. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis statistik data yang telah dilakukan diperoleh; skor rata-rata Penguasaan teori siswa sebesar 37, dan skor rata-rata keterampilan sebesar 10. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penguasaan teori, dan keterampilan siswa cukup memuaskan. Hasil analisis korelasi sederhana juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara hasil belajar teori dengan keterampilan siswa kursus tata rias rambut (r = 0,58), dan koefisien determinasi 0,3329 atau sumbangannya (kontribusi) sebesar 33,29 %. Hal ini berarti bahwa meningkat dan menurunnya siswa kursus tata rias rambut dalam keterampilan 33,29 % dapat dijelaskan oleh penguasaan teori mereka. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa keterampilan siswa kursus tata rias rambut dipengaruhi faktor penguasaan teori mereka. Hasil analisis regresi sederhana menunjukkan bahwa penguasaan teori dapat memprediksi keterampilan siswa melalui persamaan regresi linear sederhana = 65,99 + 1,20 X, sehingga model regresi tersebut dapat digunakan untuk memprediksi ratarata keterampilan siswa apabila rata-rata penguasaan teori sudah diketahui. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bila sesorang memiliki penguasaan teori yang tinggi, maka ia akan memiliki keterampilan yang tinggi pula dan sebaliknya.

DAFTAR RUJUKAN Aronson , Dennis T and Leslie J. Brings. Contribution of Gagne and Brings to A Prescriptive Models of Instruction, Instructional-design Theories and Models. An Overview of Their Current Status , ed. Charles M. Reigeluth. Hillsdale, N.J. : Lawrence Erbaum Associate, Publisher, 1983
8

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Bloom, Benjamin S. David R. Krathwohl, Bertram B. Masia. Taxonomy of Educational Objectives. The Classification of Educational Goals, Handbook I: Cognive Domain. London: Logman Group Ltd., 1964. ---------- Taxonomy of Educational Objectives. The Classification of Educational Goals, Handbook III: Pschomotoric Domain. London: Logman Group Ltd., 1964. Curzon, LB. Teaching in Further Education. An Outline of Principles and Practice,. London : Holt Education, 1985 Dikmas, Buku Petunjuk Teknis Pelaksanaan Diklusemas Jenis Tata Rias Rambut, Jakarta: Ditjen PLS Depdikbud, 2002 Fraenkel, Jack. R. & Norman. E. Wallen. How To Design and Evaluate Research In Education. New York : McGraw-Hill Inc, 1993. Gronlund, Norman E. Measurement and Evaluation in Teaching. New York : Macmillan Publishing Company, 1985 Kerlinger , Fred N. Foundations of Behavioral Research (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1986 Popham. James W. Modern Educational Measurement. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc, 1981 Sudjana, Teknik Analisis Korelasi dan Regresi. Bandung: Tarsito, 1992

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Internalisasi Nilai Karakter Dalam Membangun Kultur Organisasi Pendidikan


Studi Kasus pada Sekolah Tinggi Agama Islam Bondowoso
Juharyanto2

Abstract: This study describes charracters value integration in developing organizational culture in education which has got various significance changes in all aspect. This obviously can be seen from the lecturers professionalism programs, students output as well as the ongoing physical development. This is a qualitative research based on emic procedure through a case study design. The data is collected by observation, documentation, and deep interview techniques, and then analyzed through (1) data reduction, (2) data presentation, and (3) conclusion. From data analyzed, shows that the integration of charracters based on Islamic values in constructing organization culture in STAI shows more effective impact. The values involve: (1) love, (2) sincerity, (3) patient, (4) professional activities, (5) Gods Blessing, and (6) The awareness of previous history. Kata Kunci: Nilai-nilai karakter berbasis Islam; Kultur Organisasi

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20 tahun 2003). Lima dari delapan tujuan yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan nasional lebih dekat dengan nilai-nilai karakter. Terciptanya generasi masa depan yang berkarakter merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan dan dikuatkan oleh semua lapisan dan institusi, khususnya pendidikan, lebih-lebih pendidikan berbasis agama Islam, dimana agama merupakan satu-satunya sumber (basis) utama nilai karakter yang secara universal diakui dan diyakini. Eksistensi pendidikan Islam dalam kancah pendidikan nasional di Indonesia memiliki urgensi yang sangat besar, utamanya sebagai pilar bagi bangunan pendidikan Islam secara keseluruhan. Pendidikan Islam memiliki misi sebagai center of excellent
2

Dr. Juharyanto, MM., M.Pd. adalah pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Bondowoso, yang saat ini juga bertugas sebagai Pembina Pusat MBS pada Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Email: juharyanto@gmail.com / juharyanto.blogspot.com

10

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

untuk menghasilkan generasi sujana yang bermanfaat bagi keseluruhan stakeholders (rahmatan lil alamiin). Pendidikan Islam, tidak saja berfungsi sebagai garda terdepan penegak tujuan pembangunan manusia, tetapi penyelamat bagi keseluruhan ciptaan Tuhan. Tentu bergantung pada kemampuan melakukan eksplorasi nilai-nilai karakter dan komitmen melakukan integrasi nilai-nilai tersebut ke dalam setiap denyut nadi sistem organisasi pendidikannya, sehingga membudaya ke dalam perilaku (budaya) organisasinya. Muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona:1991), atau dalam arti utuh sebagai morality yang mencakup moral judgment and moral behaviour baik yang bersifat prohibition-oriented morality maupun pro-social morality (Piager, 1967; Kohlberg; 1975; Eisenberg-Berg; 1981). Secara pedagogis, pendidikan karakter seyogyanya dikembangkan dengan menerapkan holistic approach, dengan pengertian bahwa Effective character education is not adding a program or set of programs. Rather it is a tranformation of the culture and life of the school (Berkowitz: ... dalam goodcharacter.com: 2010): Sementara itu Lickona (1992) menegaskan bahw: In character education, its clear we want our children are able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right-event in the face of pressure form without and temptation from within. Menurut Muhadjir (1988:22) nilai dapat dibagi menjadi dua, yaitu: nilai hirarki dan nilai instrumental. Nilai hirarki bersifat universal dan abadi, sedangkan nilai instrumental dapat bersifat lokal, pasang surut dan temporal. Milton dan Robbins (1996:31) membagi perangkat nilai menjadi dua bagian yaitu: (1) Nilai terminal, merujuk ke keadaan akhir eksistensi yang sangat diinginkan sebagai suatu tujuan yang ingin dicapai sesorang selama hidupnya; (2) Nilai instrumental, merujuk ke modus perilaku yang lebih disukai atau cara mencapai nilai-nilai terminal. Sistem nilai mendasar dari sebuah organisasi yang berdaya guna adalah nilainilai yang dibangun dan dikuatkan melalui bentuk kepemimpinan berbasis nilai yang kuat dan benar-benar dipraktekkan oleh pemimpin dengan bentuk keteladanan, sehingga mengikat seluruh sistem organisasi ke dalam satu homogenitas karakter yang menguatkan organisasi itu sendiri. Dalam hal ini pemimpin organisasi dapat memulainya dengan membuat visi yang dapat dipercaya kebenarannya oleh para anggota, mengkomunikasikan visi tersebut kesemua warga organisasi dan kemudian melembagakan visi tersebut melalui berbagai perilaku, ritual, upacara, dan simbol, begitu pula melalui sistem dan kebijakan organisasi (Wisnu dan Nurhasanah, 2005:263). Pemimpin berbasis nilai karakter akan meraih kepercayaan dan rasa hormat dari seluruh anggota organisasinya tatkala pemimpin mampu secara kongkrit mendemonstrasikan adanya semangat, kegigihan, perjuangan dan berkorban dalam menjalankan nilai-nilai karakter organisasi. Seorang pemimpin dengan gaya dan perilakunya dapat menciptakan nilai-nilai, aturan-aturan kerja yang dipahami dan disepakati bersama serta mampu memengaruhi dan mengatur perilaku individu yang ada didalamnya sehingga nilai-nilai tersebut menjadi sebuah perilaku anutan bersama, yaitu yang disebut dengan budaya organisasi (Mohyi, 1999:199), yang berfungsi
11

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

sebagai pengikat formal dan non formal perilaku pimpinan, dosen, dan staf administrasi dalam melaksanakan tugas sesuai dengan visi, misi, dan strategi organisasi pendidikan. Dalam hal ini, budaya organisasi mempunyai pengaruh penting terhadap motivasi (Anthony dan Darden, 1992: 67). Budaya organisasi dengan nilai karakter kuat diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan, dan dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai perekat, dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Upaya tersebut menjadikan organisasi lebih berkembang dan dapat dijadikan pembeda (karakteristik) dengan organisasi lainnya. Ahli antropologi pendidikan Theodore Brameld menyatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yaitu nilai-nilai. Sementara itu sistem nilai merupakan konsepsi-konsepsi hidup dalam alam pikiran sebagai warga masyarakat mengenai halhal yang harus mereka anggap sangat bernilai dalam hidup (Koentjaraningrat, 1982:2), sedangkan perilaku merupakan fungsi interaksi orang dengan lingkungan (Owens,1991:178). Produk dari interaksi itu bisa berbentuk perilaku baik yang mendatangkan rasa aman, puas dan lain-lain dan perilaku buruk yang dapat mendatangkan rasa ketakutan, kebencian dan lain-lain. Dalam organisasi, menurut teori tersebut dapat berupa pemegang jabatan (Owens, 1991: 69), karyawan dan pelanggan (Robbins, 2002:17), dan keduanya berinteraksi dengan lingkungannya. Denison (2000:42) menyatakan bahwa kultur dapat memengaruhi kinerja organisasi, model budaya organisasi tersebut didasarkan pada sifat-sifat budaya yaitu involvement, consistency, adaptability dan mission. Wijanarko (2006:63) menyatakan nilai dan norma mengendalikan perilaku anggota organisasi, sehingga budaya organisasi akan membentuk pola perilaku tertentu anggotanya. Dalam pengamatan penulis, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) At Taqwa Bondowoso akhir-akhir ini menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Penulis berasumsi bahwa perkembangan tersebut disebabkan oleh sistem nilai karakter yang diterapkan dalam rangka membangun sebuah budaya organisasi, khususnya berbasis nilai-nilai karakter berbasis Islam, yang dikembangkan ke dalam visi dan misi lembaga. Membangun dan mengembangkan visi dan misi berarti membangun dan mengembangkan budaya yang berisi nilai-nilai budaya yang dapat mendukung terwujudnya visi dan misi tersebut. Dan tentunya dibarengi dengan perubahan sikap, nilai, persepsi, dan motivasi tinggi seluruh civitas akademikanya. Selama ini aktivitas kampus sebagai tradisi yang dibangun adalah merupakan implementasi nilai-nilai karakter yang dinternalisasi ke dalam budaya akademik, hal ini tercermin dengan banyaknya kegiatan-kegiatan pengembangan yang bersifat ilmiah dan professional mulai dari pengembangan SDM baik yang bersifa in-service training maupun pre sevice training, sampai kepada menjalin hubungan kerjasama dengan institusi internal dan eksternal sebagai wujud dari kepekaan kampus terhadap lingkungan sosial organisasi. Sedangkan aktivitas lain yang merupakan tradisi kampus sebagai implementasi dari budaya mahad tercermin pada kegiatan shalat berjamaah, kultum harian, istighotsah, khotmil Quran, pengajian kitab kuning yang menambah suasana kampus
12

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

menjadi sangat agamis dan sarat dengan nilai-nilai karakter berbasis Islam. Melalui mahad diharapkan berkembang suasana batin yang lebih halus yang kemudian melahirkan budaya berbasis nilai karakter (Islam). METODE Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Dalam bidang pendidikan, penelitian kualitatif seringkali disebut dengan penelitian naturalistik. Dengan jenis tersebut, internalisasi nilai karakter dalam membangun kultur organisasi pendidikan di STAI At Taqwa diamati dalam keutuhannya dan sebagaimana terjadi secara alamiah (natural) di lokasi penelitian. Penelitian ini tergolong dalam pendekatan fenomenologis. Peneliti bertujuan untuk memahami fenomena-fenomena yang terjadi secara emic dalam subyek penelitian, dimana peneliti akan mendeskripsikan hasil penelitian yang berupa kata-kata yang diperoleh selama mengadakan pengamatan dan wawancara dengan sejumlah informan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Verstehen, peneliti dapat memahami konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai, ide-ide dan normanorma yang menjadi karakter utama dalam membangun budaya organisasi di STAI At Taqwa, sehingga tidak terjadi kekeliruan penafsiran atas makna obyek yang diteliti. Penelitian ini juga menggunakan rancangan studi kasus melalui tahapan pra lapangan, tahap kegiatan lapangan dan penelitian yang sesungguhnya. Penelitian ini berusaha menganalisa tentang proses dan dampak dari internalisasi nilai-nilai karakter dalam membangun kultur organisasi di Sekolah Tinggi Agama Islam At Taqwa Bondowoso. Beberapa pertimbangan penetapan lokasi penelitian, antara lain; keunikan masalah sangat menonjol sehingga sangat menarik untuk diteliti, kehidupan akademis yang terlihat dinamis serta adanya kerjasama dengan mahad sebagai ciri khusus yang pada umumnya tidak dimiliki Perguruan Tinggi Agama Islam lainnya. Lokasi penelitian mudah dijangkau. Disamping itu peneliti telah mengikuti perkembangan Sekolah Tinggi Agama Islam At Taqwa Bondowoso sejak awal pendiriannya. Sebagai instrumen kunci, peneliti berusaha melakukan pertemuan dengan seluruh civitas akademika STAI At Taqwa secara langsung dengan subyek penelitian, sekaligus melakukan observasi lapangan secara terus-menerus guna mengumpulkan keseluruhan data yang dibutuhkan secara utuh. Proses penetapan subyek penelitian menggunakan metode purposive sampling dengan teknik: extreme or deviant sampling, Intensity sampling, Maximum variety sampling, dan Critical cases sampling. Dan penentuan informan berikutnya menggunakan teknik Snowball Sampling. Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan tiga pendekatan, yaitu: (a) pengamatan berperan serta, (b) Wawancara mendalam dan (c) dokumentasi. Sedangkan untuk mengecek keabsahan data peneliti melakukan uji kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, dan konfirmabititas.

13

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

HASIL dan PEMBAHASAN Internalisasi Nilai-nilai karakter berbasis Islam di STAI At Taqwa Bondowoso. Salah satu aspek yang ditekankan dalam proses internalisasi nilai-nilai karakter berbasis Islam yang ada di STAI At Taqwa Bondowoso dalam proses pengembangan kultur organisasi Perguruan Tinggi Islam adalah nilai profesionalitas dan kesadaran. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Rokeach dalam (Toha, 1996) yang menyatakan bahwa nilai merupakan suatu tipe kepercayaan yang ada di dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dimana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dilakukan. Hal ini yang menjadi aspek prioritas dalam pendidikan di STAI At Taqwa, yaitu penanaman nilai-nilai pendidikan yang selalu berupaya untuk mendewasan manusia secara utuh. Seperti yang katakan oleh Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tuntunan didalam tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. (Suwarno, 1985:2) Karenanya pengertian pendidikan menurut Islam adalah keseluruhan pengertian yang terkandung didalam istilah ta'lim (mencakup pengetahuan teoritis serta ketrampilan yang dibutuhkan dalam berprilaku sehari-hari), tarbiyah (menyampaikan sedikit demi sedikit sehingga sempurna) dan ta'dib (usaha agar orang mengenali dan mengakui tempat Tuhan dalam kehidupan ini). Penanaman nilai-nilai karakter berbasis Islam di STAI At Taqwa Bondowoso terlihat pada upaya menggerakkan kemampuan civitas akademika dalam berperilaku yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Artinya pendidikan agama harus disikapi bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama saja, melainkan dapat membentuk sikap dan kepribadian warga kampus. Dalam proses internalisasi nilai-nilai karakter berbasis Islam ternyata berpengaruh terhadap perkembangan kultur organisasi STAI At Taqwa yang berakibat terjadinya perubahan perilaku dan cara pandang warga kampus sebagai komunitas intelektual. Terlebih lagi dengan adanya kerjasama dengan pesantren disekitar kampus mahasiswa harus mengikuti keseluruhan proses pendidikan pesantren. Suasana religi di STAI At Taqwa Bondowoso mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan ini memiliki khas pendidikan yang mengacu pada nilai-nilai karakter berbasis Islam yang diterapkan. Inovasi Kultur Organisasi di STAI At Taqwa Bondowoso Bentuk konkrit inovasi kultur organisasi di STAI At Taqwa adalah munculnya kesadaran akan pentingnya keterlibatan pondok pesantren dalam menguatkan nilai-nilai karakter berbasis Islam pada mahasiswa, bahkan juga untuk menampung mahasiswa mengabdi di pondok pesantren tersebut. Pelaksanaan kerja sama dengan berbagai pondok pesantren pun tampaknya perlu mendapat perhatian yang lebih serius dari pihak pengelola. Khususnya ketegasan pembagian peran dan definisi koordinasi antar keduanya, mulai dari bentuk koordinasinya, sistem monitoring dan evaluasinya, serta kejelasan bangunan karakter
14

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

dan nilai-nilai integratif dari internalisasi nilai karakter yang dikehendaki. Menurut Mulkhan, belum tersusun sebuah konsep ilmu integral ilmiah yang mampu mengatasi dikotomi ilmu umum dan ilmu agama itu sendiri. Dan jika tetap dipaksakan, bisa saja mengakibatkan ambivalensi pada peserta didik yang akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwanya. Selain integrasi tersebut semakin menambah berat beban peserta didik, akibat lebih lanjut adalah pengembangan kemampuan peserta didik dalam menguasai ilmu akan terkesan lebih lambat dan hasil belajar pun cenderung rendah (over load). Akhirnya, out-put yang dihasilkan lembaga pendidikan Islam akan dipandang "rendah kualitasnya" dan kualitasnya dianggap di bawah lembaga-lembaga pendidikan non keislaman. (Mulkan, 2002:188) Kemampuan Membangun Kultur Organisasi dengan Internalisasi Karakter Berbasis Nilai Islam Bila didasarkan permasalahan budaya organisasi yang dikaji di atas, maka budaya perguruan tinggi dan keberhasilan perguruan tinggi dalam rangka pencapaian tujuan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebagaimana dikemukakan oleh Kotter dan Heskett (1992: 6), dan Moeljono (2003: 102). Kotter dan Heskett menempatkan budaya organisasi diurutan pertama dari faktor-faktor yang menetukan perilaku manajemen, yaitu: (1) budaya organisasi, (2) struktur, system, rencana, kebijakan formal (3) kepemimpinan, dan yang ke (4) lingkungan yang teratur dan bersaing. Penempatan budaya organisasi diurutan pertama menunjukkan bahwa budaya dapat mengkondisikan faktor-faktor diurutan berikutnya. Sementara itu Moeljono (2003: 1002) dalam penelitiannya membuktikan bahwa budaya organisasi berpengaruh pada produktivitas pelayanan terhadap pelanggan. Dari dua penelitian tersebut diatas menunjukkan bahwa budaya organisasi mempunyai hubungan yang erat dengan keberhasilan suatu organisasi/ lembaga pendidikan. Dalam proses internalisasi nilai-nilai karakter berbasis Islam di STAI, konsep keterpaduan agama dan ilmu yang dibangun bukanlah semata-mata pada tataran kurikulum atau kerangka keilmuan semata, melainkan pada tataran perilaku warga kampus yang akan terbentuk sebagai budaya. Untuk selalu berkembang secara terus menerus, budaya harus dimiliki oleh seluruh komponen dalam organisasi Slater (2001). Untuk itu individu dalam sebuah organisasi harus menjadi manusia pembelajar sehingga memudahkan organisasi untuk selalu melakukan perubahan dan mampu melakukan perkembangan. Karena itu dengan proses internalisasi nilai-nilai karakter berbasis Islam yang ada di STAI At Taqwa Bondowoso tampil lebih menjadi pusat keunggulan pendidikan Islami sebagai proses internalisasi moralitas. Hal tersebut relevan dengan pernyataan Puspoprodjo (1999) bahwa moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah. Moralitas mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia. Keterkaitan dengan penanaman nilai-nilai karakter berbasis Islam juga dikemukakan oleh Harun Nasution, bahwa kemerosotan akhlak disebabkan
15

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

kesalahpahaman dalam interpretasi pendidikan agama. Di sana ada perbedaan antara pengajaran agama dan pendidikan agama. Pengajaran agama bertujuan mentransformasikan pengetahuan agama (akidah, fikih, ibadah) kepada anak didik, akibatnya agama sebagai wacana dan khazanah intelektual belaka. Adapun pendidikan agama bertujuan untuk menghasilkan manusia yang berjiwa agama dan mengamalkan ajaran agamanya. Maka sebagai solusi dibutuhkan beberapa hal: (1) Keteladanan atau komunikasi perilaku yang profesional secara riil perlu diutamakan agar dapat mengaktualisasikan nilai-nilai karakter yang disepakati; (2) Kegiatan profesional yang religius para pendidik diharapkan mampu mensosialisasikan nilai-nilai karakter berbasis Islam yang tercermin dalam tindakan rutinitas peserta didik; (3) Perlu peningkatan pemahaman nilai-nilai karakter berbasis Islam dan diaktualisasikan di lembaga pendidikan; (4) Kejelasan dan ketegasan batas kerjasama dengan pondok pesantren atau instansi lain, sangat diperlukan, termasuk jabaran tugas dan kepersertaannya. Sistem nilai mendasar di lembaga pendidikan STAI At Taqwa yang berdaya guna adalah nilai-nilai yang dibangun dan dikuatkan melalui bentuk kepemimpinan berbasis nilai yang kuat dan benar-benar dipraktekkan oleh pemimpin dengan bentuk keteladanan. Dari penjelasan di atas diketahui bahwa karakteristik kepemimpinan mempunyai hubungan yang erat terhadap perilaku bawahan. Disamping itu pemahaman nilai-nilai karakter berbasis Islam tidak timbul dengan sendirinya, salah satunya adalah sejauh mana gaya kepemimpinan yang dilakukan dapat diterima anggota dalam organisasi. Dasar yang dapat menjelaskan hubungan model kepemimpinan dengan budaya organisasi yaitu: semangat kerja sama (profesionalitas dan kesabaran) dan saling memahami (kecintaan, kesadaran sejarah dan hidayah Tuhan) adalah refleksi dan sikap pribadi maupun sikap kelompok terhadap organisasi. Aspek keterbukaan antara pimpinan dan anggotanya sangat dominan dalam membangun kultur organisasi. Hal ini akan menumbuhkan saling kepercayaan dan kecintaan antar anggota organisasi, karena komitmen atau loyalitas dalam organisasi dapat dipakai sebagai dasar penentuan kebijakan organisasi guna meningkatkan kualitas budaya dan pencapaian tujuan. PENUTUP Kesimpulan 1. Bahwa upaya internalisasi nilai-nilai karakter berbasis Islam yang ada di Sekolah Tinggi Agama Islam At Taqwa Bondowoso dalam proses pengembangan kultur organisasi Perguruan Tinggi Islam lebih mengutamakan suasana: (1) Kegiatan professional, (2) Ikhlas, (3) Kesabaran (4), Kecintaan (5) Petunjuk dari Tuhan yang Maha Kuasa dan (6) Kesadaran sejarah. Oleh karenanya seorang pemimpin harus menjadikan dirinya suri teladan (uswah) dan memberikan dorongan dan menanamkan sifat keihlasan dan tanggung jawab yang kemudian akan menjadikan dirinya untuk memiliki etos kerja yang tinggi. Di samping itu dalam proses pengembangan kultur organisasi memiliki karakteristik seperti: (1) Berkualitas dan
16

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

2.

3.

sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang semakin dinamis (2) Berpenampilan modern (3) Memiliki leadership dan menegerial yang kokoh (4) Memiliki daya dukung yang memadai, baik berupa SDM dan daya pendukung pendidikan lainnya. (5) Dikenal masyarakat luas tentang orientasi pendidikannya. Untuk mengarahkan pada kondisi lembaga setidaknya ada tiga hal yang harus dikembangkan sekaligus diperkokoh: (1) Pengembangan leadership (2) Kurikulum dan (3) kultur pendidikan yang sebenarnya. Cara yang digunakan dalam menanamkan nilai-nilai karakter berbasis Islam adalah menanamkan sikap perilaku dan motivasi dalam belajar dan mengajar yang secara totalitas mengikuti pola menajemen Islami. Di samping itu aspek yang menjadi sasaran pembaharuan memiliki karakter antara lain: 1, Mengutamakan profesionalisme, 2. Bersifat fleksibel, 3. Mengambil keputusan oleh semua, 4. Perencanaan disusun secara matang dan terukur, 5. Informasi selalu didistribusikan secara luas, 6. Kompetisi diusahakan berkembang secara luas dan sehat, 7. Proaktif dan berani mengambil resiko, 8. Berpegang teguh pada visi dan misi, dan 8) konsistensi terhadap nilai karakter yang disepakati. Proses pegembangan kultur organisasi STAI At Taqwa dimulai dari penciptaan kondisi kerja yang professional yang kemudian merangsang tumbuhnya budaya organisasi, yaitu budaya malu, disiplin, kerja keras yang didasari oleh nilai-nilai karakter berbasis Islam, sebab amal atau kerja keras yang diyakini dengan rasa keihlasan dan menganggap sebagai suatu hidayah akan terus dikerjakan dan disikapi yang kemudian membentuk suatu budaya dalam kehidupan sehari-hari.

Saran 1. Parameter internalisasi nilai-nilai karakter berbasis Islam yang memunculkan terobosan inovatif dan tidak hanya sebatas konseptual dan simbolis sehingga perlu dikembangkan dan diaktualisasikan oleh civitas akademika agar kualitas pendidikan dan kepribadian warga kampus semakin baik dan Islami. Kebijakan yang diberlakukan diharapkan lebih dilihat dan difahami secara detail untuk menjadi kekuatan penggerak lembaga pendidikan yang inovatif. Perlu pula bagi pihak pimpinan memberikan reward bagi mahasiswa maupun staf pengajar yang menjunjung tinggi profesionalisme, dan sebaliknya bagi warga kampus yang melakukan kesalahan atau sengaja melanggar aturan maka wajib diambil tindakan tegas.

2. 3.

DAFTAR RUJUKAN

Anthony, RN. dan Darden, John. 1992, Sistem Pengendalian Manajemen, yang dialih bahasakan oleh Ir. Agus Maulana, Binapura Aksara. Denison, D: 2000. Organizational culture: Can it be a key lever for driving organizational change?" in S. Cartwright and C. Cooper. (Eds.) The Handbook of Organizational Culture. London: John Wiley & Sons.
17

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Eisenberg, N. 1986. Altruistic emotion, cognition and behavior. Hillsdale, NJ: Erlbaum. Koentjaraningrat, 1989a, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pengembangan, Jakarta: Gramedia Kohlberg, L. 1984. The Psychology of Moral Development. San Francisco, CA: Harper & Row. Kotter dan Heskett , 1992, Peranan Budaya Terhadap Kinerja Dalam Perusahaan (Corporate Culture And Performance). Lickona, T. (1992). Educating for Character. How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. NY: Bantam Doubleday. Mochyi, A,1999, Teori dan Perilaku Organisasi, Malang: UMM Press. Muhadjir.N.,1988, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jogjakarta: Rake Sarasin Muhadjir.N.,1993,Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. Owens, R. G., 1987, Organizational Behavior in Education, Thir edition New Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc. Piaget,J. ,1967, The Moral Development of the Child. New York: Collier. Rachmad, E., 2005, Budaya Kerja Perguruan Tinggi Swasta Studi Kasus di Universitas Dieng Malang, Disertasi tidak dipublikasikan. Rahardjo, M., (editor) 2006. Quo Vadis Pendidikan Islam, Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan, UIN Malang Press. Robbins, S. P., 1996, Perilaku Organisasi Konsep Kontroversi Aplikasi, Jilid 2. Jakarta: Prenhallindo. Schwartz, S.H. 1977. Normative influences on altruism, in: L. BERKOWITZ (Ed.) Advances in Experimental Social Psychology 10. New York, Academic Press. Wijanarko, H., 2006, Slogan (online), http://ww, Jakarta consulting.com/art-01-45.htm the Jakarta Consulting Group Partner In The Jakarta Consulting Group All Right Reserved, diakses tgl 26 Agustus 2011. Wisnu UR, Dicky dan Nurhasanah, S., 2005, Teori Organisasi Struktur dan Desain, Malang: UMM Press.

18

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Profesionalisme Guru SD Daerah Terpencil Kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah
Piter Joko Nugroho3

Abstract: The study was aimed at: 1) testing and describing the composition of the factors influencing the professionalism of the elementary school teachers, and 2) finding out and analyzing the factor (s) most influential to the professionalism of the elementary school teachers remote areas. The sample of the study comprised 103 elementary school teachers working at the remote areas in Gunung Mas Regency. The data were collected by using quistionnaire and the analysis was conducted through descriptive, exploratory factors, and multiple linier regression analysis, followed by F-test and t-test. The results of the study were: 1) the composition of factors significantly influences the teachers professionalism at the remote areas of Gunung Mas Regency includes training, academic qualification, principal leadership, and the prosperity/compensation; 2) Training is the most influential factor for the professionalism, that is (t=2.820, B= .317, and = .006 (p<0.05). Kata kunci: faktor yang mempengaruhi profesionalisme guru SD daerah terpencil, kabupaten Gunung Mas Di era kebijakan otonomi daerah dewasa ini diharapkan membuat perubahan yang mendasar terhadap berbagai sektor pemerintahan, termasuk sektor pendidikan (Saud, 2008:99). Meskipun desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan, namun dalam realitasnya pelaksanaan desentralisasi pendidikan terkesan sebagai satu tindakan yang agak tergesa-gesa dan tidak siap. Manulang (2012) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan otonomi pendidikan belum dapat berjalan dengan baik adalah berkaitan dengan kondisi dan kesiapan dari setiap daerah yang tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan karena geografis dan kendala dari masing-masing daerah, kualitas sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta dana yang dimiliki. Desentralisasi bidang pendidikan memang diharapkan setidaknya membawa 4 dampak positif terutama berkaitan dengan: 1) peningkatan mutu, 2) efisiensi keuangan, 3) efisiensi administrasi, dan 4) perluasan dan
3

Dr. Piter J. Nugroho adalah dosen Universitas Palangka Raya, Jl. Yos Sudarso Komplek Unpar Palangka Ray, e-mail: piter_unpar@yahoo.com 19

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

pemerataan pada daerah pelosok sehingga terjadi perluasan dan pemerataan pendidikan secara nasional. Konsep pemerataan dalam pendidikan sendiri tidak bersifat tetap. Belum ada satu konsep pun yang dapat dipakai sebagai dasar untuk perencanaan kebijakan dalam segala keadaan. Coleman (1996) lebih menekankan mengenai pentingnya pemerataan keefektifan unsur-unsur yang diperlukan untuk belajar di sekolah. Unsur yang dianggap utama adalah karakteristik siswa, fasilitas, kurikulum, dan guru. Lebih lanjut Lynch (2000) menjelaskan bahwa kesetaraan dalam pendidikan secara umum dipandang sebagai masalah membagi pendidikan yang terkait dengan peningkatan sumber daya yang lebih sama atau adil. (Lynch, 2000), secara keseluruhan (Education for All). Dalam rangka proses peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah diperlukan guru yang mampu merubah status quo terutama dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar yang bergantung kepada tingkat profesionalisme guru (Bafadal, 2003); lebih-lebih guru yang unggul (the excellent teacher) merupakan critical resources in any excellent teaching learning activities (Shapero, 1985). Walaupun masih diperlukan kajian terus-menerus, berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melalui stakeholders terkait dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru baik melalui pemberian kesempatan mengikuti non job training dan in service training, menyediakan program pembinaan yang teratur, menyiapkan forum akademik, disamping kegiatan supervisi dan masih banyak lagi kegiatan lainnya (Mulyasa, 2012; Gaffar, 1989). Kabupaten Gunung Mas adalah salah satu kabupaten pemekaran yang ada di provinsi Kalimantan Tengah dengan luas wilayah 10.804 km dan jumlah penduduk 96.838 jiwa (Sensus, 2010). Perbandingan luas wilayah dengan jumlah penduduk yang masih dapat dikatakan relatif sedikit dengan penyebaran penduduk yang belum merata pada kantong-kantong pemukiman penduduk yang terpisah satu dengan lainnya karena berbagai faktor antara lain beratnya kondisi geografis karena terbatasnya infrastruktur jalan, tentu saja membuat pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan dalam bidang pendidikan masih jauh dari yang diharapkan. Dalam laporan Tahunan Dinas Pendidikan Kabupaten Gunung Mas tahun 2010 teridentifikasi beberapa permasalahan pendidikan yang ada pada kabupaten baru ini, dan yang paling menonjol adalah berkaitan dengan belum meratanya akses pendidikan dan juga kualitas tenaga pendidik, terutama untuk daerah-daerah terpencil. Belum meratanya akses pendidikan dan upaya peningkatan mutu tenaga pendidik ini memunculkan beberapa permasalahanpermasalahan yang berhubungan dengan rendahnya profesionalisme dari tenaga pendidik (guru), selain juga keterbatasan sarana dan prasarana sekolah yang belum memadai, serta yang paling mendasar adalah belum efektif dan tepat sasarannya
20

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pengembangan profesionalisme guru yang bertugas di daerah pedalaman. (Laporan Tahunan Disdik Kabupaten Gunung Mas, 2010) Villegas-Reimers (2003:141) menyarankan bahwa pengembangan profesional guru harus dianggap sebagai proses jangka panjang, yang dimulai dengan persiapan awal dan hanya berakhir ketika guru pensiun dari profesinya. Akan tetapi, sayangnya banyak pendidik, administrator dan para peneliti kurang berminat melakukan penelitian pada konteks daerah terpencil padahal konteks keterpencilan tersebut merupakan kendala nyata yang perlu diatasi. (Howley dan Howley, 2000) Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menguji dan menjelaskan komposisi faktorfaktor yang mempengaruhi profesionalisme guru SD daerah terpencil daratan pedalaman kabupaten Gunung Mas provinsi Kalimantan Tengah, dan 2) Mengetahui dan menganalisis faktor yang paling mempengaruhi (penentu) profesionalisme guru SD daerah terpencil daratan pedalaman kabupaten Gunung Mas provinsi Kalimantan Tengah. Hasil penelitian ini diharapkan akan memperoleh data tentang komposisi faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme guru SD daerah terpencil sehingga akan diketahui faktor yang paling mempengaruhi (penentu) profesionalisme guru SD daerah terpencil daratan pedalaman kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak pengambil kebijakan dalam memformulasikan kebijakan terkait dengan pengembangan profesionalisme guru SD daerah tepencil, disamping pula dapat menjadi sajian data awal/rujukan bagi peneliti berikutnya dalam mengembangkan sebuah penelitian model pengembangan profesionalisme guru SD daerah terpencil daratan pedalaman yang efektif dan tepat sasaran untuk kedepannya nanti. METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatori dengan pendekatan kuantitatif yang dilakukan dengan menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, analisis faktor eksploratori dan analisis regresi berganda yang dilanjutkan dengan uji F dan uji t. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah guru-guru SD yang bertugas di daerah terpencil daratan pedalaman kabupaten Gunung Mas provinsi Kalimantan Tengah sebanyak 103 orang guru, yang kemudian dijadikan sebagai sampel jenuh karena seluruh anggota populasi dijadikan sampel. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survey, yaitu pengambilan data melalui kuisioner dari responden. Penyusunan kuisioner tersebut tentu beranjak dari ruang lingkup variabel yang diteliti dimana variabel-variabel tersebut merupakan kegiatan yang pernah dan sedang dirasakan oleh para guru SD yang bertugas di daerah terpencil daratan pedalaman
21

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

kabupaten Gunung Mas provinsi Kalimantan Tengah dalam meningkatkan profesionalisme mereka. Variabel tersebut meliputi: training/pelatihan, kualifikasi akademik, supervisi akademik, kepemimpinan kepala sekolah, motivasi, kesejahteraan/kompensasi, dan kegiatan KKG/MGMP. Kuisioner yang digunakan untuk menjaring data dalam penelitian ini adalah berupa daftar pertanyaan tertutup, dengan menggunakan skala Likert. Uji validitas instrumen penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment. Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan memasukkan data yang sudah diolah ke dalam program SPSS 20 for windows dengan dasar pijakan rumus korelasi Pearson Product Moment. Sedangkan untuk menguji tingkat reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan rumus Alpha Cronbach. Teknik analisis data diperlukan dalam penelitian untuk menyusun dan mengintepretasikan data kuantitatif yang sudah diperoleh, meliputi: a) analisis deskriptif untuk mendeskripsikan distribusi jawaban responden berdasarkan kuisioner yang disebarkan yaitu untuk melihat variabel training/pelatihan, kualifikasi akademik, supervisi akademik, kepemimpinan kepala sekolah, motivasi, kesejahteraan/kompensasi, dan KKG/MGMP; b) analisis faktor digunakan untuk menentukan suatu kelompok variabel yang layak disebut sebagai faktor dengan kriteria berdasarkan besarnya prosentase varian yang lebih besar atau sama dengan 5%. Untuk mengetahui peranan masing-masing variabel di dalam suatu faktor dapat ditentukan dari besarnya factor loading dari variabel yang bersangkutan, loading dengan nilai terbesar berarti mempunyai peranan utama pada variabel tersebut, yang dilakukan dengan langkah melakukan uji interdependensi variabel-variabel dan ekstraksi faktor; dan c) analisis regresi berganda yang kemudian dilanjutkan dengan uji hipotesis dengan menggunakan uji F dan uji t. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Statistik Deskriptif Variabel Penelitian Statistik deskriptif akan memberikan gambaran hasil pengamatan atas jawaban responden pada delapan variabel yang diteliti.

22

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Tabel 1. Statistik Deskritif Variabel Penelitian


Variabel Rata- Rata-rata butir dibawah rata-rata rata variabel Rata-rata butir diatas rata-rata variabel (1) Guru dapat mengidentifikasi permasalahan dalam tugas (2) Guru dapat memecahkan berbagai macam persoalan yang dihadapi dalam tugas (3) Guru dapat merumuskan konsep dalam pelaksanaan tugas (2) Program Magang (3) Kursus Singkat (4) Pelatihan (5) Pembinaan Internal (8) Seminar Pendidikan (12) Membuat karya teknologi

Y.Profesionalisme 2.51 (4) Guru memiliki komitmen Guru dan tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan tugas

X1.Training/pelati 3.94 (1) han (6) (7) (9)

In House Training Pendidikan Lanjut Diskusi Pendidikan Workshop pengembangan silabus (10) Penelitian Tindakan Kelas (11) Membuat Media Pembelajaran (2) Latar belakang kualifikasi akademik

X2.Kualifikasi Akademik X3.Supervisi Akademik

2.53

(1) Kualifikasi akademik (1) Kepala sekolah menjelaskan isi kurikulum setiap mata pelajaran (2) Kepala sekolah menjelaskan teknik penyusunan silabus mata pelajaran (6) Kepala sekolah menjelaskan karakteristik pembelajaran di luar kelas (8) Kepala sekolah menunjukkan kepada guru bagaimana menggunakan media pembelajaran

3.41 (3) Kepala sekolah menjelaskan strategi pembelajaran (4) Kepala sekolah mengaplikasikan teknik pembelajaran pada saat melaksanakan pengawasan (5) Kepala sekolah menjelaskan fungsi RPP (7) Kepala sekolah memfasilitasi guru melaksanakan proses pembalajaran di kelas 2.37 (1) Kepala sekolah berkata jujur dan berlaku adil terhadap guru (2) Kepala sekolah memberi contoh dalam bekerja dan bertindak (3) Kepala sekolah bersikap arif dan bijaksana terhadap guru yang melakukan pelanggaran (4) Kepala sekolah selalu melibatkan guru dalam berbagai kegiatan

X4.Kepemimpina n Kepala Sekolah

(5) Kepala sekolah menumbuhkan rasa percaya diri guru bahwa ia mempunyai potensi kerja yang tinggi (6) Kepala sekolah menghargai guru sebagai rekan kerja

23

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Variabel X5.Motivasi

Rata- Rata-rata butir dibawah rata-rata rata variabel 1.83 (2) Guru melaksanakan tugas dengan target yang jelas (3) Guru memiliki tujuan yang jelas dan menantang (5) Guru menyenangi pekerjaannya (6) Guru termotivasi untuk lebih giat dalam bekerja (7) Guru mengutamakan prestasi dalam bekerja

Rata-rata butir diatas rata-rata variabel (1) Guru melaksanakan tanggung jawabnya dalam pelaksanaan tugas sehari-hari (4) Guru berharap imbalan

X6.Kesejahteraan/ 3.33 (1) Tunjangan / tahun Kompensasi (2) Mendapatkan standard gaji guru / tahun

(3) Insentif / tahun (4) Kompensasi cocok dengan gaji / tahun (5) Pengakuan / penghargaan prestasi (6) Peluang mengembangkan karir (1) Membantu guru dalam mengatasi masalah dan kesulitan yang dihadapi guru dalam tugas (2) Meningkatkan pemahaman, keilmuan, keterampilan serta pengembangan sikap profesional berdasarkan kekeluargaan dan saling mengisi (sharing)

X7.KKG/MGMP

2.08 (3) Meningkatkan pengelolaan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan

Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan nomor butir

Berdasarkan gambaran di atas hasil pengamatan pada variabel penelitian memberikan nilai rata-rata pada kisaran 1,83 3,94. Deskripsi ini menjelaskan bahwa faktor-faktor penentu profesionalisme guru memang belum optimal dilakukan atau didapatkan para guru. Beberapa variabel dengan nilai rata-rata tergolong rendah (di bawah 3) antara lain: profesionalisme guru, kualifikasi akademik, kepemimpinan kepala sekolah, motivasi dan KKG/MGMP. Sedangkan variabel dengan nilai rata-rata tergolong tinggi (di atas 3) antara lain: training/pelatihan, supervisi akademik dan kesejahteraan/kompensasi. Analisis Faktor Eksploratori Analisis faktor konfirmatori dilakukan dengan tujuan untuk mengenali struktur data yang ada dalam masing-masing variabel. Deskripsi setiap variabel akan djelaskan dari hasil ekstraksi item-item menjadi beberapa komponen penjelas keragaman. Training/pelatihan Pengukuran training/pelatihan yang dilakukan dengan 12 butir item dapat diekstrak menjadi 4 komponen penting. Seluruh data training telah memenuhi syarat, nilai KMO sebesar 0,747 (lebih besar dari 0,50) menerangkan bahwa ada
24

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

interdependensi antar butir yang terukur. Hasil ekstraksi menerangkan bahwa keragaman penilaian terhadap training/pelatihan lebih banyak dijelaskan oleh komponen diklat kependidikan (32,516%). Komponen lain yang turut menjelaskan training adalah studi lanjut (11,020%), kursus (10,050%) dan media pembelajaran (9,334%). Ekstraksi menjadi 4 komponen ini mampu menjelaskan informasi yang terkandung dalam training sebesar 62,92%. Training/pelatihan yang dinilai baik oleh para guru adalah training/pelatihan yang mampu memberikan konten diklat kependidikan secara optimal. Kualifikasi Akademik Pengukuran kualifikasi akademik yang dilakukan dengan 2 butir item diekstrak menjadi 1 komponen penting. Seluruh data kualifikasi akademik telah memenuhi syarat, nilai KMO sebesar 0,500 (lebih besar dari 0,50) menerangkan bahwa ada interdependensi antar butir yang terukur. Hasil ekstraksi menerangkan bahwa keragaman penilaian terhadap kualifikasi akademik dijelaskan oleh komponen kualifikasi akademik dan latar belakangnya (79,046%). Secara substansi, kualifikasi akademik yang dinilai baik oleh para guru adalah berpendidikan tinggi dan mempunyai latar belakang yang cocok dengan ilmu kependidikan. Supervisi Akademik Pengukuran supervisi akademik yang dilakukan dengan 8 butir item dapat diekstrak menjadi 1 komponen penting. Seluruh data supervisi akademik telah memenuhi syarat, nilai KMO sebesar 0,908 (lebih besar dari 0,50) menerangkan bahwa ada interdependensi antar butir yang terukur. Hasil ekstraksi menerangkan bahwa keragaman penilaian terhadap supervisi akademik lebih banyak dijelaskan oleh isi kurikulum, fungsi RPP, aplikasi teknik pembelajaran dan strategi pembelajaran. Ekstraksi menjadi satu komponen ini mampu menjelaskan informasi yang terkandung dalam supervisi akademik sebesar 68,235%. Secara substansi, supervisi akademik yang dinilai baik oleh para guru adalah supervisi akademik yang mengawasi secara optimal pelaksanaan isi kurikulum, fungsi RPP, penerapan teknik dan strategi pembelajaran. Kepemimpinan Kepala Sekolah Pengukuran kepemimpinan kepala sekolah yang dilakukan dengan 6 butir item dapat diekstrak menjadi 2 komponen penting. Seluruh data kepemimpinan kepala sekolah telah memenuhi syarat, nilai KMO sebesar 0,747 (lebih besar dari 0,50) menerangkan bahwa ada interdependensi antar butir yang terukur. Hasil ekstraksi menerangkan bahwa keragaman penilaian terhadap kepemimpinan kepala sekolah lebih banyak dijelaskan oleh komponen pelaksanaan gaya kepemimpinan partisipatif
25

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

(47,625%). Komponen lain yang turut menjelaskan kepemimpinan kepala sekolah adalah pemberian keteladanan dan penghargaan (16,671%). Ekstraksi menjadi 2 komponen ini mampu menjelaskan informasi yang terkandung dalam kepemimpinan kepala sekolah sebesar 62,92%. Substansinya, kepemimpinan kepala sekolah yang baik adalah kepala sekolah lebih banyak menerapkan gaya kepemimpinan partisipatif, keteladanan dan memberikan penghargaan bagi guru yang berprestasi. Motivasi Pengukuran motivasi yang dilakukan dengan 7 butir item dapat diekstrak menjadi 2 komponen penting. Seluruh data motivasi telah memenuhi syarat, nilai KMO sebesar 0,660 (lebih besar dari 0,50) menerangkan bahwa ada interdependensi antar butir yang terukur. Hasil ekstraksi menerangkan bahwa keragaman penilaian terhadap motivasi lebih banyak dijelaskan oleh komponen kesukaan pada pekerjaan (38,633%). Komponen lain yang turut menjelaskan motivasi adalah mengenal pekerjaan (21,434%). Ekstraksi menjadi 2 komponen ini mampu menjelaskan informasi yang terkandung dalam motivasi sebesar 60,067%. Secara substansi, guru yang bermotivasi baik adalah para guru yang menyukai dan mengenal pekerjaan sebagai guru. Kesejahteraan/kompensasi Pengukuran kesejahteraan/kompensasi yang dilakukan dengan 6 butir item dapat diekstrak menjadi 2 komponen penting. Seluruh data kesejahteraan/kompensasi telah memenuhi syarat, nilai KMO sebesar 0,725 (lebih besar dari 0,50) menerangkan bahwa ada interdependensi antar butir yang terukur. Hasil ekstraksi menerangkan bahwa keragaman penilaian terhadap kesejahteraan/kompensasi lebih banyak dijelaskan oleh komponen kompensasi finansial (41,380%). Komponen lain yang turut menjelaskan kesejahteraan / kompensasi adalah kompensasi non finansial (17,573%). Ekstraksi menjadi 2 komponen ini mampu menjelaskan informasi yang terkandung dalam kesejahteraan/kompensasi sebesar 58,952%. Kesejahteraan/kompensasi yang baik adalah kompensasi finansial berupa gaji dan tunjangan sesuai standar. Kegiatan KKG/MGMP Pengukuran kegiatan KKG/MGMP yang dilakukan dengan 3 butir item dapat diekstrak menjadi 1 komponen penting. Seluruh data kegiatan KKG/MGMP telah memenuhi syarat, nilai KMO sebesar 0,751 (lebih besar dari 0,50) menerangkan bahwa ada interdependensi antar butir yang terukur. Hasil ekstraksi menerangkan bahwa keragaman penilaian terhadap kegiatan KKG/MGMP dijelaskan oleh komponen pengembangan profesi guru (87,652%). Substansi, kegiatan KKG/MGMP yang baik adalah kegiatan KKG/MGMP yang mampu meningkatkan pengembangan profesi guru.
26

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Profesionalisme guru Pengukuran profesionalisme guru yang dilakukan dengan 4 butir item dapat diekstrak menjadi satu komponen penting. Seluruh data profesionalisme guru telah memenuhi syarat, nilai KMO sebesar 0,747 (lebih besar dari 0,50) menerangkan bahwa ada interdependensi antar butir yang terukur. Hasil ekstraksi menerangkan bahwa keragaman penilaian terhadap profesionalisme guru dijelaskan oleh komponen guru sebagai problem solver (68,991%). Secara substansi, profesionalisme guru yang baik adalah guru mampu memainkan peran sebagai problem solver. Analisis Regresi Hasil Pengujian Asumsi pada Analisis Regresi Penaksiran koefisien regresi pada analisis ini menggunakan metode kuadrat terkecil (ordinary least square). Asumsi yang mendasari pada analisis regresi antara lain: tidak terjadi multikolinier, tidak terjadi heteroskedastisitas dan nilai residual berdistribusi normal. Berikut merupakan penjelasan hasil pengujian ketiga asumsi tersebut. Hasil pemeriksaan terhadap asumsi tidak terjadi multikolinier dilakukan dengan menghitung nilai Variance Inflation Factor (VIF) pada variabel bebas. Gujarati (1995) berpendapat bahwa sebuah variabel bebas akan dianggap memiliki multikolinieritas yang tinggi dengan satu atau beberapa variabel bebas lainnya jika nilai VIF > 10. Dari hasil perhitungan disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinieritas karena seluruh nilai VIF kurang dari 10. Pembuktian bahwa nilai residual (error) menyebar normal merupakan salah satu indikasi persamaan regresi yang diperoleh adalah cukup baik. Pembuktian kenormalan nilai residual dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai Zhitung sebesar 0,829 yang lebih kecil dari Ztabel = 1,96 dan pvalue = 0,498 yang lebih besar dari = 0,05.

Gambar 1. P-P Plot Uji Kenormalan Data Residual


27

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Uji normalitas dilakukan dengan memperhatikan diagram pencar P-P plot. Pemeriksaan distribusi normal pada data residual dengan menggunakan P-P plot ditunjukkan dengan hasil pencaran data yang akan membentuk satu garis lurus diagonal, dan ploting data residual akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data residual normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya. Pada gambar diatas tampak bahwa pencaran data telah mendekati garis lurus. Asumsi selanjutnya adalah pemeriksaan terhadap tidak terjadinya heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas akan mengakibatkan penaksiran koefisienkoefisien regresi menjadi tidak efisien. Hasil penaksiran akan menjadi kurang dari semestinya. Heteroskedastisitas bertentangan dengan salah satu asumsi dasar analisis jalur, yaitu bahwa variasi residual adalah sama untuk semua pengamatan atau disebut homoskedastisitas. Prosedur uji yang digunakan untuk mendeteksi gejala heteroskedastisitas adalah dengan uji Glejser. Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan nilai mutlak residual terhadap seluruh variabel bebas. Jika nilai p-value pada hasil uji-t terhadap koefisien regresi lebih besar dari =0,05, maka dapat dikatakan bahwa tidak terjadi gejala heteroskedastisitas pada nilai residual. Hasil yang ditunjukkan Tabel 2, dapat ditarik kesimpulan bahwa asumsi tidak terjadi heteroskedastisitas dapat terpenuhi. Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Heteroskedastisitas
Variabel
X1.Training X2.Kualifikasi Akademik X3.Supervisi Akademik X4.Kepemimpinan Kepada Sekolah X5.Motivasi X6.Kesejahteraan / Kompensasi X7.KKG/MGMP

Koefisien regresi
0.042 -0.039 0.018 0.023 -0.037 0.024 -0.055

p-value
0.567 0.238 0.637 0.671 0.419 0.563 0.056

Kesimpulan
Tidak terjadi heteroskedastisitas Tidak terjadi heteroskedastisitas Tidak terjadi heteroskedastisitas Tidak terjadi heteroskedastisitas Tidak terjadi heteroskedastisitas Tidak terjadi heteroskedastisitas Tidak terjadi heteroskedastisitas

Hasil Perhitungan Koefisien Regresi Analisis regresi berganda digunakan untuk menggambarkan bentuk pengaruh antara variabel independen (bebas) terhadap variabel dependen (terikat). Hal-hal penting dalam analisis regresi antara lain: persamaan regresi, koefisien determinasi terkorelasi (R2-adj), hasil uji-F dan uji-t. Dari persamaan regresi diketahui bahwa variabel terikat profesionalisme guru (Y) nilainya akan diprediksi oleh kedelapan variabel bebas. Koefisien regresi pada seluruh variabel bertanda positif, hal ini bisa dimaknai bahwa semua unsur berpengaruh positif terhadap profesionalisme guru.

28

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Tabel 3. Hasil Perhitungan Regresi


Variabel X1.Training X2.Kualifikasi Akademik X3.Supervisi Akademik X4.Kepemimpinan Kepada Sekolah X5.Motivasi X6.Kesejahteraan / Kompensasi X7.KKG/MGMP R = 0,680 2 Adjusted R = 0,422 R2 = 0,534 F hitung = 11,648 P-value = 0,000 Koef. Regresi 0.413 0.186 0.013 0.287 0.014 0.202 0.009 Beta 0.317 0.227 0.018 0.222 0.013 0.226 0.013 T 2.820 2.840 0.175 2.605 0.158 2.420 0.157 P-value 0.006 0.006 0.862 0.011 0.875 0.017 0.875 Keterangan Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Signifikan Tidak Signifikan

Berdasarkan hasil perhitungan analisis regresi pada Tabel 3 di atas, dapat diperoleh persamaan regresi dengan standardized coefficient (beta) sebagai berikut: Y = 0,317 X1 + 0,227 X2 + 0,018 X3 + 0,222 X4 + 0,013 X5 + 0,226 X6 + 0,013 X7; R2 = 53,4%

Gambar 2. Pengaruh Langsung Faktor Penentu Profesionalisme Guru

29

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Koefiesien Determinasi Koefisien determinasi (R2) merupakan salah satu nilai yang dijadikan ukuran kelayakan (goodness of fit), dengan melihat besarnya presentase pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen, dapat diketahui seberapa baik model persamaan regresi yang digunakan. Koefisien determinasi (R2) mengukur proporsi (bagian) atau prosentase total variasi dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi. Koefisien determinasi atau R2 mempunyai besaran yang batasnya adalah 0 R2 1. suatu R2 sebesar 1 berarti suatu kecocokan sempurna, sedangkan R2 yang bernilai nol tidak ada hubungan antara variabel tak bebas dengan variabel yang menjelaskan. Berdasarkan perhitungan dapat diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar 0,534, artinya kemampuan persamaan regresi dalam memprediksi nilai variabel terikat adalah 53,4%. Lebih lanjut nilai 53,4% menunjukkan bahwa kontribusi gabungan dari seluruh variabel bebas untuk menjelaskan profesionalisme guru (Y) adalah 53,4% sedangkan sisanya 46,6% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti. Hasil Uji F Pada Tabel 3 di atas menjelaskan hasil pengujian secara simultan pengaruh dari kedua variabel bebas terhadap profesionalisme guru. Pada bagian uji F diperoleh nilai Fhitung = 11,648 dan p-value = 0,000. Hasil uji ini menjelaskan bahwa secara simultan diperoleh adanya pengaruh yang signifikan (p<0,05) dari ketujuh variabel bebas terhadap profesionalisme guru dengan kontribusi sebesar 53,4%. Hasil Uji t Pengaruh secara parsial variabel training/pelatihan terhadap profesionalisme guru adalah signifikan. Variabel training/pelatihan dengan koefisien beta sebesar 0,317 berpengaruh signifikan terhadap profesionalisme guru. Hal ini terbukti dari nilai thitung = 2,820 dan p-value = 0,006 (p<0,05), maka secara statistik koefisien regresi dari training/pelatihan terhadap profesionalisme guru adalah signifikan. Peranan training/pelatihan bagi guru akan menjadi faktor pendorong meningkatnya profesionalisme guru. Pengaruh secara parsial variabel kualifikasi akademik terhadap profesionalisme guru adalah signifikan. Variabel kualifikasi akademik dengan koefisien beta sebesar 0,227 berpengaruh signifikan terhadap profesionalisme guru. Hal ini terbukti dari nilai t-hitung = 2,840 dan p-value = 0,006 (p<0,05), maka secara statistik koefisien regresi dari kualifikasi akademik terhadap profesionalisme guru adalah signifikan. Peranan kualifikasi akademik bagi guru akan menjadi faktor pendorong meningkatnya profesionalisme guru.

30

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Pengaruh secara parsial variabel supervisi akademik terhadap profesionalisme guru adalah tidak signifikan. Variabel supervisi akademik dengan koefisien beta sebesar 0,018 berpengaruh tidak signifikan terhadap profesionalisme guru. Hal ini terbukti dari nilai t-hitung = 0,175 dan p-value = 0,862 (p>0,05), maka secara statistik koefisien regresi dari supervisi akademik terhadap profesionalisme guru adalah tidak signifikan. Peranan supervisi akademik bagi guru tidak dapat menjelaskan meningkatnya profesionalisme guru. Pengaruh secara parsial variabel kepemimpinan kepala sekolah terhadap profesionalisme guru adalah signifikan. Variabel kepemimpinan kepala sekolah dengan koefisien beta sebesar 0,222 berpengaruh signifikan terhadap profesionalisme guru. Hal ini terbukti dari nilai t-hitung = 2,605 dan p-value = 0,011 (p<0,05), maka secara statistik koefisien regresi dari kepemimpinan kepala sekolah terhadap profesionalisme guru adalah signifikan. Peranan kepemimpinan kepala sekolah bagi guru akan menjadi faktor pendorong meningkatnya profesionalisme guru. Pengaruh secara parsial variabel motivasi terhadap profesionalisme guru adalah tidak signifikan. Variabel motivasi dengan koefisien beta sebesar 0,013 berpengaruh tidak signifikan terhadap profesionalisme guru. Hal ini terbukti dari nilai t-hitung = 0,158 dan p-value = 0,875 (p>0,05), maka secara statistik koefisien regresi dari motivasi terhadap profesionalisme guru adalah tidak signifikan. Peranan motivasi bagi guru tidak dapat menjelaskan meningkatnya profesionalisme guru. Pengaruh parsial variabel kesejahteraan/kompensasi terhadap profesionalisme guru adalah signifikan. Variabel kesejahteraan/kompensasi dengan koefisien beta sebesar 0,226 berpengaruh signifikan terhadap profesionalisme guru. Hal ini terbukti dari nilai t-hitung = 2,420 dan p-value = 0,017 (p<0,05), maka secara statistik koefisien regresi dari kesejahteraan/kompensasi terhadap profesionalisme guru adalah signifikan. Peranan kesejahteraan/kompensasi bagi guru menjadi faktor pendorong meningkatnya profesionalisme guru. Pengaruh parsial variabel kegiatan KKG/MGMP terhadap profesionalisme guru adalah signifikan. Variabel kegiatan KKG/MGMP dengan koefisien beta sebesar 0,013 berpengaruh tidak signifikan terhadap profesionalisme guru. Hal ini terbukti dari nilai thitung = 0,157 dan p-value = 0,875 (p>0,05), maka secara statistik koefisien regresi dari kegiatan KKG/MGMP terhadap profesionalisme guru adalah tidak signifikan. Peranan kegiatan KKG/MGMP bagi guru tidak dapat menjelaskan meningkatnya profesionalisme guru. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis faktor eksploratori dan analisis regresi berganda yang dilanjutkan dengan uji hipotesis menggunakan uji F dan uji t, diketahui bahwa dari
31

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

ketujuh faktor hanya empat faktor yang secara signifikan mempengaruhi profesionalisme guru SD daerah terpencil daratan pedalaman kabupaten Gunung Mas provinsi Kalimantan Tengah. Pengukuran training/pelatihan yang dilakukan dengan 12 butir item dapat diekstrak menjadi 4 komponen penting. Seluruh data training telah memenuhi syarat, nilai KMO sebesar 0,747 (lebih besar dari 0,50) menerangkan bahwa ada interdependensi antar butir yang terukur. Hasil ekstraksi menerangkan bahwa keragaman penilaian terhadap training/pelatihan lebih banyak dijelaskan oleh komponen diklat kependidikan (32,516%). Komponen lain yang turut menjelaskan training adalah studi lanjut (11,020%), kursus (10,050%) dan media pembelajaran (9,334%). Ekstraksi menjadi 4 komponen ini mampu menjelaskan informasi yang terkandung dalam training sebesar 62,92%. Secara substansi, training/pelatihan yang dinilai baik oleh para guru adalah training/pelatihan yang mampu memberikan konten diklat kependidikan secara optimal.Variabel training/pelatihan dengan koefisien beta sebesar 0,317 berpengaruh signifikan terhadap profesionalisme guru. Hal ini terbukti dari nilai t-hitung = 2,820 dan p-value = 0,006 (p<0,05), maka secara statistik koefisien regresi dari training/pelatihan terhadap profesionalisme guru adalah signifikan. Peranan training/pelatihan bagi guru akan menjadi faktor pendorong meningkatnya profesionalisme guru. Temuan ini sejalan dengan pendapat Khan (2011) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa faktor paling menentukan dalam meningkatkan profesionalisme guru dipengaruhi oleh training/pelatihan dan pengembangan karena training/pelatihan dan pengembangan menjadikan para guru mempunyai kemampuan dan keterampilan yang diperlukan dalam kegiatan belajar mengajar, dan juga dapat mengubah sikap mereka dalam menjalankan kinerjanya. Pengukuran kualifikasi akademik yang dilakukan dengan 2 butir item diekstrak menjadi 1 komponen penting. Seluruh data kualifikasi akademik telah memenuhi syarat, nilai KMO sebesar 0,500 (lebih besar dari 0,50) menerangkan bahwa ada interdependensi antar butir yang terukur. Hasil ekstraksi menerangkan bahwa keragaman penilaian terhadap kualifikasi akademik dijelaskan oleh komponen kualifikasi akademik dan latar belakangnya (79,046%). Secara substansi, kualifikasi akademik yang dinilai baik oleh para guru adalah berpendidikan tinggi dan mempunyai latar belakang yang cocok dengan ilmu kependidikan. Variabel kualifikasi akademik dengan koefisien beta sebesar 0,227 berpengaruh signifikan terhadap profesionalisme guru. Hal ini terbukti dari nilai t-hitung = 2,840 dan p-value = 0,006 (p<0,05), maka secara statistik koefisien regresi dari kualifikasi akademik terhadap profesionalisme guru adalah signifikan. Peranan kualifikasi akademik bagi guru akan menjadi faktor pendorong meningkatnya profesionalisme guru. Temuan ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Windham (1988:27) bahwa salah satu karakteristik seorang guru yang
32

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

dianggap paling mendasar untuk kualitas seorang guru adalah latar belakang pendidikannya. Windham (1988:27) menyatakan bahwa: the characteristics of teachers that form the basis for the commonly used indicators of teachers quality are: formal education attaintment, teacher training attainment, age/experience, attrition/turnover, specialization, ethnic/nationality, subject/mastery, verbal ability, attitudes, teacher availability measures. Lebih lanjut Windham (1988:27) menambahkan bahwa ada dua karakteristik yang diperlukan untuk mempersiapkan diri menjadi seorang guru. Dua hal tersebut adalah kualifikasi akademik dan training untuk guru. Sagala (2010) mendefinisikan kualifikasi akademik guru sebagai persyaratan minimal mengenai tingkat pendidikan formal dan keahlian/keilmuan, pangkat golongan, jabatan, masa kerja, dan usia yang harus dipenuhi. Sedangkan kualifikasi akademik adalah ijasah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. Kualifikasi akademik merupakan suatu hal yang sangat penting dan untuk disebut sebagai guru profesional maka persyaratan tersebut merupakan suatu hal yang mutlak adanya. Surya (2010:69) menambahkan bahwa syarat kualifikasi akademik seorang guru dalam Undang-undang Guru dan Dosen yaitu minimal lulusan S-1 atau Diploma IV dan adanya aturan kualifikasi akademik tersebut merupakan suatu upaya untuk mewujudkan profesionalisme guru. Pengukuran kepemimpinan kepala sekolah yang dilakukan dengan 6 butir item dapat diekstrak menjadi 2 komponen penting. Seluruh data kepemimpinan kepala sekolah telah memenuhi syarat, nilai KMO sebesar 0,747 (lebih besar dari 0,50) menerangkan bahwa ada interdependensi antar butir yang terukur. Hasil ekstraksi menerangkan bahwa keragaman penilaian terhadap kepemimpinan kepala sekolah lebih banyak dijelaskan oleh komponen pelaksanaan gaya kepemimpinan partisipatif (47,625%). Komponen lain yang turut menjelaskan kepemimpinan kepala sekolah adalah pemberian keteladanan dan penghargaan (16,671%). Ekstraksi menjadi 2 komponen ini mampu menjelaskan informasi yang terkandung dalam kepemimpinan kepala sekolah sebesar 62,92%. Secara substansi, kepemimpinan kepala sekolah yang dinilai baik oleh para guru adalah kepala sekolah lebih banyak menerapkan gaya kepemimpinan partisipatif, keteladanan dan memberikan penghargaan bagi guru yang berprestasi. Variabel kepemimpinan kepala sekolah dengan koefisien beta sebesar 0,222 berpengaruh signifikan terhadap profesionalisme guru. Hal ini terbukti dari nilai thitung = 2,605 dan p-value = 0,011 (p<0,05), maka secara statistik koefisien regresi dari kepemimpinan kepala sekolah terhadap profesionalisme guru adalah signifikan. Peranan kepemimpinan kepala sekolah bagi guru akan menjadi faktor pendorong meningkatnya profesionalisme guru. Temuan ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Dale (2003) bahwa setiap organisasi memerlukan seorang pemimpin, dan
33

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

pemimpin merupakan faktor yang mempengaruhi terhadap suatu organisasi karena akan membawa ke arah mana organisasi tersebut menuju. Pemimpin yang baik memberi contoh yang baik, berkomunikasi secara jelas, memperlakukan karyawan secara adil, menetapkan tujuan dengan jelas dan menyampaikannya kepada karyawan, serta memantau perkembangan karyawannya). Goleman (2000:9) juga menjelaskan bahwa seorang pemimpin tidak hanya membimbing dan menuntun, tetapi juga memancing tumbuhnya perasaan positif dalam diri orang-orang yang dipimpinnya untuk mengeluarkan upaya terbaiknya bagi organisasi. Kepemimpin partisipatif menurut Yukl (2001:98) adalah pendekatan perilaku kepemimpinan dengan melibatkan/ mengikutksertakan orang lain dalam pembuatan dan melaksanakan keputusan termasuk merencanakan pekerjaan, memecahkan masalah teknis, memilih para bawahan, menentukan kenaikan upah, membuat penugasan serta mendelegasikan tugas. Hasil penelitian Muslikah (2011) juga mengungka bahwa ada pengaruh positif antara kepemimpinan kepala sekolah terhadap kompetensi profesional guru. Penelitian tersebut juga menyarankan bagi pentingnya kepala sekolah untuk selalu bertindak kreatif dan inovatif agar dapat dijadikan panutan bagi seluruh warga sekolah dalam meningkatkan profesionalismenya. Pengukuran kesejahteraan/kompensasi yang dilakukan dengan 6 butir item dapat diekstrak menjadi 2 komponen penting. Seluruh data kesejahteraan/kompensasi telah memenuhi syarat, nilai KMO sebesar 0,725 (lebih besar dari 0,50) menerangkan bahwa ada interdependensi antar butir yang terukur. Hasil ekstraksi menerangkan bahwa keragaman penilaian terhadap kesejahteraan/kompensasi lebih banyak dijelaskan oleh komponen kompensasi finansial (41,380%). Komponen lain yang turut menjelaskan kesejahteraan/kompensasi adalah kompensasi non finansial (17,573%). Ekstraksi menjadi 2 komponen ini mampu menjelaskan informasi yang terkandung dalam kesejahteraan/kompensasi sebesar 58,952%. Secara substansi, kesejahteraan/ kompensasi yang baik adalah guru bisa mendapatkan kompensasi finansial berupa gaji dan tunjangan yang sesuai standar.Variabel kesejahteraan/kompensasi dengan koefisien beta sebesar 0,226 berpengaruh signifikan terhadap profesionalisme guru. Hal ini terbukti dari nilai t-hitung = 2,420 dan p-value = 0,017 (p<0,05), maka secara statistik koefisien regresi dari kesejahteraan/kompensasi terhadap profesionalisme guru adalah signifikan. Peranan kesejahteraan/kompensasi bagi guru akan menjadi faktor pendorong meningkatnya profesionalisme guru. Temuan penelitian tersebut sejalan dengan pendapat Surya (2001) bahwa profesionalisme dan profesionalitas guru erat kaitannya dengan kesejahteraan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kesejahteraan guru berupa hak guru, yaitu: a) penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum, b) tunjangan yang melekat pada gaji, c) tunjangan profesi, d) tunjangan fungsional, e) tunjangan khusus, f) maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru. Kesejahteraan
34

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

merupakan hal yang penting dalam meningkatkan profesionalisme guru, Rivai dan Murni (2009:898) juga menyatakan bahwa kesadaran baru guru dan kesadaran baru para pengelola kebijakan pemerintah akan membantu untuk terus mengembangkan dunia pendidikan di Indonesia ke depan. SIMPULAN Susunan komposisi faktor-faktor yang secara signinfikan mempengaruhi profesionalisme guru SD daerah terpencil daratan pedalaman kabupaten Gunung Mas provinsi Kalimantan Tengah adalah: 1) Training/pelatihan, 2) Kualifikasi Akademik, 3) Kepemimpinan Kepala Sekolah, dan 4) Kesejahteraan/kompensasi. Sementara 3 (tiga) faktor lainnya yaitu supervisi akademik, motivasi dan kegiatan KKG/MPMP berdasarkan hasil analisis data tidak signifikan memberikan kontribusi terhadap profesionalisme guru SD daerah terpencil daratan pedalaman kabupaten Gunung Mas provinsi Kalimantan Tengah. Beberapa hal yang menyebabkan faktor-faktor tersebut tidak signifikan memberikan pengaruh terhadap profesionalisme guru SD daerah terpencil daratan pedalaman provinsi Kalimantan Tengah, yaitu: 1) supervisi akademik: a) selama ini supervisi akademik belum dilaksanakan secara terprogram dan berkelanjutan; b) supervisi akademik belum terjadwal dengan pasti; c) supervisi akademik dilaksanakan hanya pada saat ada acara tertentu, dan d) supervisi akademik dilaksanakan hanya supervisi administrasinya saja tanpa kepala sekolah hadir dalam kelas atau lapangan; 2) motivasi: a) belum efektifnya bentuk-bentuk penghargaan yang diberikan oleh pimpinan/kepala sekolah sebagi bentuk apresiasi atas pelaksanaan tugas guru, b) belum idealnya kelengkapan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran yang tersedia disekolah, c) belum jelasnya target dan capaian yang harus dilaksanakan guru dalam pelaksanaan tugas sehari-hari karena kurangnya pembinaan dari kepala sekolah dan pengawas, dan d) sistem penggajian yang belum efektif karena lokasi pengambilannya jauh berada di kecamatan lain; dan d) KKG/MGMP: kegiatan KKG/MGMP belum dilaksanakan secara efektif dimana program kegiatan belum didasarkan pada kebutuhan guru dan belum terjadwal secara rutin, belum efektifnya tenaga pengembang yang memandu kegiatan tersebut, minimnya sarana dan prasarana penunjang pelaksanaan KKG/MGMP. Faktor yang paling mempengaruhi atau menjadi faktor penentu profesionalisme guru SD daerah terpencil daratan pedalaman kabupaten Gunung Mas provinsi Kalimantan Tengah adalah faktor Training/pelatihan, dimana hal itu ditunjukkan dalam nilai thitung sebesar 2,820 dan nilai koefisien regresi (B) sebesar 0,317 dengan probabilitas = 0,006 (p<0,05).

35

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

DAFTAR RUJUKAN Bafadal, I. 2003. Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar: Dalam Rangka Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara. Coleman, J. 1996. Equality of Educational Opportunity. Washington DC: US Government Printing Office. Dale, M. 2003. Developing Management Skills, The Art of HRD. Jakarta: Gramedia Gaffar, F. M. 1987. Perencanaan Pendidikan: Teori dan Metodologi. Jakarta: Depdikbud Goleman, D. 2000. Working With Emotional Intellegencies. Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama. Gujarati, D., 1995,Basic Econometrics, 3th Ed., Mc-Grawhill, New York. Howley, A. A., & Howley, C. B. 2000. The Transformative Challenge of Rural Context. Educational Foundations, 14 (4), 73-85. Howley, A. A., & Howley, C. B. 2000. The Transformative Challenge of Rural Context. (Educational Foundations)14 (4), 73-85. Khan, M. N. 2011. Needs Assesment of University Teachers for Professional Enhancement. International Journal Bussiness and Management. Vol.6 No.2. (http://www.ccsenet.org/ijbm) Diakses tanggal 26 Mei 2013. Laporan Tahunan Dinas Pendidikan Kabupaten Gunung Mas. 2010. Lynch, K. 2000. Research and Theory on Equality in Education. in M. Hallinan, ed., Handbook of Sociology of Education. New York: Plenum Press. Manulang, M. 2012. Otonomi Pendidikan. (http://pakguruonline. Pendidikan .net//otonomi_pendidikan.html.) Diakses tanggal 10 januari 2012. Mulyasa, E. 2012. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosda Karya. Muslikah, D. 2011. Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah Terhadap Kompetensi Profesional Guru di SMA Negeri 1 Karangayung-grobogan. Tesis. Tidak Dipublikasikan. Program Pasca Sarjana. Universitas Negeri Semarang. Rivai, V., & Murni, S. 2009. Education and Management. Jakarta: Rajawali Pers. Sagala, S. 2010. Supervisi untuk Profesionalisme Guru. Bandung. Alfabeta. Saud, U. S. 2008. Pengembangan Profesi Guru SD/MI. Bandung: Alfabeta. Shapero, A. 1985. Managing Professional People Understanding Creative Performance. New York: The Free Press, a Division of Macmillan, Inc. Surya, M. 2001. Profesionalisme dan Kesejahteraan Guru. Majalah Gerbang Edisi 3 Tahun I. Villegas-Reimers, E. 2003. Teacher Professional Development: an International Review of the Literature. Paris: UNESCO. International Institute for Educational Planning. Windham, D. M. 1988. Improving the Efeciency and Educational System: Indicator of Educational Efectiveness and Efeciency. New York: State University of New York at Albany Yukl, G. 2001. Leadership in Organization terjemahan Budi Supriyanto.2010. Jakarta: Indek.
36

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Peningkatan Prestasi Belajar Apresiasi Sastra melalui Strategi Presentasi pada Siswa Kelas XII IPA.1 SMAN 1 Bondowoso
Jarimin4 Abstrak: This study aims to determine the improvement of student achievement in teaching literature appreciation in SMAN 1 Bondowoso. The focus of this research is the tendency of a failure to understand the activities and presentation results of reading literary texts. The ability of students in confirming a variety of learning outcomes tends to be low. This study consisted of two cycles, with the procedure (1) Planning, (2) Implementation of the action, (3) Observation, (4) Reflection. The results of this study indicate that the use of presentation strategies improve student achievement in teaching literature appreciation in SMAN 1 Bondowoso. Kata kunci: Prestasi Belajar, Strategi Presentasi.

Pembelajaran keterampilan berbahasa bagi siswa sangat penting dalam berbagai sisi kehidupan. Siswa yang terampil berbahasa lebih mudah menyesuaikan diri dan bahkan dapat mengambil peran dalam berbagai kegiatan. Keterampilan berbahasa yang dimiliki oleh siswa sangat membantu keberhasilannya di masa depan. Dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, siswa sering menemui kegagalan dalam aspek keterampilan membaca. Siswa selalu tidak berhasil memahami isi bacaan tertentu, lebih-lebih memproduksi hasil membaca dalam bentuk tuturan lisan serta tidak berhasil menerapkan keterpaduan keterampilan membaca dan berbicara. Penyebabnya adalah: (1) siswa kurang terbiasa berbicara dalam situasi formal; (2) siswa belum mempunyai konsep, ide, atau pesan yang akan disampaikan. Atau, ide yang sudah disiapkan selalu hilang ketika sudah berada pada posisi siap berbicara di forum resmi atau formal; (3) ide yang akan disampaikan belum ditata secara sistematis; (4) proses pembelajaran yang dilakukan selama ini tidak tercipta dalam kondisi yang menarik, menyenangkan, dan menantang. Menyikapi kondisi tersebut diyakini bahwa pembelajaran keterampilan membaca harus dilaksanakan dengan menggunakan metode dan strategi yang

Drs. Jarimin, M.Pd. adalah Guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Bondowoso, Jalan Curahdami 1294 Bondowoso Telepon 0332-421542 Kode Pos 68214 37

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

menggunakan prinsip pakem, yakni pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan. Salah satu strategi yang dapat dipakai adalah strategi presentasi. Berkaitan dengan kompetensi dasar (apresiasi sastra) khususnya menjelaskan unsur intrinsik cerpen siswa kelas XII IPA.1 SMA Negeri 1 Bondowoso tahun pelajaran 2012/2013 hanya 30% yang mampu mencapai kompetensi tersebut, sedangkan 70% belum berkemampuan menjelaskannya di forum resmi di dalam kelas. Siswa kurang percaya diri, kurang terampil dan kurang terbiasa. Mereka cenderung kehabisan akal dalam berbicara di forum diskusi kelas. Hal itulah yang akan diatasi dengan pembelajaran menggunakan strategi presentasi. Rumusan masalah penelitian ini adalah: bagaimanakah peningkatan prestasi belajar apresiasi sastra dengan menggunakan strategi presentasi pada siswa kelas XII IPA.1 SMA Negeri 1 Bondowoso semester gasal tahun pelajaran 2012/2013? Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar apresiasi sastra dengan menggunakan strategi presentasi pada siswa kelas XII IPA.1 SMA Negeri 1 Bondowoso semester gasal tahun pelajaran 2012/2013. Strategi Presentasi dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), kata strategi berarti rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Strategi presentasi adalah prosedur yang dipakai dalam belajar untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan proses menyiapkan bahan presentasi dan mempresentasikan bahan tersebut untuk menjelaskan suatu kajian di forum diskusi kelas. Dalam strategi ini terdapat aktivitas siswa menyiapkan bahan presentasi untuk menjelaskan konsep tertentu dari hasil membaca. Bahan presentasi ini, di antaranya adalah kertas kecil berisi catatan hasil membaca, naskah utuh atau lengkap yang siap dibacakan, dan tampilan power point. Menata bahan yang akan dan mengemas bahan presentasi menjadi tampilan yang menarik, mudah disampaikan, dan mudah dipahami oleh pihak lain. Pembelajaran melalui strategi presentasi ini dilakukan melalui diskusi kelompok dan atau diskusi kelas. Siswa dalam kelas dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok siap memprestasikan hasil membaca dan juga siap merespon presentasi kelompok lain. Ketika siswa menyiapkan presentasinya dalam bentuk power point, maka di dalam kelas harus tersedia LCD projector dan komputer/laptop dan meja kursi pendukung kegiatan presentasi. Apresiasi Karya Sastra Santoso, dkk, (2008) memaparkan bahwa konsep apresiasi karya sastra adalah: 1) Penghargaan terhadap karya sastra yang didasarkan pada pemahaman isi sebuah karya sastra. 2) Penghargaan atas karya sastra sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan penikmatan yang didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. 3) Kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra.
38

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Kegiatan apresiasi sastra menurut Rosdiana, dkk, (2009: 5.10) meliputi: 1) kegiatan apresiasi langsung, 2) kegiatan apresiasi tidak langsung, 3) pendokumentasian karya sastra, dan 4) kegiatan kreatif sastra. Kegiatan apresiasi langsung adalah kegiatan membaca karya sastra, kegiatan mendengarkan pembacaan karya sastra, dan kegiatan menonton pertunjukkan atau pentas sastra. Kegiatan apresiasi tidak langsung adalah kegiatan mempelajari teori sastra, mempelajarai sejarah sastra, mempelajari kritik sastra. Untuk memperdalam pemahaman konsep apresiasi sastra, seseorang perlu banyak membaca karya sastra dan mendiskusikan berbagai hal yang berkaitan dengan karya sastra tersebut. Dalam mengapresiasi cerpen misalnya, seorang siswa perlu tahu tentang unsur-unsur intrinsik cerpen tersebut dan menjelaskan unsur intrinsik dari pembacaan cerpen tersebut. METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian tindakan kelas menggunakan Model Kurt Lewin (Depdikbud, 1999: 20), dengan langkah penelitian yaitu: a) perencanaan (planning), b) tindakan (acting), c) pengamatan (observing), dan d) refleksi (reflecting). Pembelajaran ini menggunakan strategi presentasi dalam mencapai kompetensi dasar menjelaskan unsur intrinsik cerpen dan menjelaskan unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel di forum kelas dalam bentuk komunikasi diskusi kelompok dan diskusi kelas pada siswa kelas XII IPA.1 SMA Negeri 1 Bondowoso tahun pelajaran 2012/2013. Lokasi penelitian ini adalah kelas XII IPA.1 SMA Negeri 1 Bondowoso tahun pelajaran 2012/2013 dengan jumlah 41 siswa. Data pada penelitian ini dikumpulkan melalui catatan observasi, dokumentasi, dan hasil evaluasi belajar. Catatan observasi dimanfaatkan untuk mengetahui keterampilan presentasi dalam pembelajaran membaca pada kompetensi dasar menjelaskan unsur intrinsik cerpen dan unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel. Mulai dari tahap prapresentasi, tahap presentasi, dan tahap pascapresentasi. Sedangkan evaluasi dilakukan untuk mengukur prestasi belajar siswa dalam menjelaskan unsur intrinsik cerpen dan proses pembelajarannya. Hal yang diobservasi dan dievaluasi ini meliputi persiapan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan hasil pembelajaran. Kemudian dilanjutkan dengan refleksi dampak pelaksanaan tindakan yang dilaksanakan, untuk perbaikan tindakan pada siklus berikutnya. Analisis Data Data hasil observasi dianalisis penulis dan kolaborator. Hasil itu kemudian ditafsirkan berdasarkan kajian pustaka dan pengalaman guru. Hasil belajar siswa dianalisis berdasarkan ketuntasan belajar siswa, yaitu 70 dan ketuntasan klasikal 80%. Keterampilan guru dalam menyajikan pembelajaran menggunakan strategi presentasi dan perhatian siswa dalam mengikuti pembelajaran akan dianalisis berdasarkan catatan hasil observasi, kemudian dianalisis untuk mengetahui efektivitas
39

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

tindakan. Sedangkan prestasi belajar siswa dievaluasi berdasarkan instrumen penilaian hasil belajar siswa. Instrumen untuk mengobservasi kegiatan guru dalam pembelajaran dirujuk dengan modifikasi rubrik Penilaian Kinerja Guru (diambilkan dari Buku 2 Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Guru oleh Dasuki, dkk. 2011). Indikator Kinerja Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam bentuk siklus. Jumlah siklus yang akan dilaksanakan bergantung pada keberhasilan penerapan strategi presentasi dalam pembelajaran menjelaskan unsur intrinsik cerpen dan menjelaskan unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel. Penelitian ini akan dihentikan jika prestasi belajar siswa minimal telah mencapai KKM individual yaitu 70 dan 80% ketuntasan klasikal, dan sebaliknya. Pelaksanaan Penelitian Tahapan penelitian ini meliputi 1) Guru melaksanakan pembelajaran kompetensi dasar menjelaskan unsur intrinsik cerpen dengan strategi presentasi; 2) Guru bersama kolaborator mengamati pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pedoman format atau lembar instrumen penilaian kegiatan guru dan siswa; 3) Guru dan siswa mengevaluasi hasil pembelajaran menjelaskan unsur intrinsik cerpen dan mendengarkan pembacaan penggalan novel. Kegiatan inti pembelajaran terbagi menjadi tiga tahapan, yakni tahap prapresentasi, tahap presentasi, dan tahap pascapresentasi. Waktu pembelajaran ini selama 4 jam pelajaran dengan alokasi waktu 45 menit/jam, dibagi menjadi dua kali pertemuan. Fokus tindakan pada penelitian ini terarah pada penerapan strategi presentasi dalam pembelajaran menjelaskan unsur intrinsik cerpen dan menjelaskan unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel. Tahap pascapresentasi ini mencakup aktivitas merevisi dan mengedit bahan presentasi yang sudah mendapatkan respon dari kelompok lain dan sudah difinalisasi oleh guru. Jika sudah selesai melakukan aktivitas itu, siswa menyerahkan hasil revisi kepada guru. Penyerahan hasil kerja dapat dilakukan di luar jam pembelajaran. Karena setelah proses ini siswa harus mengikuti tes formatif sebagai upaya untuk mengukur pemahaman siswa terhadap kompetensi dasar yang dipelajari pada hari ini. Observasi atau pengamatan dilakukan terhadap proses pelaksanaan pembelajaran. Dalam melaksanakan pengamatan, peneliti melaksanakan perekaman berbagai data dan kendala yang dihadapi selama proses pembelajaran membaca dan berbicara dengan kompetensi dasar menjelaskan unsur intrinsik cerpen dan penggalan novel dengan strategi presentasi. Pengamatan dan perekaman itu dilakukan secara terusmenerus dengan menggunakan instrumen pengumpul data yang telah dibuat sebelumnya. Data tersebut selanjutnya dijadikan dasar untuk menyusun rencana pembelajaran pada tahap selanjutnya. Refleksi dilakukan setelah pelaksanaan pembelajaran berakhir. Dalam kegiatan ini guru dan kolaborator mendiskusikan tindakan yang telah dilakukan. Hal yang menjadi fokus pembicaraan di antaranya: 1) menganalisis tindakan yang baru
40

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

dilakukan, 2) mengulas dan menjelaskan rencana perbedaan rencana pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran, 3) melakukan interpretasi, pemaknaan, dan penyimpulan data yang diperoleh. Hasil refleksi dimanfaatkan sebagai masukan pada rencana pembelajaran selanjutnya dan landasan untuk menyempurnakan rencana pelaksanaan pembelajaran selanjutnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-Desember 2012. Tindakan siklus I dilaksanakan pada tanggal 8, 11, dan 15 Oktober 2012 sedangkan siklus II dilaksanakan pada tanggal 5, 8, 12 November 2012. Hasil Penelitian Siklus I Berdasarkan data hasil belajar menjelaskan unsur intrinsik cerpen dalam kegiatan pembelajaran pada siklus I, dari 39 siswa, terdapat 12 siswa belum tuntas (69,3%) dan 27 siswa dinyatakan tuntas (30,7%). Keadaan yang seperti ini berarti strategi presentasi pada pembelajaran kali ini belum berhasil. Berdasarkan catatan aktivitas siswa baik kelompok maupun individu dalam pembelajaran diperoleh informasi bahwa partisipasi siswa dalam pembelajaran sudah sangat baik. Tugas-tugas juga sudah dikerjakan melalui proses pembelajaran yang semestinya. Strategi ini sebenarnya juga mampu menjadikan siswa terampil menjelaskan unsur intrinsik cerpen di forum diskusi kelas. Siswa mampu menjawab dan menanya. Setidaknya siswa mampu menjawab beberapa pertanyaan yang muncul di forum diskusi kelas. Tetapi ketika sampai pada kegiatan mengerjakan soal secara individu, yakni soal tes formatif, tampak siswa secara klasikal belum berhasil. Menyikapi hasil pembelajaran di atas, dilakukan tindakan, yaitu meningkatkan perhatian guru kepada siswa. Tampaknya ketika menyelesaikan kerja kelompok ada beberapa siswa kurang maksimal dalam upaya mencapai indikator dan kompetensi dasar yang menjadi tujuan. Selanjutnya strategi presentasi disajikan dengan lebih memperhatikan kondisi individual siswa. Perlu dilakukan kegiatan yang bersifat individual agar perhatian siswa terhadap tanggung jawab mencapai kompetensi dasar dan indikator menjadi lebih baik pada masing-masing siswa. Walaupun demikian kegiatan diskusi kelompok dan klasikal juga masih perlu dilakukan agar proses pembelajaran mampu menumbuhkan motivasi belajar siswa secara klasikal. Karena indikator keberhasilan belum tercapai, maka kegiatan penelitian dilanjutkan ke siklus II. Siklus II Proses pembelajaran pada siklus II, yaitu pembelajaran kompetensi dasar menjelaskan unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel. Guru menyesuaikan dengan kondisi dan situasi kelas. Semua anggota kelas termasuk guru aktif dalam kegiatan pembelajaran ini. Siswa memperhatikan pembacaan penggalan novel Burung-Burung Manyar karya YB Mangun Wijaya, tepatnya pada sub -bab Anak
41

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Kolong. Guru yang membacakan sebagian penggalan novel tersebut. Tampaknya siswa juga sudah membaca penggalan novel itu dan sudah menganalisis unsur intrinsiknya. Berdasarkan catatan hasil observasi selama pembelajaran pada kegiatan siklus II ini dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa sangat baik. Proses penyelesaian tugas individu, diskusi kelompok, dan diskusi kelas berjalan sangat baik. Motivasi belajar siswa sangat tinggi. Hal ini disebabkan adanya motivasi agar siswa tuntas dalam pembelajaran ini dan mereka diberi tugas secara individu dalam proses kerja berkelompok. Siswa yang sudah dapat mengerjakan tugasnya secara individu sebanyak 34 siswa, sementara itu 5 siswa belum mengerjakan tugas. Hal itu berarti ada 87% siswa mengerjakan tugas individunya dan 13% siswa tidak mengerjakan tugas invidunya (dengan berbagai alasan). Data prestasi belajar siswa dalam kegiatan pembelajaran pada siklus II, dari 40 siswa, 7 siswa tidak tuntas (17,5%) dan jumlah siswa yang tuntas (mencapai standar ketuntasan belajar minimal) sebanyak 33 siswa (82,5%). Hasil ini dapat diartikan bahwa strategi presentasi dapat dipakai untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran menjelaskan unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel. Karena prestasi belajar pada siklus II sudah memenuhi indikator kinerja yang ditetapkan yakni 80% siswa dalam kelas sudah mencapai KKM sebesar 70, maka penelitian diakhiri. PEMBAHASAN Pembahasan hasil penelitian ini mengacu pada tahap-tahap pembelajaran kompetensi dasar menjelaskan unsur intrinsik cerpen dan kompetensi dasar menjelaskan unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel. Pembelajaran kedua kompetensi dasar ini dilaksanakan dalam dua kali pertemuan dalam setiap siklus. Sebelum diuraikan kedua tahap pembelajaran kompetensi dasar tersebut, terlebih dahulu dikemukakan perencanaan tindakan. Perencanaan tindakan yang dibuat berupa rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Di samping itu, juga disiapkan beberapa instrumen penelitian dan instrumen evaluasi hasil belajar. Untuk mengamati kegiatan guru ini digunakan instrumen penilaian kinerja guru (diadaptasi dari pedoman penilaian kinerja guru yang buat oleh Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2011). Kegiatan pembelajaran kompetensi dasar ini menggunakan strategi presentasi. Pada proses pembelajaran tersebut yang terjadi adalah guru menyesuaikan diri dengan keadaan dan gaya belajar siswa. Faktanya ada siswa yang cepat tanggap dan mampu mencapai prestasi belajar yang baik, dan sebaliknya. Kondisi ini memperkuat pendapat bahwa guru harus menyesuaikan diri dengan gaya belajar siswanya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nurhadi, dkk. (2004: 73) bahwa guru dituntut menyesuaikan diri terhadap gaya belajar siswa-siswinya dan hal itu telah dilakukan oleh guru dalam pembelajaran kompetensi dasar ini. Dampaknya, kondisi kelas dapat kondusif, karena iklim belajar yang ada di kelas sangat menyenangkan. Hal ini pun sejalan dengan konsep Majid (2005: 165) yang menyatakan bahwa iklim belajar yang menyenangkan akan membangkitkan semangat dan menumbuhkan aktivitas serta kreativitas peserta didik.
42

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Berkaitan dengan keterampilan siswa dalam menjelaskan unsur intrinsik cerpen dan unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel memang benar bahwa semakin sering siswa melakukan hal itu akan semakin tampak keterampilan berbahasa lisan jenis itu. Semakin sering tampil dalam presentasi semakin terampil dalam mengkomunikasikan hasil belajar. Hal itu sejalan dengan pendapat Dawud, dkk (2004) bahwa pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebaiknya diisi oleh kegiatan melatih siswa membaca sebanyak-banyaknya, menulis sebanyak-banyaknya, berdiskusi sebanyak-banyaknya, dan mendengarkan sebanyak-banyaknya. Aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran ini sangat baik. Hal itu dapat dilihat dari data hasil penilaian kinerja guru. Pada siklus I diperoleh skor PKG 91,07 dan pada siklus II diperoleh skor PKG 91,07. Berdasarkan data itu dapat dipastikan bahwa aktivitas guru dan siswa sangat baik. Pada pembelajaran tersebut telah terjadi interaksi multi arah antara siswa, guru, dan lingkungan sebagai sumber belajar. Penilaian yang diterapkan pada pembelajaran kompetensi dasar menjelaskan unsur intrinsik cerpen dan unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel ini adalah penilaian proses dan penilaian hasil. Penilaian proses dilaksanakan selama proses pembelajaran dan penilaian hasil dilaksanakan pada akhir pembelajaran. Yang dinilai adalah prestasi belajar siswa, berupa hasil tes formatif.. Selama proses pembelajaran aktivitas siswa dinilai dengan mengamati aktivitas mereka. Produk dari pengamatan ini adalah adanya catatan-catatan guru tentang aktivitas siswa dan situasi kelas selama pembelajaran. Sementara aktivitas guru dalam pembelajaran juga dinilai berdasarkan instrumen penilaian kinerja guru. Selama proses pembelajaran kompetensi dasar menjelaskan unsur intrinsik cerpen dan unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel guru mengamati, memantau, mengoreksi, dan memberi penjelasan berkaitan dengan proses belajar siswa dan hasil kerja siswa. Penilaian yang dilakukan oleh guru selama proses ini dijadikan balikan oleh guru dalam meningkatkan kualitas hasil kerja mereka. Yang arahnya adalah pencapaian indikator pada kompetensi dasar pembelajaran ini. Dalam penilaian yang seperti itu, siswa belajar di bawah pantauan maksimal dari guru. Kesulitan belajar siswa segera dapat dideteksi dan dicarikan solusi. Dengan cara seperti itu siswa dapat belajar dalam situasi yang kondisif dan hal itu yang dapat meningkatkan motivasi siswa dalam meningkatkan kualitas belajar. Penilaian terhadap hasil kerja siswa dalam menjelaskan unsur intrinsik cerpen dan menjelaskan unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel dijadikan tolok ukur keberhasilan pembelajaran ini. Perolehan hasil belajar siswa dalam bentuk hasil penilaian dianggap sebagai prestasi belajar siswa dalam pembelajaran ini. Prestasi belajar ini cenderung baik karena tahapan belajar siswa dalam pembelajaran ini sudah dilakukan secara bertahap dengan mengerjakan tugas secara individu dan kelompok, presentasi dan menanggapi presentasi hasil kerja. Langkah pembelajaran ini sudah sesuai dengan prosedur penerapan strategi presentasi yang sudah diuraikan di bab terdahulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa pada pembelajaran kompetensi dasar menjelaskan unsur intrinsik cerpen dan pembacaan penggalan novel ada peningkatan. Berarti pembelajaran dengan menggunakan strategi presentasi dalam
43

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

konteks penelitian ini ada kecocokannya sehingga hasilnya memuaskan. Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan adanya harapan untuk dapat meningkatan prestasi belajar siswa pada kajian yang sifatnya menjelaskan hasil belajar dari pengalaman belajar. Hasil penelian ini seperti yang terlihat pada hasil prestasi belajar di atas menunjukkan ada peningkatan. Pada siklus I siswa yang tuntas mengikuti pembelajaran mencapai 69,3%. Pada siklus II siswa yang tuntas mengikuti pembelajaran mencapai 82,5%. Berarti ada peningkatan prestasi belajar yang memuaskan. KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan dari penelitian ini adalah strategi presentasi dalam pembelajaran apresiasi sastra, khususnya pembelajaran kompetensi dasar menjelaskan unsur intrinsik cerpen dan unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas XII IPA.1 SMA Negeri 1 Bondowoso semester gasal tahun pelajaran 2012/2013. Aktivitas siswa pada tahap prapresentasi, tahap presentasi, dan tahap pascapresentasi menunjukkan adanya motivasi belajar yang tinggi. Aktivitas ini dapat meningkatkan keterampilan dan kemampuan berbahasa siswa, yang selanjutnya dapat meningkatkan prestasi belajar mereka. Peningkatan prestasi tersebut dapat terjadi karena strategi presentasi menjadi kerangka kerja siswa dan hasil kerja individu dan kerja kelompok dipresentasikan di forum diskusi kelas. Variasi kegiatan pembelajaran ini menimbulkan motivasi belajar siswa yang berdampak pada peningkatan prestasi belajar siswa. Saran yang dapat dikemukan berkaitan dengan hasil penelitian ini adalah diharapkan kepada guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, khususnya di SMA Negeri 1 Bondowoso agar memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai salah satu strategi pembelajaran menumbuhkan keterampilan berbahasa, khususnya yang bersifat produktif lisan. Kepada peneliti lain yang akan melaksanakan penelitian serupa dengan konteks yang berbeda, disarankan agar melakukan penelitian penggunaan strategi presentasi dalam pembelajaran keterampilan berbahasa yang berkaitan dengan berbagai kompetensi dasar yang relevan.

DAFTAR RUJUKAN Arend, Ricard I. 2007. Learning to Teach. Terjemahan oleh Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini, 2008. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Asrori, Muhammad. 2007. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima. Dasuki, Achmad, dkk. 2011. Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Guru (PK Guru) Buku 2. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar. Dawud, dkk. 2004. Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga.
44

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Depdiknas. 2005. Panduan Materi Ujian Nasional Bahasa Indonesia Tahun Pelajaran 2004/2005. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999, Penelian Tindakan (Action Research). Jakarta: Depdikbud. Hasyim, Wahid. 2012. Strategi Presentasi dan Kalimat Hasil Belajar dalam Pembelajaran Sejarah (Laporan Hasil Penelitian). Majid, Abdul, 2005. Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Maulana, Maya Wardah. 2008. Skripsi: Penerapan Pakem dengan Metode Diskusi Presentasi Menggunakan Media Kartu Kerja (Work Card) pada Pembelajaran Ipa untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa Kelas VI B di SD Negeri Banjararum 1 Singosari. Malang: Program Studi Pendidikan Biologi. Nurhadi, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi. Jakarta: Depdikanas. Rosdiana, Yusi, dkk. 2009. Bahasa dan Sastra Indonesia di SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Santoso, Puji, dkk. 2008. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta: Universitas terbuka. Solchan T.W. dkk. 2009. Pendidikan Bahasa Indonesia di SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Sumanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Suparno. 2002. Keterampilan Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka

45

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Integrasi Model Permainan Dalam Mewujudkan Pembelajaran I2M3


Rida Syamsiah5

Abstract: The learning process mandated by the National Standard should

be done interactively, inspiring, exciting, challenging and also motivating. One of the very effective and efficient solution is integratinggame in learning process. There are many models of the game, such as exploration, energetic, skills, social, imagination, and puzzle. The teacher improve the game model based on the characteristic of the subject, students and surroundings. This integrated game hope be able to develop students capability based on the national education goals. Kata Kunci: permainan, pembelajaran I2M3

Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 19 ayat 1 mengamanatkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai bakat minat dan perkembangan fisik serta psikologi peserta didik. Dengan demikian pencapaian tujuan pendidikan sebagian besar ditentukan oleh keberhasilan proses pembelajaran di kelas. Proses pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memotivasi peserta didik (I2M3) merupakan tugas, tanggungjawab dan wewenang seorang guru sebagai tenaga profesional. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, guru sebagai pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, serta melakukan pembimbingan dan pelatihan. Terdapat dua komponen penting dalam proses pembelajaran I2M3 yaitu pendidik dan peserta didik. Sosok pendidik (guru) merupakan komponen yang penting, sehingga keberadaannya tak tergantikan oleh siapapun atau apapun termasuk teknologi canggih, karena guru bertindak sebagai designer pembelajaran yang berkualitas. Proses pembelajaran yang berkualitas menuntut adanya interaksi edukatif antara pendidik dan
5

Rida Syamsiah, S.Pd, M.Pd. (e-mail:ridasyamsiah@yahoo.com) adalah guru SMP Negeri 3 Bondowoso, Jawa Timur. Peringkat I Jenjang SMP Lomba Forum Ilmiah Guru tingkat Nasional th. 2013 46

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

para peserta didik, antar sesama peserta didik dan peserta didik dengan sumber belajar. Interaksi yang didesain dengan baik dalam proses pembelajaran akan membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Namun tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak proses pembelajaran yang berlangsung hanya satu arah dengan guru sebagai sumber utamanya (teacher center) sehingga membuat peserta didik pasif, suasana kelas menjadi monoton dan menyebabkan mereka merasa bosan serta mengalami titik kejenuhan. Tanda-tanda peserta didik merasa jenuh, antara lain tidur pada saat pembelajaran berlangsung, tidak bertanya ketika diberi kesempatan bertanya, diam ketika diberi pertanyaan oleh guru, berbicara sendiri saat guru menerangkan, dan bahkan ada yang melakukan kegiatan diluar kegiatan pembelajaran, misalnya bermain-main. Fakta yang dijumpai di lapangan, yaitu peserta didik membawa hand phone atau mainan tertentu ke dalam kelas seperti domino, catur mini, ular tangga dan lain-lain. Ada pula yang merancang permainan sendiri, misalnya meja tulis digambar kotak-kotak menggunakan kapur tulis kemudian di atasnya disediakan 2 batu. Kondisi ini tentu akan sangat mengganggu proses dan pencapaian tujuan pembelajaran. Hal lain yang memprihatikan adalah tatkala peserta didik bersorak kegirangan mendengar bel tanda akhir pelajaran, seolah ingin menunjukkan kegembiraannya terlepas dari beban pembelajaran, seakan keluar dari penjara. Pembelajaran hanya dianggap sebuah kekangan bagai di penjara. Mari kita perhatikan seorang anak yang bermain game. Begitu asyiknya kegiatan yang dilakukan, sehingga mereka merasa waktu seolah berlalu dengan sangat cepat dan enggan untuk mengakhiri. Bahkan ia termotivasi untuk main lagi dan lagi. Akankah peserta didik kita merasakan hal yang sama saat mereka dibawa dalam sebuah pembelajaran? Upaya apa yang dapat kita lakukan, agar tercipta pembelajaran yang diminati, sehingga kehadiran guru ditunggu-tunggu oleh peserta didik? Bertolak dari fenomena ini tampak bahwa peserta didik cenderung lebih tertarik bermain daripada belajar. Menurut mereka, bermain itu menyenangkan dan belajar itu menjemukan!. Mereka tidak merasa terpaksa untuk bermain, karena mereka akan memperoleh kesenangan, kenikmatan, informasi, pengetahuan, imajinasi dan motivasi bersosialisasi. Perlu dirancang sebuah pembelajaran yang diminati peserta didik, sehingga mereka tidak merasa terpaksa belajar. Salah satu solusi yang dipandang efektif dan efisien untuk mengatasi permasalahan sekaligus mengimplementasikan peraturan pemerintah tentang standar proses pembelajaran adalah dengan mengintegrasikan permainan ke dalam pembelajaran. Menurut Simon (2007) bermain memiliki fungsi yang sangat luas, antara lain dapat mengembangkan fisik, motorik, sosial, emosi, kognitif, daya cipta (kreativitas), bahasa, perilaku, ketajaman penginderaan, melepaskan ketegangan, dan terapi bagi fisik, mental ataupun ganguan perkembangan lainnya. Dengan demikian permainan adalah sesuatu yang penting bagi perkembangan anak, sekaligus disukai anak. Tulisan ini bertujuan membahas upaya mewujudkan pembelajaran berbasis I2M3 melalui pengintegrasian permainan dalam pembelajaran.

47

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

PEMBAHASAN Pengertian Bermain Pengertian bermain menurut para ahli antara lain: (1) Moyles (1991) menyatakan bahwa bermain merupakan proses pembelajaran yang melibatkan pikiran, persepsi, konsep, kemahiran sosial dan fisik. Oleh karenanya bermain diperlukan oleh anak-anak maupun orang dewasa; (2) Mayke (1995) menuturkan bahwa permainan ada dua pengertian, yakni (a) sebuah aktivitas bermain yang murni mencari kesenangan tanpa mencari menang atau kalah, (b) sebuah aktivitas yang dilakukan dalam rangka mencari kesenangan dan kepuasan, namun ditandai pencarian menang-kalah; (3) Simon (2007) mengemukakan bahwa bermain adalah pemicu kreativitas, anak yang banyak bermain akan meningkat kreativitasnya; (4) Tokoh pendidikan seperti Plato, Aristoteles, Frobel, Hurlock dan Spencer (dalam Satya, 2006) mengemukakan bahwa bermain adalah suatu upaya anak untuk mencari kepuasan, melarikan diri ke alam fantasi dengan melepaskan segala keinginannya yang tidak tersalurkan. Bermain adalah kegiatan yang dilakukan untuk menyalurkan energi yang berlebihan serta menghindarkan dari hal-hal negatif yang diakibatkan dari tenaga yang berlebihan, misalnya timbulnya perkelahian antar pelajar. Singkatnya, bermain adalah suatu kegiatan yang penting bagi perkembangan peserta didik, terjadi secara alamiah dan memberi peluang peserta didik belajar dalam suasana yang menyenangkan, tidak begitu formal, dan bebas. Melalui bermain peserta didik akan mendapat pengalaman langsung yang dapat memicu kreativitas serta daya fikirnya secara optimal tanpa merasa dipaksa untuk melakukannya. Macam-Macam Permainan Simon (2007) menyatakan ada enam model permainan yang disusun dan dilaksanakan berdasarkan pendekatan DAP (Developmentally Appropiate Practice) yakni: (a) permainan eksplorasi (exploratory play), yaitu permainan yang bertujuan mengajak peserta didik agar mampu dan sanggup menjelajahi dan merinci lingkungan sekitar sesuai dengan karakteristik diri pribadinya; (b) permainan energik (energic play), yaitu permainan yang melibatkan aktivitas tubuh untuk bergerak; (c) permainan kemahiran (skillfull play), yaitu permainan yang membutuhkan keahlian tertentu untuk memainkannya; (d) permainan sosial (social play), yaitu permainan yang mampu mengembangkan aspek sosial; (e) permainan imajinatif (imaginative play), yaitu permainan yang mampu mengembangkan imajinasi anak; serta (f) permainan puzzle (puzzle it out play), yaitu permainan berupa teka-teki yang dimainkan dengan cara bongkar pasang, kemudian menyusun kembali sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin di capai. Gambar 1 memperlihatkan contoh permainan puzzle.

48

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Gambar 1. Permainan Puzzle Sementara itu Hurlock dalam Mayke (1995) mengkategorikan jenis permainan yaitu: (a) bermain aktif, yaitu kegiatan permainan yang banyak melibatkan aktivitas tubuh yang meliputi bermain konstruktif, penjelajahan (eksplorasi), permainan (games), dan olahraga (sport); (b) bermain pasif, yaitu kegiatan yang tidak terlalu banyak melibatkan aktivitas fisik, diantaranva membaca, menonton film, mendengarkan radio, mendengarkan musik, dan lain-lain; dan (c) bermain intelektual, yaitu kegiatan yang memerlukan pemikiran yang dalam dan konsentrasi yang terpusat, melibatkan proses intelektual, dan bersifat menyenangkan, misalnya bermain catur. Selain jenis permainan di atas, guru dapat berinovasi menciptakan model permainan sendiri dengan cara memodifikasi berbagai jenis permainan yang telah ada, baik permainan tradisional maupun modern yang sudah dikenal oleh peserta didik, misalnya permainan ular tangga, domino, monopoli dan lain-lain. Gambar 2 memperlihatkan contoh inovasi guru melalui permainan domino dan monopoli dalam pembelajaran IPA.

Gambar 2. Permainan domino dan Monopoli Model permainan seperti acara game/kuis di telivisi juga efektif diterapkan dalam kegiatan pembelajaran. Guru dapat berinovasi dengan mengintegrasikannya ke dalam pembelajaran, namun sebelumnya harus dipertimbangkan jenis permainan apa yang tepat, efektif dan efisien sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, tujuan pembelajaran dan materi yang akan diberikan, karakteristik peserta didik, yakni tingkat usianya serta kondisi dan situasi lingkungan (misalnya sarana dan prasarana, besar
49

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

kecilnya ruangan, dan hal-hal lainnya yang terkait dengan pembelajaran). Gambar 3 contoh permainan yang terinspirasi dari salah satu acara game di televisi.

Gambar 3. Permainan Kuis Tak Tik Boom Pentingnya Permainan dalam Pembelajaran Bermain kadang disamakan dengan istilah main-main yang lebih bernada sepele, tidak serius dan dianggap sebagai tindakan yang hanya dilakukan oleh anak kecil. Banyak orang yang beranggapan bahwa bermain dan belajar adalah sesuatu yang bertolak belakang, sehingga muncul anggapan bahwa Banyak bermain akan mengurangi waktu belajar. Padahal, banyak aspek yang terkandung dalam permainan terlebih permainan yang memiliki unsur pendidikan. Kegiatan bermain untuk setiap anak dapat memberi pelajaran atau pengalaman bagaimana beradaptasi, baik dengan lingkungan, orang lain, maupun dengan dirinya sendiri. Permainan bagi anak memiliki nilai dan ciri yang penting dalam kemajuan perkembangan kehidupan sehari-hari. John Dewey (1857-1952) yang dikenal sebagai bapak pendidikan di Amerika Serikat berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah memberikan kontribusi dalam perkembangan pribadi dan sosial seseorang, melalui pengalaman dan pemecahan masalah yang berlangsung secara reflektif. Untuk itu metode pengajaran di sekolah perlu dikembangkan dengan permainan, konstruksi, kontak langsung dengan alam, dan penggunaan sarana untuk ekspresi dan aktivitas diri peserta didik (Dewey, 1964). Dalam filsafat Yunani, permainan selalu terkandung dua unsur utama, yakni eros (rasa senang, gembira, bahagia) atau fun/pleasure dalam bahasa Inggris serta agon (perjuangan, semangat) atau struggle dan effort. Dalam konteks inilah akhirnya dapat terjalin pengalaman belajar berbagi, belajar mengantri atau bergiliran dan berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Jadi melalui permainan peserta didik dapat belajar bekerja sama dengan teman untuk mencapai tujuan tertentu (Rahmawati, 2009). Sementara itu Sadiman (2006) menyatakan, sebagai media pembelajaran, permainan mempunyai beberapa kelebihan, yaitu: (a) menyenangkan untuk dilakukan, sesuatu yang menghibur dan menarik; (b) memungkinkan adanya partisipasi aktif dari peserta didik untuk belajar; (c) memberikan umpan balik langsung; (d) memungkinkan peserta didik untuk memecahkan masalah-masalah yang nyata; (e) memberikan
50

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

pengalaman-pengalaman nyata dan dapat diulangi sebanyak yang dikehendaki, kesalahan-kesalahan operasional dapat diperbaiki; (f) membantu peserta didik meningkatkan kemampuan komunikatifnya; (g) membantu peserta didik yang sulit belajar dengan metode tradisional; (h) bersifat luwes, dapat dipakai untuk berbagai tujuan pendidikan; (i) permainan dapat dengan mudah dibuat dan diperbanyak. Melengkapi pendapat sebelumnya, Rebecca, Isbell dalam bukunya The Complete Learning Center Book Play is Childrens Work and Children Want to Playmenjelaskan bahwa dalam bermain, anak-anak mengembangkan keahlian memecahkan masalah, menggunakan bahasa untuk melakukan kegiatan, memperluas dan memperbaiki bahasa mereka sambil berbicara dengan anak lainnya, belajar tentang orang lain selain dirinya, mencoba berbagai peran dan menyesuaikan diri saat bekerjasama dengan orang lain. Bermain membentuk perkembangan anak pada semua bagian: intelektual, sosial, emosional dan fisik (Isbell dalam Satya, 2006). Berdasarkan pendapat di atas jelaslah betapa pentingnya permainan bagi perkembangan peserta didik, karenanya perlu diintegrasikan dalam pembelajaran. Melalui permainan peserta didik dapat mengekspresikan diri, melatih spontanitas, belajar menjadi pribadi yang siap melewati sportivitas persaingan, siap menerima kemenangan sekaligus siap menerima kekalahan, serta sebagai aktualisasi diri. Jadi permainan itu sebenarnya bersifat mendewasakan. Dengan bermain, seseorang belajar banyak tentang kehidupan baik itu belajar kemandirian, keberanian, sosialisasi, kepemimpinan dan menyadari arti akan eksistensi dirinya. Pembelajaran I2M3 Pembelajaran I2M3 adalah pembelajaran yang berlangsung secara Interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memotivasi. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran I2M3 harus memenuhi sejumlah prinsip, antara lain: 1) Interaktif yang diartikan bersifat saling melakukan aksi; antar-hubungan; saling aktif. Jika di tarik dalam konsep pembelajaran maka guru dan murid adalah Knowledge builder (pembangun pengetahuan), bukan sekedar knowledge provider (penyedia pengetahuan) dan knowledge acquisitor (penerima pengetahuan). Jadi pembelajaran yang interaktif adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menjalin kerjasama yang bermakna serta adanya hubungan timbal balik dengan teman dan guru. 2) Inspiratif, yaitu pembelajaran yang mendorong semangat belajar dan memicu peserta didik untuk mencaritemukan hal-hal yang baru dan inovatif serta memunculkan gagasan baru. Proses pembelajaran mampu memberikan energi yang kreatif sehingga membangun suasana yang produktif. Dalam hal ini guru bertindak sebagai inspirator dengan menghadirkan pembelajaran inovatif yang mampu menginspirasi peserta didik. 3) Menyenangkan, pembelajaran yang memungkinkan peserta didik berada dalam suasana tanpa tekanan, bebas, nyaman, asyik, terlibat secara psikis dan fisik sehingga peserta didik merasa betah dalam mengikuti pembelajaran. Proses pembelajaran berpatokan pada Learning is fun, 4) Menantang, yaitu pembelajaran yang membawa peserta didik pada masalah, kemungkinan-kemungkinan baru, persoalan-persoalan dilematis, dan paradoks sesuai dengan tingkat usianya.
51

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Peserta didik diharapkan mampu untuk memecahkan/menyelesaikan masalah, melakukan percobaan untuk menjawab keingintahuannya, dan tidak mudah menyerah. 5) Memotivasi peserta didik/peserta didik untuk berpartisipasi aktif , yaitu pembelajaran yang mendorong dan memberi semangat pada peserta didik untuk mencapai prestasi, berani mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri, dan berkompetisi, hal ini terlihat dari keterlibatan peserta didik dalam setiap peristiwa belajar yang sedang dilakukan, misalnya aktif bertanya, mengerjakan tugas, dan aktif berdiskusi. Mengintegrasikan Permainan dalam Pembelajaran I2M3 Penerapan strategi pembelajaran yang berbeda dari biasanya menyebabkan ketertarikan peserta didik terhadap kegiatan pembelajaran menjadi meningkat. Oleh karena itu salah satu keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh kemampuan guru menentukan jenis strategi, metode dan media yang tepat, sesuai dengan tujuan dan bahan pelajaran yang akan diajarkan. Pengintegrasian permainan dalam pembelajaran, berarti seorang guru harus mampu menciptakan dan mempertahankan suasana gembira dan senang dalam belajar, namun semangat juang tetap terjaga, sehingga para peserta didik menikmati kegiatan belajar serasa sedang bermain. Suasana pembelajaran yang menyenangkan akan berpengaruh sangat besar bagi keberhasilan sebuah proses pembelajaran. Pengintegrasian permainan dalam pembelajaran I2M3 diawali dengan pembuatan perencanaan berupa silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Melalui kegiatan ini dapat dikembangkan RPP yang inovatif dan variatif secara lengkap dan sistematis sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan pembelajaran. Sesuai standar proses pelaksanaan pembelajaran I2M3, meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Kegiatan Pendahuluan Kegiatan pendahuluan bertujuan untuk menciptakan suasana awal pembelajaran yang efektif yang memungkinkan peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Pada tahap ini guru melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran; (2) mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari; (3) mengarahkan peserta didik kepada suatu permasalahan misalnya dengan menunjukkan fenomena atau kejadian yang menarik untuk menggugah motivasi belajar peserta didik, kemudian menjelaskan tugas yang akan dilakukan untuk mempelajari suatu materi dan menjelaskan tujuan pembelajaran atau KD yang akan dicapai; dan (4) menyampaikan garis besar cakupan materi dan
52

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

penjelasan tentang kegiatan yang akan dilakukan peserta didik untuk menyelesaikan permasalahan atau tugas. Kegiatan Inti Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan, yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif. Berikut adalah contoh aplikasi kegiatan belajar (learning event) dengan integrasi permainan bermain peran. Peserta didik dibagi dalam kelompok-kelompok belajar. Selanjutnya guru membuka secara luas dan bervariasi kesempatan kepada peserta didik untuk memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi pemeran. Jika para peserta didik tidak menyambut tawaran tersebut, guru dapat menunjuk salah seorang peserta didik yang pantas dan mampu memerankan posisi tertentu. Selanjutnya para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan berbicara secara spontan. Guru membantu peserta didik menyiapkan adegan-adegan dengan mengajukan pertanyaan, misalnya di mana pemeranan dilakukan, apakah tempat sudah dipersiapkan, dan sebagainya. Persiapan ini penting untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi seluruh peserta didik, dan mereka siap untuk memainkannya. Peserta didik melakukan kegiatan mengamati, menalar dan guru membuka kesempatan secara luas kepada peserta didik untuk bertanya mengenai apa yang akan mereka perankan, sehingga dikembangkan rasa ingin tahu peserta didik. Peserta didik yang tidak terlibat dalam peran tertentu bertindak sebagai pengamat. Agar pengamat merasa terlibat dalam cerita yang akan dimainkan, maka mereka perlu diberi tugas. Misalnya menilai apakah peran yang dimainkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya? Bagaimana keefektifan perilaku yang ditunjukkan pemeran? Apakah pemeran dapat menghayati peran yang dimainkan? Tahap selanjutnya adalah pemeranan, pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan peran masing-masing. Mereka berusaha memainkan setiap peran seperti benar-benar dialaminya. Pemeranan cukup dilakukan secara singkat, sesuai tingkat kesulitan dan kompleksitas masalah yang diperankan serta jumlah peserta didik yang dilibatkan, tak perlu memakan waktu yang terlalu lama. Adakalanya para peserta didik keasyikan bermain peran sehingga tanpa disadari telah memakan waktu yang terlampau lama. Maka guru perlu menilai kapan bermain peran dihentikan. Sebaiknya pemeranan dihentikan pada saat terjadinya pertentangan agar memunculkan permasalahan untuk didiskusikan. Tahap akhir adalah diskusi dan evaluasi pembelajaran, diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional maupun secara intelektual. Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para
53

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi. Diskusi mungkin dimulai dengan tafsirkan mengenai baik tidaknya peran yang dimainkan selanjutnya mengarah pada analisis terhadap peran yang ditampilkan, apakah cukup tepat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dengan kegiatan Bermain Peran ini seluruh peserta didik akan terlibat aktif dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan. Kegiatan Penutup Pada kegiatan ini guru bersama-sama peserta didik membuat rangkuman/ simpulan pelajaran, melakukan refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram, memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran, merencanakan kegiatan tindak lanjut dan menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. Berdasarkan uraian di atas semakin jelaslah bahwa pengintegrasian permainan sangat efektif untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Nilai-nilai yang terkandung dalam permainan dapat kita transfer dalam sebuah pembelajaran sehingga tercipta suasana pembelajaran yang menarik, interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif sesuai dengan proses pembelajaran yang diamanatkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Dari permainan, karakter peserta didik yang berkaitan dengan aspek kerjasama, diskusi, saling mengoreksi dan kemauan membantu teman, senang bersama susah bersama yang merupakan inti dari pembelajaran kooperatif, dapat berkembang. Melalui permainan akan tercipta partisipasi aktif peserta didik untuk belajar dan memberikan umpan balik langsung, sehingga proses belajar akan berlangsung sangat efektif dan percepatan belajar akan bisa dicapai. Menurut Riyanto (2008:53), jika peserta didik menghadapi tantangan dalam memperoleh, memproses dan mengolah setiap pesan yang ada dalam kegiatan pembelajaran, maka peserta didik akan lebih termotivasi untuk belajar. Pendapat ini diperkuat oleh Gordon (2004) dalam buku The Learning Revolution yang menyatakan bermain sambil belajar akan memberikan dua manfaat sekaligus, yaitu rasa senang (fun) serta kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. Sementara itu Peter Kline, dalam The Everyday Genius (1997) menyatakan bahwa proses belajar akan berlangsung sangat efektif apabila seseorang berada dalam keadaan fun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mengintegrasikan permainan sangat efektif untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, sehingga mampu meningkatkan proses, aktivitas dan prestasi belajar peserta didik.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Permainan sangat efektif dan efisein untuk mewujudkan proses pembelajaran berbasis I2M3. Permainan sangat disukai dan memberikan banyak manfaat bagi perkembangan fisik maupun psikologis peserta didik. Pengintegrasian model permainan perlu direncanakan secara lengkap dan sistematis dan diterapkan dalam kegiatan inti pelajaran. Pemilihan jenis permainan yang tepat, efektif dan efisien, harus
54

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

mempertimbangkan karakteristik mata pelajaran, karakteristik peserta didik, dan kondisi lingkungan. Penerapan permainan efektif mengatasi rendahnya kualitas proses pembelajaran dan mampu meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Selain itu melalui permainan, dapat disisipkan nilai-nilai karakter bangsa untuk menghasilkan peserta didik yang bermental kuat, kritis, kreatif dan cakap dalam menyongsong generasi emas Indonesia. Saran Disarankan kepada para guru untuk mendesain pembelajaran yang menarik, kreatif, inovatif dan menyenangkan dengan mengintegrasikan berbagai model permainan dalam pembelajaran.

DAFTAR RUJUKAN Dewey, John.1964. Democracy in Education. New York: The Macmillan Co. Dryden, Gordon. 2004. Revolusi Cara Belajar. Bandung: Kaifa. Mayke, Sugianto. 1995. Bermain, Mainan dan Permainan. Jakarta: Depdiknas. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19. 2005. Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Peter Kline.1997. The Everday Genius: Restoring Childrens Natural Joy Of Learning Paperback Published by Great River Books. Rahmawati, Indah. 9 Februari 2009. Media Permainan Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa, (Online), (http://suaraguru.wordpress.com/2009/02/09, diakses 2 Oktober 2012). Riyanto. Yatim. 2008. Paradigma Pembelajaran. Surabaya: University Press UNESA. Sadiman, Arief. 2006. Media Pendidikan Pengertian Pengembangan dan Pemanfaatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Simon, Rochdi. 2007. Model Permainan di Sekolah Dasar Berdasarkan Pendekatan DAP (Developmentally Appropiate Practice). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Satya, Wira Indra. 2006. Membangun Kebugaran Jasmani dan Kecerdasan Melalui Bermain. Jakarta: Depdiknas.

55

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Telaah Kritis Strategi Pemerintah Kabupaten Gorontalo dalam Mengelola Sumber Daya Guru Sekolah Dasar
Arifin Suking6

Abstrak: This study discusses policy strategies related to teacher management in the district of Gorontalo. Strategies used include; needs assessment of teachers, rolling teacher, multi-grade teaching and in-service training. The strategy is analyzed using a comparison-based approach to compare the advantages and disadvantages of each policy. The analysis showed that the rolling teacher as the best alternative to overcome the problems of planning, recruitment, distribution / placement and teachers coaching. To overcome the problem of managing resources of sustainable and consistent teachers, policy analysis results can be an option strategy for the local government of Gorontalo. Kata kunci: Stategi kebijakan, sumber daya, guru, kabupaten Gorontalo

Pengalaman semua bangsa di dunia, termasuk Indonesia menempatkan guru sebagai faktor utama dalam upaya peningkatan kualitas sistem pendidikan nasional melalui peran langsung di dalam proses pembelajaran. Dalam konteks ini guru bertindak sebagai ujung tombak dalam merealisasikan dan mengaktualisasikan pembelajaran, serta menghidupkan berbagai cita-cita dan gagasan-gagasan pendidikan ideal seperti yang tertuang dalam kurikulum. (Mendiknas, 2007). Saat ini ada dua persoalan pokok yang dihadapi pemerintah berhubungan dengan guru yakni mengenai kuantitas dan kualitas guru. Apabila merujuk kepada rasio guru dibandingkan dengan jumlah rombongan belajar, maka jumlah guru dapat dikategorikan belum cukup. Tentu kondisi tersebut memerlukan pengelolaan yang lebih cermat dan tepat, yang meliputi proses perencanaan, pengangkatan, penempatan serta pembinaannya. Seiring dengan diterapkannya desentralisasi, maka sebagian besar tanggungjawab dalam pengelolaan guru dialihkan ke daerah. sedangkan peran pemerintah pusat hanya dalam pembuatan kebijakan nasional dan koordinasi. Berkenaan dengan perubahan tersebut, semua permasalahan pembaharuan manajemen guru menjadi tantangan bersama bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. walaupun masih diperlukan analisis data yang relevan dengan keadaan daerah. Disamping pengangkatan dan penempatan guru, pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga menghadapi permasalahan profesionalitas guru. Oleh sebab itu
6

Dr. Arifin Suking, M.Pd. adalah dosen Jurusan Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo. E-mail: arifin_suking@ung.ac.id

56

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang antara lain menetapkan bahwa seluruh guru harus memenuhi kualifikasi pendidikan minimal S1 atau D4 dan lulus uji sertifikasi sebagai bukti bahwa guru tersebut memiliki kompetensi profesional sebagai pendidik pada suatu jenjang pendidikan tertentu. Ketentuan ini berimplikasi kepada kriteria dan kewenangan lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang bertugas menyiapkan tenaga guru, dan lembaga-lembaga lain yang berperan dalam pengembangan profesional berkelanjutan bagi guru-guru yang sedang bertugas. Untuk memperoleh guru yang professional maka guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru pasal 2). Kegiatan tersebut diharapkan bermuara kepada penyediaan yang tepat dari segi jumlah, kompetensi, kualifikasi, dan persebaran, maka diperlukan mekanisme yang kondusif bagi terciptanya kerja sama sinergis sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sehubungan dengan itu, pada tahun 2005 Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional, dengan dukungan Bank Dunia mengkaji aspek-aspek terkait dengan pengangkatan dan penempatan guru, baik dari sisi kebijakan maupun praktek di lapangan. Sambutan Mendiknas dalam peluncuran program BERMUTU bahwa kekurangan jumlah dan kualitas guru menjadi masalah penyelenggaraan pendidikan di banyak daerah terutama di daerah terpencil. Kesejahteraan dan akses informasi serta kesempatan meningkatkan kompetensi merupakan kendala spesifik yang dialami setiap guru di daerah. Oleh sebab itu, distribusi guru dan kesejahteraan guru daerah terpencil perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya. METODE Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Gorontalo dengan unit analisis yang meliputi analisis kondisi riil data kependidikan yang terkait dengan perencanaan dan analisis kebutuhan guru, distribusi dan pengembangan kompetensi guru. Kajian ini termasuk dalam penelitian kebijakan (policy research) karena dilakukan terhadap masalahmasalah sosial mendasar, sehingga temuannya dapat direkomendasikan kepada pembuat keputusan untuk bertindak secara praktis dalam menyelesaikan masalah. Pada kajian ini dikemukakan juga beberapa kebijakan yang telah ambil oleh pemerintah daerah yang berhubungan dengan pengelolan sumber daya guru dalam menyelesaikan beberapa masalah serta menilai kebijakan-kebijakan yang disertai kekurangan dan kelebihan masing-masing alternatif kebijakan tersebut, kemudian mengemukakan kebijakan yang dianggap paling sesuai dengan dengan kondisi dan situasi daerah. PEMBAHASAN Pembangunan sektor pendidikan di Kabupaten Gorontalo merupakan sektor utama yang menjadi prioritas sehingga diharapkan menjadi modal utama dalam
57

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

pembangunan daerah. Namun permasalahan yang dihadapi saat ini adalah secara geografis Kabupaten Gorontalo memiliki wilayah yang sangat luas dengan wilayah pengunungan yang cukup banyak sehingga pemetaan pendidikan, kondisi guru dan penempatannya belum memperoleh perhatian secara maksimal. Berdasarkan kondisi riil ditemui banyak sekolah yang jumlah siswanya berkurang dari tahun-ketahun karena letak antara satu sekolah satu dengan sekolah yang lain saling berdekatan (tidak lebih dari 1 Km atau dapat ditempuh kurang dari 20 menit). Sesuai data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Gorontalo bahwa ada delapan belas (18) sekolah yang letaknya berdekatan, empat (4) sekolah terletak di dua desa yang berbeda, sehingga hanya 14 sekolah yang bisa dilakukan penggabungan menjadi tujuh (7) sekolah yang tersebar di empat kecamatan. Dari data tersebut juga terungkap bahwa terdapat beberapa sekolah yang jumlah muridnya sedikit (kurang dari 90 orang) tetapi tidak memungkinkan untuk digabung, karena lokasi sekolahnya saling berjauhan. Sekolah-sekolah yang jumlah muridnya relatif sedikit berjumlah 17 yaitu 15 SD dan 2 MI yang tersebar di 5 Kecamatan Tabongo, Tilango, Pulubala dan Mootilangi. Pendistribusi guru kurang merata di sekolah-sekolah, dijumpai beberapa sekolah yang memiliki kekurangan guru, sementara beberapa sekolah memiliki kelebihan guru, sehingga perlu dilakukan penempatan ulang atau pendistibusian kembali. Secara garis besar pembagian wilayah di Kabupaten Gorontalo terdiri dari wilayah perkotaan, sub-urban dan urban (terpencil). Kesenjangan yang terjadi antara ketiga wilayah tersebut adalah di kota banyak terdapat guru inti dan guru berprestasi, di wilayah sub-urban (dekat kota) masih banyak guru belum berkualifikasi sarjana (S1), dan di wilayah urban (terpencil) masih terdapat banyak guru tidak tetap (GTT) dan honor dan masih terdapat guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Berdasarkan data jumlah guru SD/MI sebanyak 2.146 orang dan terdapat 1.864 guru yang belum memenuhi kualifikasi S1/MI yang tersebar pada 17 kecamatan di Kabupaten Gorontalo, dengan mencermati kondisi tersebut maka diperlukan upaya pengelolaan tenaga pendidik yang lebih efektif dan efisien. Berikut ini dikemukakan beberapa strategi kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah pemeritah Kabupaten Gorontalo yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya guru dalam menjawab persoalan perencanaan, penempatan, pendistribusian dan pembinaan guru yaitu: 1. Assesmen Kebutuhan Guru Dalam ensiklopedia evaluasi yang disusun oleh Anderson dan kawan-kawan, analisis kebutuhan diartikan sebagai suatu proses kebutuhan sekaligus menentukan skala prioritas. Analisis kebutuhan adalah suatu cara atau metode untuk mengetahui perbedaan antara kondisi yang harapkan (should be ought to be) dengan kondisi yang ada (what is). Kondisi yang harapkan seringkali disebut kondisi ideal, sedangkan kondisi yang ada, seringkali disebut kondisi riil atau kondisi nyata. Dalam konteks pendidikan, kebutuhan diartikan sebagai suatu kondisi yang memperlihatkan adanya kesenjangan antara yang ada dengan kondisi yang diharapkan. "Kebutuhan" sebagai
58

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

jarak antara keluaran yang nyata dengan keluaran yang diinginkan. Koufman (dalam Witkin, 1984) mendefinisikan assesmen sebagai analisis formal yang menunjukkan dan menyimpan hasil-hasil yang diinginkan dengan hasil yang nyata, mengatur prioritas, dan menyeleksi kebutuhan untuk dicarikan pemecahannya. Penelitian Witkin (1984:15) tentang assesmen kebutuhan pada pendidikan tinggi dengan menggunakan analisis faktor, mengidentifikasi enam elemen assesmen, yaitu: "(1) educational goals or philosophy given as a of departure, (2) need identification and need prioritization, (3) selection, (4) treatment implementation, (5) evaluation, and (6) recycle. Berdasarkan pembahasan maka dapat dikemukakan bahwa assesmen kebutuhan pendidikan adalah proses komponen-komponen dalam pendidikan yang meliputi: personalia, dan sarana/prasarana fisik sekolah. Kaitannya perencanaan kebutuhan guru dan gedung sekolah, assesmen kebutuhan tentang tinggi rendahnya angka putus sekolah, kecenderungan arus murid, peta lokasi sekolah, keadaan, dan keadaan penduduk usia sekolah. Tujuan assesmen kebutuhan pendidikan adalah untuk: (1) memenuhi persyaratan keuangan dari pemerintah dan sekaligus menunjukkan bahwa program yang ditangani akan mampu mengatasi krisis yang belum terpecahkan, (2) mengetahui tingkat kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan dan kebutuhankebutuhan, (3) mencapai suatu konsensus mengenai tujuan untuk perencanaan tingkat lembaga dan antar instansi terkait dalam satu wilayah, (4) mengetahui mana program yang bersifat inovatif dan dapat mendukung memecahkan masalah atau mempeluas kegiatan belajar dan dapat mendukung berbagai pihak, (5) memperkirakan berbagai kemudahan fasilitas dalam pengembangan kegiatan ekstrakurikuler, (6) perbaikan dan pengembangan pengajaran serta pelaksanaan kurikulum secara efisien, (7) menganalisis kebutuhan informasi dan pelaksanaan program (Witkin, 1984). Berdasarkan proyeksi kebutuhan guru selama 5 tahun yang dilakukan oleh direktorat Profesi Pendidik pada tahun 2009 bahwa provinsi Gorontalo membutuhkan sebanyak 6.437 orang guru dan untuk kabupaten Gorontalo membutuhkan 1.247 orang guru bidang studi dan 713 orang guru kelas. Proyeksi tersebut tidak terlalu berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ansar dan Masaong (2009 ) bahwa proyeksi kebutuhan guru SD/MI untuk tahun ajaran 2009-2013 kebutuhan guru di kabupaten Gorontalo sebanyak 643 orang namun hasil penelitian tersebut juga mengemukakan bahwa kekurangan guru hanya terjadi di sekolah-sekolah yang ada di sub urban dan urban sedangkan sekolah yang berada di wilayah ibu kota kabupaten mengalami kelebihan. Dengan demikian terjadi kesenjangan pemenuhan kebutuhan guru antara wilayah. 2. Manajemen Kelas Rangkap (Multigrade) Menurut Veenman (1997) menggambarkan kelas multigrade yaitu di mana anak-anak dari dua atau lebih nilai yang diajarkan oleh salah satu guru dalam satu ruangan pada saat yang sama. Pembelajaran kelas rangkap (multigrade model) merupakan stategi pembelajaran dengan menerapkan perangkapan kelas (dua kelas atau lebih) dan perbedaan tingkat kemampuan yang dilakukan oleh seorang guru dalam
59

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

waktu yang bersamaan. Kelas rangkap merupakan gabungan dari beberapa peserta didik dengan tingkatan kelas yang berdekatan, misalnya kelas 1, 2 dan 3, atau kelas 4, 5, dan 6, belajar dengan satu guru di kelas yang sama dan berlangsung selama satu tahun ajaran penuh, agar perencanaan matang dan pelaksanaanya lebih efektif, maka sebaiknya satu kelas rangkap dipegang oleh guru yang sama untuk dua tahun pelajaran dan guru yang mengajar pada beberapa tingkat kelas di satu sekolah. Dalam mengajar di kelas yang situasi-multi, seorang guru tunggal mengajarkan lebih dari satu kelas atau kelompok umur. (Angela Little,1995). Pengajaran multi-grade adalah suatu pengaturan instruksional menuntut situasi di mana sekolah mensyaratkan bahwa anak-anak lebih dari satu kelas yang diajar secara bersama-sama memberikan pembelajaran pada suatu aktivitas sesuai dengan tingkat untuk setiap kelas, yang memungkinkan semua anak untuk mendapatkan manfaat yang sama dari pengalaman belajar mereka. (lnstitut Pendidikan Nasional, Sri Lanka, 2003). Beberapa peneliti menggunakan istilah yang sama antara multigrade dan Multiage, (Bennet et al:,1983 Pratt, 1986). Negara-negara yang telah melaksanakan sistem pembelajan monograde dan multigrade adalah: Amerika Serikat, Kanada, lnggris, Fintanah, Belanda dan Swedia. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Gorontalo dalam pelaksanaan kelas rangkap masih ditemukan beberapa kekurangankekurangan diantaranya tidak semua guru yang menangani kelas rangkap memiliki pengatahuan dan kemampuan seperti yang dipersyaratkan dalam pembelajaran rangkap serta kemampuan siswa yang sangat kurang sehingga guru selalu dituntut menerapkan berbagai strategi agar pembelajaran dapat terlaksana. Namun di sisi lain peneraapan kelas rangkap ini mampu mengatasi kekurangan guru di beberapa sekolah yang ada di wilayah sub urban dan urban, untuk itu diharapkan pemerintah daerah tetap menerapkan pembelajaran kelas rangkap dengan menyempurnakan kekurangan-kekurangan tersebut dan lebih mempersiapkan lebih matang. 3. Rolling Teacher (guru yang diroling) Rolling Teacher adalah guru yang diberi tugas untuk mengajar dan atau terlibat dalam pengembangan mutu pendidikan di sekolah lain di luar dari sekolah tempatnya bertugas untuk jangka waktu tertentu tanpa dimutasi dari sekolah asalnya, (Antoro, 2010). Rolling teacher adalah sistem pemindahan tugas mengajar guru secara periodik di wilayah kabupaten kota (Ditjen PMPTK Depdiknas, 2009). Secara umum tujuan pelaksanaan rolling teacher adalah; (a) memeratakan kualitas belajar dan pembelajaran di sekolah-sekolah yang membutuhkan guru, (b) memeratakan kemampuan dan kualitas profesional guru, memeratakan beban kerja guru, (c) meringankan beban kerja guru yang terlalu berat di daerah terpencil, dan (d) meningkatkan kemampuan/kinerja guru secara merata di semua sekolah. Sedangkan manfaat rolling teacher antara lain (a) memberikan kemudahan kepada guru-guru untuk studi dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kemampuan profesionalnya serta meningkatkan kualifikasinya (S1) tanpa meninggalkan tugas mengajarnya, (b) menyediakan ruang kebijakan bagi guru untuk memenuhi jumlah beban jam
60

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

mengajarnya sebanyak 24 jam pelajaran per minggu, (c) meningkatkan efisiensi pengelolaan pendidikan di Kabupaten, (d) bagi guru-guru pelaku rolling teacher, secara tidak langsung akan terus-menerus mengembangkan kinerja dan kompetensinya dan dalam bidang pedagogik, professional, sosial, dan kepribadian dan (e) bagi guruguru yang telah tersertifikasi dapat berkesempatan menunjukkan kompetensinya dan terus menerus mengembangkan kemampuan profesionalnya melalui keikutsertaannya dalam rolling teacher. Guru keliling (rolling teacher) untuk SD/MI diberlakukan di kelas lima (5) untuk empat mata pelajaran, yaitu Matematika, lPS, IPA dan Bahasa Indonesia. Jadi guru inti yang melaksanakan rolling teacher bertindak sebagai guru bidang studi di SD/MI. Guru yang melaksanakan rolling teacher adalah guru inti yang ditunjuk melalui Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan, yang dipilih berdasarkan penilaian pengawas sekolah. Berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan di beberapa sekolah di Kabupaten Gorontalo pelaksanaan rolling teacher ini cukup efektif, karena beberapa sekolah yang memiliki kekurangan guru dapat terbantu dengan kehadiran beberapa guru yang lain. Sementara bagi guru yang memiliki jam pelajaran yang kurang dari 24 jam/perminggu bisa memanfaatkan program ini sehingga tidak kekurangan jam mengajar. Sementara manfaat yang diperoleh bagi siswa adalah siswa merasa termotivasi dan tidak jenuh, suasana pembelajaran selalu berubah-ubah karena guru yang mengajar selalu berganti-ganti. 4. In service training In-service pelatihan diterima sebagai metode yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kepercayaan diri secara positif dari guru. lni adalah proses yang digunakan guru untuk melanjutkan pendidikan setelah mereka telah menerima sertifikasi dalam mengajar dan bekerja secara profesional (Locke, 1984). Informasi Jaringan Pendidikan di Uni Eropa (Eurydice) mendefinisikan pelatihan sebagai kegiatan dan praktek di mana guru terlibat dalam memperluas pengetahuan, meningkatkan keterampilan dan menilai profesionalisme guru, (Perron, 1991 ). In-service training adalah istilah yang menggambarkan serangkaian kegiatan dan persyaratan yang berkenaan dengan pengembangan professional, terorganisir untuk meningkatkan kinerja semua personil (guru) yang telah ditugaskan dan memegang jabatan di sekolah, sehingga manpu menerapkan program atau inovasi. (Sapp, 1996). Sedangkan menurut Purwanto (1984) ln-service training ialah segala kegiatan yang diberikan dan diterima oleh para petugas pendidikan, (kepala sekolah, guru, dsb) yang bertujuan untuk menambah dan meingkatkan pengetahuan, kecakapan dan pengalaman guru-guru dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Program in-serivice training dapat mencakup berbagai kegiatan seperti mengadakan aplikasi kursus, ceramahceramah, mengadakan pertemuan sesama guru untuk saling tukar pengalaman, seminarseminar, kunjungan ke sekolah-sekolah di luar daerah dan persiapan-persiapan khusus serta mengikuti kursus-khusus yang berhubungan dengan tugas pokok. Kegiatan Inservice training adalah salah faktor kunci dalam pengembangan profesional guru dan memberikan peningkatan pengetahuan melalui peran aktif guru, (Saiti & Saitis, 2006).
61

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Pelaksanaan in-service training di kabupaten Gorontalo secara kuantitas pelaksanaannya masih jarang karena membutuhkan anggaran yang cukup besar. Secara empiris kegiatan in-service training memberikan manfaat kepada guru dalam meningkatkan kemampuan dan kompetensi. Berikut ini dikemukakan hasil analisis:
No 1 Jenis Kebijakan Assesmen kebutuhan guru Kelebihan Dapat mengetahui jumlah kebutuhan guru yang dibutuhkan Memperoleh alternatif pengganti dan solusi mengatasi kekurangan guru Kekurangan Tidak dapat direalisasikan secara langsung karena harus menunggu proses penganggaran Membutuhkan data yang akurat untuk melakukan proses assesmen Proses implementasi membutuhkan waktu dan dana yang cukup lama karena harus survey kelapangan terlebih dahulu Membutuhkan ahli dalam melakukan proses analisis kebutuhan Tidak semua pihak menerima hasil analisis Kemampuan guru belum merata Membutuhkan pengelolaan waktu yang lebih efektif Membutuhkan kreativitas, inovatif dan kemampuan guru yang lebih Tingkat pencapaian kurikulum tidak tuntas Tidak dapat menghargai perbedaan individu siswa Secara geografis sekolah di wilayah saling berjauhan dan tersebar di beberapa wilayah Membutuhkan perencanaan yang lebih matang Membutuhkan tenaga yang lebih fit karena harus berpindah-pindah mengajar

Multigrade (kelas rangkap)

Dapat mengatasi kekurangan jumlah guru dan gedung sekolah Dapat menghemat waktu mengajar Guru lebih tertantang untuk lebih kreatif dalam proses pembelajaran

Rolling teacher

Kekurangan jumlah guru dapat diatasi Memperoleh guru yang berkualitas Membantu guru untuk mencukupi jumlah jam mengajar 24 jam/peminggu Dapat meningkatkan kesejahteraan guru karena memperoleh insentif Guru merasa tertantang untuk terus mengembangkan kompetensinya Kualitas pendidikan dapat disebarkan kepada sekolah-sekolah tujuan Suasana mengajar lebih fresh karena guru sering berpidah-pindah Meningkatnya kemampuan dan kompetensi para guru Pengelolaannya lebih efektif

In-service training

Membutuhkan anggaran yang cukup besar Kemungkinan akan banyak jam kosong di sekolah karena ditinggalkan oleh guru untuk mengikuti kegiatan training Materi yang diterima tidak berkesinambungan dan membuat peserta jenuh Waktu pelaksanaannya sangat terbatas dan peserta kurang inisiatif Tidak semua guru memiliki kesempatan untuk mengikuti kegiataan pelatihan tersebut.

62

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Berdasarkan hasil analisis penulis dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang lebih efektif adalah rolling teacher karena kebijakan ini dianggap memiliki paling banyak kelebihan dibanding dengan kebijakan yang lain. Kebijakan ini membawa dampak yang positif bagi siswa, guru maupun kepala sekolah misalnya sekolah yang memiliki keterbatasan guru baik secara kuantitas maupun kualitas dapat teratasi, dengan adanya rolling teacher sekolah tersebut memiliki tambahan guru dengan mutu yang lebih baik, (Kusumawati, 2009). Secara regulasi kebijakan pelaksanaan rolling teacher ini sudah dituangkan dalam peraturan daerah masing-masing, sehingga implementasinya lebih kuat dan terarah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten Gorontalo dalam pengelolaan sumber daya guru di antara lain; assesmen kebutuhan guru, pembelajaran kelas rangkap (multigrade), rolling teacher dan in-service training. Dalam pelaksanaannya dijumpai bahwa masing-masing kebijakan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hasil analisis menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang paling efektif adalah kebijakan rolling teacher karena kebijakan ini banyak memberikan dampak yang positif dibanding dengan dampak negatifnya serta jenis kebijakan ini juga dianggap paling sesuai dengan kondisi wilayah kabupaten Gorontalo. Saran Dari hasil analisis ini disarankan kepada pembuat kebijakan agar sebelum kebijakan dirumuskan dan ditetapkan, hendaknya diawali dengan proses analisis dampak dari kebijakan dan dalam pelaksanaannya secara berkelanjutan dan konsisten.

DAFTAR RUJUKAN Ansar & Masaong. 2009. Asesmen Kebutuhan Guru dan Gedung pada Pendidikan Dasar (SD/Mi, SMP/MTs) dalam Rangka Wajib Belajar 9 tahun di Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. LEMLIT UNG. Antoro, Billy. 2010. Sosialisasi SPM Pendidikan Harus Komprehensif. Jakarta: Depdiknas. Bennet, N. OHare, E, Lee, J. 1983. Mixed-age classes in pimary Schools: a Survey of Practice. British Educational Research Journal 9 (1), 41-56. Dirjen PMPTK. 2009. Peluncuran Program BERMUTU. Jakarta: Depdiknas. Kaufman, R. 1982. Means and: Needs Assesment Needs Analysis, and Front- End Analysis. Educational Tecnology. Kusumawati, Budi. 2009. Uji Coba Pemerintah Daerah di dalam Mengelola Pendidik dan Tenaga Pendidik. Dalam Buletin KKG/MGMP. Jakarta.'

63

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Lattims. 2003. Unpublished report of the work of the Learning and Teaaching in Multigrade Settings Research Group. Kathmaandu. Litle,A .W. 1995. Multigrade teaching: a Review, of Research and Practice, Educational Research, serial No. 12 . London, Overseas Development Administration. Locke. L.F. 1984. Research on Teaching Teachers: Where are We Now?. Journal of Teacheng Physical Education. Monograph 2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Jakarta: Depdiknas. Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas Perron, M. 1991. Vers un Continuum de Formation des Enseignants: Elements DAnalyse . Recherche et Formation, 10, 137-152. Purwanto, N.1984. Administrasi Pendidikan. Jakarta: Mutiara Saiti, A. & Saitis, C. 2006. In Sevice Training for Teachers Who Work in Full-Day Schools Evidence from Greece. European Journal of Teacher Education, 29 (4), 455-470. Sapp, T.M. 1996. Teacher Perceptions of the Components of Effective in-Service Training in the Fine Arts and Their Relationship to the lmplementation of Curriculum Improment Innovations. Unpublished Doctorial Thesis. College of Education, Georgia State University. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas Veenman. S. 1997. Combination Classes Revisited. Educational Research and Evaluation 3 (2). 262-27 6. Witkin, B. R. 1984. Assessing Needs in Educational and Social Programs. San Fransisco: Jercey-Bass Publishers.

64

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

The Application of Discovery Inquiry Method to Improve Students Achievement in The X1th at SMA 2 Bondowoso
Holifah Nur Azizah7

Abstract: This classroom action research was meant to improve speaking achievement. This research was based on finding that there is discrepancy between hope and reality on students achievement. This research covers four activities: planning for action, implementation of the action, observation, evaluation, and reflection. This research ran into two cycles, each of which was conducted in two meetings.. The result of the action in first cycle showed that students English achievement test was 68,32. Meanwhile, based on the observation checklist showed that students active involvement was 67,86%. The result of the action in the first cycle had not achieved the target of this research. Therefore, the action was continued by revising the teaching technique in the first cycle. For the second one, the teacher revised the technique of Discovery Inquiry method in teaching learning process. The result of action cycle II showed improvement. It was indicated by the average score of students English achievement test in the second cycle that was 77,93. Besides, the result of observation in cycle II revealed that 75,00% of students were fulfill the indicators as were achieved in cycle II. Finally, the findings in cycle lead to the conclusion that Discovery Inquiry Method could improve the students English Achievement. Key words: Discovery Inquiry, Students Achievement, English Language

Today, English is used as a means of communication among people all over the world. It is now one of the most widely spoken language in the world with over four hundreds million native speakers and roughly the same number who speak it as a second language (Barber, 1992:236) Crystal (1992 in Toolan, 1997:8) adds that English is now a mother tongue or a first language for a dozen nation and around 400 million speakers. It becomes a second language for another 250 million speakers and is spoken by around 1 billion either as a
7

Holifah Nur Azizah, S.Pd., M.Pd., Guru Bahasa Inggris pada SMAN 2 Bondowoso Jawa Timur , Peringkat I Jenjang SMA Lomba Forum Ilmiah Guru tingkat Provinsi Jawa Timur th. 2013

65

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

second language or foreign language. Totally, a third of the worlds population use English. Considering the fact, it is credible that English has become the only global language that is used all over the world nowadays. It is used by people to communicate each other both oral and written form. Since English is also used to transfer information to all people in the world, people are required to master English in order to be able to take part and share their knowledge. In order to master English, people should learn it through formal or non formal education. In formal education, English is taught at schools whereas in non formal education, English is taught outside the school such as English courses. Talking about formal education, English which has four language skills namely reading, speaking, listening, and writing, is a compulsory subject for Junior high School to University students. Even it is taught to the students of elementary school as the local content subject. Furthermore, as it is stated in 2006 English Curriculum that the goal of learning English in the literacy approach is to provide the students with: spoken and written English achievement. Considering the importance of mastering English language, it can not be bargained anymore that the teacher has great role in constructing students knowledge by designing certain condition and appropriate teaching method in order to maintain students motivation and reach the goal of education. As Charles Silberman (2005:105) said that the great teacher just like the great doctor is the one who adds creativity and inspiration to that basic repertoire. Following the above idea, the researcher whose fondness of teaching to create the circumstances of learning in order to captivate the interest of student and to motivate them to learn. Creating good circumstance of learning, however, is not easy. We as teacher must understand our students ability and potential of learning. Beside, the teacher capability of being an effective teachers also has great role in colorizing the circumstance of learning. In other word teachers have to conduct the atmosphere of learning with which it is conducive for the student to learn successfully. It requires many skills to be an effective teacher, as it is suggested by Denilson (1966:8). There are four skills area to be an effective teacher: 1. Engage in quality planning and preparation Meaning that, teachers must understand the content of the subject. They must spend their time and energy planning the activities, materials, and evaluation related with teaching content. Teachers must carefully orchestrate the subject, the students, the method, goal and evaluation in a coherent teaching plan of instruction. 2. Prepare a positive classroom environment Teachers have to create and maintain an environment in which learning can take place. 3. Use proven Instructional technique 4. Exhibit professional behavior Such can also be grasped from Syafaruddin (2002:93) stated that effective teacher is the one who give maximal opportunity for the students to learn. The writer also believes that teaching is complex and challenging because teachers have to face human with his diversity and uniqueness. Teachers must be able to understand and identify the students need, their strengths, weaknesses, aspiration and
66

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

also the family background. Furthermore, Kenneth D. Moore (2005:7) in his book Effective Instructional Strategies states that reflective teacher thinks deeply about theory and practice of teaching. Such teaching requires that you be sensitive to the diversity of students need and family background. By knowing our students differences, it will help us to device the way of teaching the strategies as well as the method to provide the optimal learning. Optimal learning takes place when the information is meaningful for the students. Teachers as instructional planner have to design the process of learning as meaningful as possible. By so doing, it helps the students to maximize their ability in learning. What they learn is really meaningful for their life. They learn how to learn, thats the essence. Such is made clear by David H. Jonassen ET. Al (1996:3) states that he assume that teachers obligation should be to help students to learn how to recognize and solve problems, comprehend new phenomena, construct mental models of those phenomena and given a new situation, set goals and regulate their own learning (learn how to learn). It is interesting to note that most of the teacher views knowledge as a public discipline to be transmitted. The result of learning is assisted by teacher to know the effect of instruction. Learning product is more important than the learning process transmission paradigm It is no wonder that a Lecture Method become predominant in our education in which the teacher present the material in carefully organized, sequenced and somewhat finished them. The student only transmitted the material passing through the teacher. Also, this method is considered effective and efficiencies to gain the target of curriculum and the mastery learning. This is in contrary whit James opinion in seeing goal of education, he says, The aim of education should be to teach us rather how to think, than what to think. In the line with the above idea, that learning is search for meaning not just memorizing the right answers. That is why in teaching learning process the ability of the teacher to present the material determines the successful of learning. So, it is a must for the teacher to use an effective instructional method. Teachers failure in using the method has significant influence in students building concept. Naturally, the potency of searching to find something is already in one since a child, in this stage we were eager to ask, expire, and find something in order to get the clarity of answering the matter. People are born with curiosity and needs that drive them to learn (Percy in Castonova: 2007). Further, Driving by this potential, the writer chose Discovery Inquiry as one of the solution to improve instructional process because of its a natural part of human beings. In this method, the students are given big opportunities as well as chance to search the concept of the subject matter themselves, conducted through experiences. Doing this, automatically the goal of education is achieved. Teachers role is not domination, but more than as guidance as well as motivator. Therefore, it is very important for the teacher to create and manage the class with problem solving situation to stimulate and motive the students to discover the
67

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

structure of the lesson. As J. Brunner (1980:235) said, Teachers should provide problem situations that stimulate the students to discover for themselves the structure of the subject matter. In line with this opinion David H. Jonassen et. Al (1996: 5) add that teaching is a process of helping learners to construct their own meaning from experiences they have by providing those experiences and guiding the meaning making process. Furthermore, Gagne (1977:1777) describe clearly the important of providing problem solving situation for the students by saying Educational program have the important ultimate purpose of teaching students to solve the problem. Considering the ideas above, the researcher is interested to applied Discovery Inquiry method due to the fact that it is meaningful and we all know that learning must be meaningful for the students. Discovery learning is considered more meaningful because: it makes use of your own personal associations as a basis for understanding vs. parroting back the instructor's version of a concept; figuring out the process rather than just following directions results in a solution unique to the learner, one ultimately easier to reconstruct; we are forced to confront our current ideas about the subject, many of which may be misconceptions, and reconcile them with what we now observe to be the case; because we are able to see the principles actually at work, we have a better grasp of the ideas; because we learned in a context similar to the eventual context of use we will be able to recognize an opportunity to use the information more easily; because we began connecting the information to the "real world" its value is clearer to us. Based on the explanation above, the researcher is interested in analyzing Discovery Inquiry on students English achievement for highly and low motivated students of the X1th form Science 3 the Academic Year 2010-2011 at SMAN 2 Bondowoso. Statement of The Problem 1. How does the application of Discovery Inquiry develop the students English achievement of the XIth form at SMAN 2 Bondowoso in the Academic Year 2010/2011? 2. How does the application of Discovery Inquiry method develop the XIth form students participation at SMAN 2 Bondowoso in the Academic Year 2010/2011? Objective of the Research 1. Improve the XI grade students by application of Discovery Inquiry on students English achievement of the X1th form Science 3 in the first semester of the Academic Year 2010/2011. 2. Describe the students participation in learning process of the X1th form Science 3 in the first semester of the Academic Year 2010/2011

68

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

The Significance of Research The research results are expected to be significant for the following people: 1. The Student To help them improving their English achievement in mastering English language To encourage them having critical thinking To motivate them in studying English 2. The English Teacher As an innovative way or technique in improving teaching English. 3. Other Research As information to conduct further research dealing with similar problems. As a reference or input which can be used to find out the suitable technique in teaching English that will be significantly effected the students learning achievement. Scope and Limitation of Research The subject of this research is limited to X1th form Science 3 in the first semester in the 2010/2012 Academic Year at SMAN 2. Definition of Key Terms a. Speaking the ability to communicate by using spoken language b. Discovery Inquiry Method Discovery Inquiry Method is intentional learning through supervised problem solving following the scientific method of investigation. d. Motivation Motivation is something that energizes and directs students behavior. e. Achievement Successful performance, a accomplishment: as the achievement of her/his object. Research Design The design of this research is classroom action research design. apply a cycle model developed by Kurt Lewin (1991). Research Area The area of this research is SMA Negeri 2 Bondowoso. Data Collection Method. There are two kinds of data in this research: primary data and secondary data. The primary data will be taken from achievement test whereas the secondary data were taken by using questionnaire, observation, and documentation.

69

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Achievement Test In this research, the researcher will used the teacher made test to measure the students proficiency in the form of spoken test for spoken and written test. The achievement test will describe the students language proficiency. The materials of the test are related to the 2006 curriculum and hand book used by the teacher. For spoken test the students will present their opinion about the material that has been discussed. And it was recorded. The scoring guide used for the spoken test will be described in the following table: Table 3.1 Aspects of scoring
NO ASPECTS OF SCORING Matter: - The Significance of the topic - Content - Outline - Coherence - Comprehension Performance: - Way of speaking - Way of expressing Performance: - Way of speaking - Way of expressing Fluency: - pronunciation - grammar - structure - intonation Clarity: - logical sequence of speaking - communicable to the audience Maximum score SCORE 0-15 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-6 0-3 0-3 0-6 0-3 0-3 0-12 0-3 0-3 0-3 0-3 0-6 0-3 0-3 39

1.

2.

2.

3.

4.

While for written test the total number is 25 items. It consists of 20 for general information and 5 items for specific information. Dealing with the test scoring, each item is scored of the test is 100 points. The time allocated is 45 minutes. Observation The checklist will contain the indicators being observed; (1) asking questions; (2) answering the teachers oral questions; (3) sharing the problem given with group discussion; (4) performing the result of discussion.

70

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Table 3.2 Observation Checklist Sample. NO 1 2 3 4 35 Research Procedure General Description of the Research The action given to the subjects are teaching specially by using Discovery Inquiry. If the result of Achievement test in the first cycle has achieved standard score requirement, that is 75, and if more than 75% students can fulfill the indicators of active students stated in the checklist, the second cycle will be conducted to reinforce the result of the first action cycle. However, if the results of achievement test in the first cycle have not achieved the standard score requirement, the second cycle will be conducted by revising the actions (the teaching technique) of the first cycle. If the result of achievement test in the second cycle has achieved the standard score requirement, the action cycle will be stopped. Detail of research Procedure Planning of the Action 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. The detailed plans of the action are: Deciding the suitable actions that will improve the Students English speaking ability through the application of Discovery Inquiry Method. Choosing the appropriate material based on the 2004 English curriculum for the third year students of senior high school and research indicators. Constructing the lesson plans for the first and second meeting in the first cycle. Constructing the lesson plans for the first and second meeting in the second cycle by revising the teaching technique of the lesson plans of the first cycle. Preparing the materials for the students by applying Discovery Inquiry method. Preparing the observation checklist in each meeting containing the indicators observed. Constructing the speaking test for the first and the second cycle. STUDENTS NAME ASPECTS TO BE OBSERVED SCORE ACTIVE PASSIVE 1 2 3 4

71

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Implementation of the Action The action will be given during the school hours adjusted with the schedule of English lesson of class X1 IPA 3. This research will be done in two cycles, in which each cycle contains two meetings. The action given will be teaching speaking using Discovery Inquiry method. The implementation of cycle one is based on lesson plan for the first meeting and lesson plan for the second meeting. Meanwhile, in the third meeting, the students will do the achievement test. Classroom Observation and Evaluation Observation will be done by English teacher during the teaching by using Discovery Inquiry method. The instrument used to monitor the class activities is a checklist containing the indicators observed. According to Elliot (1991: 81) checklist are basically sets of questions which structure observations by indicating the kinds of information needed to answer the questions. The indicators of observation are as follows: a) the students activities in asking questions to the teacher; b) The students activities in answering the teachers oral questions; c) The students activities in discussing the problem related to the topic chosen appropriate steps; d) The students activities in performing the result of discussion. The students will be considered as the active students if the fulfilled the indicators above. Furthermore, evaluation will be carried out to find out whether the use of Discovery Inquiry can improve the students English achievement. The evaluations that will be done in this classroom action research are the process evaluation and product evaluation. The process evaluation is done by conducting observation in every meeting in each cycle. Then, the product evaluation is done at the end of each cycle by applying achievement. The criteria used to evaluate the success of the actions are: a) 75% of the research subjects achieved the mean score of the students English achievement test in this research, that is 75; b) 75% of the research subjects were actively involved in the teaching learning process by using Discovery Inquiry method. Reflection The researcher will reflect both cycles based on the results of monitoring or observation and the achievement test result. The results of the reflection in the first cycle will be used as a guide to revise the actions for the next cycle. Therefore, if the results of the students English achievement test scores have not achieved the standard score in this research and the results of the observation have not fulfilled the indicators of active students stated in the checklist, the action will be continued to cycle two by revising the actions and the test materials. However, if the standard score requirements can be achieved in the indicators of active students can be fulfilled in the first cycle; the second cycle will be done as the reinforcement to the result of the first cycle.

72

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Data Analysis Method The data collected in this research are primary data that cover English Achievement test scores and the results of the observation in teaching learning process. After the English achievement test is done, the collected data in the forms of scores of the students English achievement test are analyzed quantitatively. The results of the students English Achievement will be classified based on the classification of the score levels on the Table 3.3 Table 3.3 The classification of the score levels
Score 80-100 70-79 60-69 40-59 < 40 Category Excellent Good Fair Poor Failed

Based on: SKBM at SMA Negeri 2 Bondowoso Briefly, the steps in analyzing the data are as follows: 1) Scoring the results of the achievement test in each cycle, 2) Analyzing the results of the English achievement test in each cycle quantitatively by using the formula above to find the mean score. 3) Classifying the results of data analysis in each cycle based on the classification of the score levels, 4) Reflecting the results of the achievement test and the results of class observation in each cycle descriptively. The Result of Action Cycle 1 The first cycle was conducted on 5th May and 7th May 2011. The doer of the action in both meeting was the researcher, while the other English was observing the TLP. The stages of activities done in the first cycle covered the planning of the action, implementation, observation, and reflection the action. The implementation of the action was based on the lesson plan made by the researcher. The first meeting was carried out based on lesson plan 1 and the second meeting was done based on lesson plan 2. The materials taught covered the genre of discussion by applying Discovery Inquiry method. The topic used in the first cycle The Power of music in my life. Process evaluation through observation was done in each meeting to evaluate the students active and passive involvement during the teaching learning process of discussing Discovery Inquiry method. The observation checklist was used to note and evaluate the students involvement during the teaching learning process. Beside process evaluation, there was also product evaluation obtained in this action. The product evaluation was in the form of test that was conducted at the end of action cycle. It was in 14th of May 2011.
73

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

The Result of Observation The observer did class observation in first cycle. It was intended to do the process evaluation to get the main data. The observation guide in the form of checklist was used to evaluate the process. The indicators observed were the students activities in asking questions to the teacher, the students activities in discussing with the topic given with the appropriate steps. The students perform the result of discussion. In the first meeting the researcher established a relaxed atmosphere. For discovery Inquiry method will work properly if pupils feel free to express their ideas. They dont feel fear to make mistakes. Then, the researcher arranges the learning situation so that Discovery Inquiry is likely to take place. This is very essential in discovery method. The teachers have to arrange thing so that insight will take place the researcher may present the topic that are familiar to the student or structure the discussion by involving the participant to the same background information. After discussion the topic given than the students are asked to make some argument about The power of music in our live. Based on the observation checklist there were 18 students or 64,29% of the students were active during the teaching learning process. Meanwhile 35,71% or 10 students were passive during the learning process. 18 students had fulfilled the indicators of being active in class is at least 3 indicators fulfilled. In the second meeting, the researcher presents another hortatory text which is no single answers correct. To stimulate the students to discover their own opinion contrast idea is emphasized. Basically, the second meeting was done with the same procedure with the previous meeting. The observation carried out during the second meeting showed that the percentage of active students increased to 67,86% or 19 students fulfilled the indicators as active students. 32,14% or 9 students still couldnt participate in teaching learning process. In conclusion, in the end of the first cycle the students activeness in speaking had not met the target requirement that is 80% of the subject are actively involved in the teaching learning process. The Result of Student Achievement Test in Cycle 1 Beside the process evaluation, product evaluation in the form of speaking test was also done after the actions in cycle I in the third meeting; it was conducted on 12 th May 2011. The test was done to measure the students achievement after the first action were given that was teaching speaking by using Discovery Inquiry method. The result showed that most of the students achievement test below the mean score provided. The score of the students achievement test in cycle 1 was for spoken test 73,35; written test 63,28. The average of the 2 test were 68,32. It means that the mean score of the students achievement test in first cycle was 68,32. It indicated that it had not achieved the target mean score requirement in this research that was 75. In other words, the actions given in the first cycle had not been successful yet.

74

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

The Results of Action Cycle 2 Action cycle 2 was done because the actions given in the first cycle had not achieved the research objective yet. It was also done in two meetings. The second cycle was done on 14th May and 19th May 2011. The doer of the action was the researcher. The stages of activities done were the same as the first cycle, namely preparation of the action, implementation of the action, observation and evaluation, and reflection of the action. The implementation of the action was based on the revised lesson plan in cycle 1. In cycle 2 the researcher gave a controversial topic which there is no single answer. The topic used in the second cycle meeting one was pet pollution industrialized area. In meeting two the researcher choose westernization threat Indonesia culture. The result of the observation In cycle 2, the students showed higher interest and motivation. It can be seen from the observation in the third meeting that 75% or 21 students were active during teaching learning process. Further more in the fourth meeting, the students were asked to present their opinion about westernization which is threat Indonesia culture. The observation carried out showed that 23 students or 82,14% were categorized as active students. It means that most of the students gave better responses in the second cycle than in the previous. In sum, the students active participation had met the standard requirement of process evaluation that is 70% of the students are actively involved in the teaching learning process. The Result of Achievement test is cycle 2 The product evaluation in the form of writing achievement test was done at the end of the second cycle that was on 21th May 2011. The students were asked to present their opinion about westernization which is threat Indonesia culture. Then, they were asked to perform their argumentation. The student achievement test describe as following. The average of spoken test was 76,47. The achievement of written test was 79,40. The average of the two test were 77,93. it was clear that the students mean score on achievement for written test and spoken test 77,93. It means that the mean score of achievement test in cycle 2 has achieved the target mean score in this research. This, the action was stopped. Discussion From the action done in each cycle, it was showed that students language achievement had developed from cycle one to cycle two. Based on the observation checklist, it could be seen that the students active involvement in the second cycle was higher than in the first cycle. It increased from 67,86% in the first cycle to 75,00% in the second cycle. They gave positive responses and fulfilled the indicators as active students during the teaching learning process.
75

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Further, on the basis of achievement test analysis, the mean score of the achievement result had developed from 68,32 in cycle 1 up to 77,93 in cycle 2. in the first cycle, the mean score was 77,93 that not achieved the target mean score that was 75. Therefore, it was continued to the next cycle. Further, in the second cycle the mean score had achieve the target score, with mean score 77,93. So, the action was stopped. Conclusion Based on the result of the data analysis and discussion, it could be concluded that teaching English achievement by using Discovery Inquiry method in two cycles could improve both of students English achievement and also can improve students participation in the teaching learning process. The research result showed that the students mean score in achievement test improve from 62,50 to 75,53. Then, the students activeness in teaching learning process is also improved from 62,71% to 74,28%. Suggestion Considering the results showed above, the use of Discovery Inquiry method could improve students English achievement and students participation in learning English at SMA 2 Bondowoso in 2010/2011 Academic Year, some suggestions were given to the following people 1. To the English Teacher In applying Discovery Inquiry Method, teacher obstacles are passive students, meaning that the teachers want to give the best services for the students are not responses well. Moreover, some students consider the teachers task as a burden for their study based on this description, it is suggested for the teacher to explain the indicators of learning clearly. By so doing the students know what to do. Hopefully the result of the research can provide information to the English teacher and also as an input to know the new method of Discovery Inquiry in teaching English. So, it is better if the English teacher uses this method in teaching learning process. 2. The Students By using discovery Inquiry the researcher hopes the students will develop their English achievement. It is also motivated the students to use English when they express their idea. For this reason students will bound the form English skill as one. In addition, through Discovery Inquiry in this research, students will know the new learning model or method that can be applied in teaching learning process. In which it allows them to interact easily. Further, the students will know the advantages of interaction among them for improving their English. 3. To other researcher. The result is useful for the other researches as a reference to conduct future researches dealing with similar problem by using another researcher design or model. Hopefully the other researcher will find and investigate another alternative method in teaching English because there is not guarantee that one method will be the best

76

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

method, so creativity, innovation and encouragement is needed for the sake of development of teaching learning process. BIBLIOGRAPHY Arikunto, S. 2002. Prosedure Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek ( the Fifth Edition). Jakarta: Rineka Cipta. Barber, C. 1995. The English Language: A Historical Introduction. Cambridge: University Press. Castronova, J, A. Discovery Learning for the 21 st Century: What is it and how does it compare to Traditional Learning in Effectiveness in 21st Century. http://chiron.valdosta.edu/are/-Litreviews/vol1no1/castronova-litr.pdf Cony, L. L. and A, Peter.1992. Educational Research Competences for Analysis and Application. New Jersey: Prentice Hall Elliot, J. 1991. Action Research for Educationas Change: Developing Teachers and Teaching. London: Open University Press. Fraenkel, R, J and H, E, Wallen. 2000. How to Design andEvaluate Research in Education. Boston: McGraw Hill. Gangel, O, Kenneth. Discovering the Discovery Method. http://www.bible. org/page.php?page_id+2732. Hamalik, Oemar. 2005. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta: P. T Bumi Aksara. Moore, Kenneth D. 2005. Effective Instructional Strategies; From Theory and Practice: London, Sage Publication Inc. Morin, Edgar. 2005. Tujuh Materi Penting Bagi Dunia pendidikan. Yogyakarta: Kanisius Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan;, Jakarta: Rineka Cipta. Suryabrata, S. 1997. Metodologi Pendidikan. Jakarta: PT>Raja Grafindo Persada. Toolan, M. 1997. Recenting English: New English and Global English Today 52, vol 13/4 (Oct 1997):3-10. Cambridge University Press. Wingington, Mandy. Discovery Learning.http://www.rblewis.net/technology/ PSY306?discovery_learning.htm ______________, Looking at Your Motivation. http://www.mindquestacademy. org/success/MODULE_3/Staying_Motivated/t3_students/s1_3page55.htm ______________,Jerome Bruner and Discovery learning, http://wps.prenhall. com/chet_mills_internet_1/0,11172,2580422_content,00.html

77

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Penggunaan Audio sebagai Perintah Bernada untuk Meningkatkan Kemampuan Menggambar


Eny Nur Hidayah8 Abstract: This study aims to improve students drawing ability by using audio as a tone command. This study is conducted in TK Negeri Pembina Bondowoso. The subjects were 32 students of grade B3. Data were collected through observation and documentation. By using audio as a tone command, it improved the students interest of drawing because of the grafity learning process. This tone command by using audio helped students in drawing activity. Kata Kunci: audio, perintah bernada, kemampuan menggambar

Penggunaan audio sebagai perintah bernada ini dicobakan di TK Negeri Pembina Bondowoso pada kelompok B3, semester II tahun pelajaran 2012/2013. Menggambar merupakan salah satu indikator pada lingkup perkembangan fisik (motorik halus) yang termuat dalam kurikulum TK 2009. Capaian perkembangan yang diharapkan adalah: anak dapat menggambar sederhana dengan berbagai media seperti: arang, kapur, pensil warna, krayon, dan lain-lain. Aktivitas menggambar dimaknai untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian anak agar kemampuan logika dan emosinya tumbuh berkembang dengan seimbang. Gambar merupakan sebuah media yang dapat merangsang otak. Dengan menggambar, anak akan berpikir dan melakukan analisa terhadap segala pengalaman yang mungkin pernah dilihat dan dialaminya (Asadi Muhammad, 2009). Sayangnya dari hasil pengamatan guru, kegiatan menggambar kurang diminati oleh anak, mereka lebih suka mewarnai gambar daripada membuat gambar. Saat pembelajaran menggambar, anak cenderung minta untuk digambarkan dan selanjutnya tinggal mewarnainya saja. Kalaupun diminta untuk menggambar sendiri, coretan yang dihasilkan masih berkesan umum dan menampilkan gambar yang sama setiap pengerjaan tugas menggambar, misalnya: anak hanya menggambar gunung dengan matahari di tengahnya, atau hanya menggambar rumah saja. Selain itu, saat kegiatan menggambar suasana kelas sering gaduh dan masih banyak anak yang jalan-jalan sendiri karena kurang berminat dan merasa kesulitan dalam menggambar. Dampaknya kemampuan menggambar anak secara klasikal sangat rendah. Untuk itulah maka
8

Eny Nur Hidayah, S.Pd, M.Pd adalah guru TK Negeri Pembina Bondowoso Jawa Timur, Guru Berprestasi jenjang TK Tingkat Provinsi Jawa Timur Tahun 2013 78

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

dilakukan inovasi pembelajaran dengan menggunakan audio sebagai perintah bernada dalam kegiatan menggambar. Selain harganya murah dan mudah dalam penggunaannya, media audio dimungkinkan dapat menyampaikan pesan yang akan disampaikan dalam bentuk lambang-lambang auditif, baik verbal maupun non verbal. Dalam penggunaannya, audio dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa sehingga terjadi proses pembelajaran. Sedangkan nada/musik digunakan untuk meningkatkan konsentrasi belajar. Penggunaan suara dan musik untuk melengkapi kegiatan lain secara sadar akan membantu anak-anak mengembangkan citra diri yang sehat dan percaya diri. Musik akan memberikan semangat dan menyegarkan anak-anak. Dengan nada atau lagu, suasana belajar akan terasa lebih menyenangkan. Dalam penerapannya, perintah bernada yang dikemas dalam bentuk audio ini, sifatnya perintah/suruhan. Setiap lirik lagu tentu mengandung perintah, namun menggunakan bahasa sederhana sehingga mudah dimengerti oleh anak. Dengan demikian perintah bernada ini diharapkan dapat membantu anak dalam melaksanakan kegiatan menggambar. Penggunaan audio sebagai perintah bernada akan mengoptimalkan anak dalam menggambar karena disampaikan dalam nyanyian sehingga anak mudah untuk mengingat dan melakukan. Kebanyakan murid lebih mudah mengingat lirik untuk dinyanyikan, dan akan lebih mudah untuk mengingat pelajaran yang disusun dalam musik. Menyanyikan lagu tidak hanya membantu banyak siswa untuk mengingat informasi penting, tetapi juga menggembirakan belajar di dalam kelas (Linda Campbell, 2004). Sebelum menggunakan media audio, terlebih dahulu guru memberikan pengarahan kepada anak dan memperkenalkan lagu yang akan diputar serta menjelaskan bagaimana cara menggambar sesuai perintah bernada. Selanjutnya sebelum menggambar yang sesungguhnya, anak diminta untuk menirukan syair lagu sambil menggambar di udara dengan jari tangan sesuai perintah bernada. Setelah itu audio baru diputar, dan anak mulai menggambar. Saat media audio diputar, anak diminta untuk mendengarkan lagu dengan baik dan mulai menggambar sesuai perintah bernada. Setelah anak menggambar satu bagian, guru/anak bisa mematikan audio dengan cara dipause. Setelah itu untuk menggambar satu bagian yang lain, audio bisa diputar kembali dan dipause lagi, begitu seterusnya sampai gambar selesai dibuat oleh anak. Contoh penggunaan audio sebagai perintah bernada dalam kegiatan menggambar, dapat dilihat di halaman berikut. METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok B3 TK Negeri Pembina Bondowoso dengan jumlah 32 anak. TK Negeri Pembina Bondowoso tempat penelitian ini diselenggarakan terletak di tengah kota, dengan ruang belajar yang sangat ideal dan fasilitas belajar yang cukup memadai.

79

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, dan dokumenter. Persiapan penelitian menyiapkan RKH, area seni, lembar observasi, kaset, dan tape recorder. Lagu Dua Mata Saya Coretan/gambar Audio (perintah bernada) Buat lingkaran kecil untuk kepalanya Buat bentuk elips untuk badannya Jangan lupa sayapnya Dan juga ekornya Titik untuk mata Paruh bentuk segitiga

HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas yang ditunjukkan anak dalam pembelajaran menggambar dengan menggunakan audio sebagai perintah bernada ini sangat tinggi. Hal ini terlihat saat proses pembelajaran menggambar berlangsung, anak-anak begitu bersemangat, antusias, dan lebih berkonsentrasi. Dari 32 anak terdapat 28 anak (88%) yang telah mampu menggambar dengan baik/ sesuai harapan, dan 4 anak (12%) mampu menggambar dengan cukup baik/ mulai berkembang. Padahal sebelum penggunaan audio perintah bernada, dari 32 anak di kelompok B3, hanya terdapat 2 anak yang mampu menggambar. Aspek yang dinilai dalam pembelajaran menggambar menggunakan audio sebagai perintah bernada ini adalah: (1) minat anak, (2) kemampuan menggambar. Pengkategorian penilaian dibedakan sebagai berikut: bintang 1 (*) belum berkembang, bintang 2 (**) mulai berkembang, bintang 3 (***) berkembang sesuai harapan, bintang 4 (****) berkembang sangat baik. Kriteria dalam menilai minat anak adalah sebagai berikut: 1. Minat anak belum berkembang jika anak tidak sungguh-sungguh menyelesaikan tugas. 2. Minat anak mulai berkembang jika anak mulai menunjukkan kesungguhan dalam menyelesaikan tugas.

80

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

3. Minat anak berkembang sesuai harapan jika anak menunjukkan kesungguhsungguhan dalam menyelesaikan tugas. 4. Minat anak berkembang sangat baik jika anak sangat sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas. Sedangkan kriteria dalam menilai kemampuan menggambar adalah sebagai berikut: 1. Kemampuan menggambar belum berkembang jika anak sama sekali belum mampu membuat gambar (menggambar). 2. Kemampuan menggambar mulai berkembang jika anak mampu menggambar dengan cukup baik. 3. Kemampuan menggambar berkembang sesuai harapan jika anak mampu menggambar dengan baik. 4. Kemampuan menggambar berkembang sangat baik jika anak mampu menggambar dengan sangat baik. Pertemuan I: Menggambar dengan instruksi/perintah Pada pertemuan ini guru menjelaskan dasar-dasar menggambar seperti membuat garis lurus, lengkung, lingkaran, dan zig-zag. Selanjutnya guru meminta anakanak untuk memperhatikan cara menggambar sesuai dengan instruksi/perintah dari guru. Agar lebih jelas guru mengulang kembali cara menggambar sesuai instruksi/perintah. Kemudian anak-anak mulai mencoba menggambar di udara dengan jari tangan. Langkah selanjutnya adalah anak menuju ke area seni dan menggambar di buku gambar menggunakan krayon sesuai perintah guru. Anak yang kurang berkonsentrasi akan ketinggalan dan akan bertanya serta meminta guru untuk mengulang perintah. Penggunaan instruksi/perintah dalam pembelajaran menggambar dirasakan cukup efisien dan efektif bagi guru karena tidak perlu repot membantu anak membuatkan gambar, dan anak lebih aktif dalam menggambar.Keuntungan lain, dengan menggunakan instruksi/perintah adalah anak menjadi lebih berkonsentrasi dan aktif dalam pembelajaran menggambar. Dari hasil observasi, kemampuan anak dalam menggambar menggunakan perintah/instruksi meningkat. Kemampuan menggambar anak cukup baik/mulai berkembang (**)sebesar 25% (8 anak), berkembang baik/sesuai harapan (***) sebesar 68,75% (22 anak), dan berkembang dengan sangat baik (****) sebesar 6,25% (2 anak). Kemampuan Menggambar Anak Pada pertemuan i 0% Keterangan: ** mampu menggambar cukup baik/mulai berkembang: 8 anak (25%) 25% *** mampu menggambar dengan baik/sesuai 6,25% harapan: 22 anak (68,75%) 68,75% **** mampu menggambar dengan sangat baik: 2 anak (6,25%)
81

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Pertemuan II: Menggambar menggunakan audio sebagai perintah bernada Dalam pertemuan kedua ini guru menjelaskan bahwa anak-anak akan menggambar dengan menggunakan media audio sebagai perintah bernada. Mula-mula guru memutar audio dan anak-anak diminta untuk mendengarkan saja tanpa harus menggambar. Setelah audio diputar guru menjelaskan bahwa anak-anak bisa menggambar sesuai perintah bernada. Langkah selanjutnya adalah guru memberi contoh cara menggambar sesuai perintah bernada, kemudian anak-anak diminta untuk mencoba menggambar di udara dengan jari tangan sesuai perintah bernada yang didengar. Selanjutnya anak bisa menuju ke area seni dan mulai menggambar dengan krayon berbantukan audio sebagai perintah bernada. Penggunaan audio sebagai perintah bernada sangat efektif dan efisien karena guru tidak perlu lagi memberi perintah/instruksi saat anak akan menggambar, tetapi cukup dengan memutar audio saja. Jika ingin mematikan cukup dipausedan jika dibutuhkan audio bisa diputar kembali. Keuntungan lain dari penggunaan audio perintah bernada ini adalah anak lebih antusias, aktif, dan bersemangat saat kegiatan menggambar, suasana belajar terasa lebih menyenangkan. Dari hasil pengamatan, kemampuan menggambar anak menggunakan audio sebagai perintah bernada ini meningkat tajam. Peningkatan itu dapat dilihat dari kemampuan menggambar anak dengan nilai bintang 2 (**)/mulai berkembang sebesar 6,25% (2 anak), mampu menggambar dengan baik/sesuai harapan (***) sebesar 87,5% (28 anak), dan mampu menggambar dengan sangat baik/berkembang sangat baik (****) sebesar 6,25% (2 anak). KEMAMPUAN MENGGAMBAR ANAK PADA PERTEMUAN II
6,25% 6,25% 0%

87,5%

** mampu menggambar cukup baik/mulai berkembang: 2 anak (6,25%) *** mampu menggambar dengan baik/sesuai harapan: 28 anak (87,5%) **** mampu menggambar dengan sangat baik: 2 anak (6,25%)
82

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penggunaan audio sebagai perintah bernada dapat meningkatkan kemampuan anak dalam menggambar. Dengan demikian audio perintah bernada dapat digunakan dalam pembelajaran pada Pendidikan Anak Usia Dini, baik formal maupun non formal untuk meningkatkan kemampuan pada anak khususnya dalam pembelajaran menggambar. Selain mudah dalam penggunaannya, audio sebagai perintah bernada terbukti sangat efektif meningkatkan kemampuan menggambar, menjadikan pembelajaran lebih menyenangkan serta dapat memotivasi anak dalam belajar sehingga pada akhirnya dapat mengoptimalkan perkembangan anak. Saran Dalam pembelajaran menggambar, supaya kemampuan dan kreatifitas anak berkembang dengan baik guru hendaknya berupaya mencari inovasi pembelajaran yang menarik dan menyenangkan agar perkembangan kemampuan dasar anak berkembang optimal. Penggunaan audio sebagai perintah bernada ini sebaiknya diterapkan dalam pembelajaran menggambar, namun tidak menutup kemungkinan bisa digunakan dan dikembangkan dalam kegiatan lain untuk memudahkan dan memotivasi anak untuk belajar.

DAFTAR RUJUKAN Campbell, Linda. 2004. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences. Depok: Intuisi Press. Esti Wuryani Djiwandono, Sri. 2005, Teknik Menggambar dan Terapi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Muhammad, Asadi. 2009. Belajar dari Lingkungan. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

83

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Optimalisasi Kinerja Teamwork Sekolah melalui Penguatan Tupoksi dan Standard Operating Procedure di SMP Negeri 2 Tapen Bondowoso
Nurhadi9 Abstract: The dynamics of changes and improvements in some aspects of education requires managers and actors of education to strengthen the commitment, sharpening competence, increased professionalism, and Mindset that result in performance to make efficient, effective, and productive performance. School as a provider of educational services is appropriate when schools are obliged to realize the expectations in order to ensure the satisfaction of its customers. The goal of this research is to describe the strengthening of the tasks and functions (Tupoksi) and Standard Operating Procedure (SOP) in order to optimize the performance of the school teamwork. By understanding Tupoksi and SOP as well as its steps to focus the main tasks and responsibilities, is expected to maximize the function of any school personnel in ensuring the achievement of the quality of the productive performance. This study was planned in 2 cycles, through planning, implementation, observation, and reflection. The results of this study demonstrate the effectiveness of the implementation of 9 personnels, who responded effective 77%, very effective 7% and total 84 %, while the productivity performance of every aspect of personnel teamwork showed a significant improvement, as evidenced by the formulation of Standard Operating Procedure appropriate Tupoksi for each personnel Kata Kunci: Optimalisasi Kinerja, Teamwork Sekolah, Tupoksi, Standard Operating Procedure Pendidikan Nasional akhir-akhir ini sedang mengalami berbagai perubahan yang cukup mendasar, terutama berkaitan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), yakni perubahan yang berhubungan dengan manajemen pendidikan, penyempurnaan kurikulum, serta peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan. Perubahan-perubahan yang terjadi sudah pasti menuntut kesiapan para personel sekolah untuk dapat bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Oleh karena itu, untuk menunjang
9

84

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

keberhasilan menghadapi perubahan-perubahan tersebut, perlu dipersiapkan personel sekolah yang mau dan mampu melaksanakan tugasnya secara efektif, efisien, dan produktif. Pengamatan penulis, sebagian personel sekolah, khususnya personel teamwork di SMP Negeri 2 Tapen Kabupaten Bondowoso masih banyak yang belum memahami tugas pokok dan fungsinya, terutama tentang langkah-langkah kerja yang efektif guna meningkatkan kualitas kinerja baik proses maupun produk. Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka penulis merasa perlu segera melakukan tindakan untuk mengoptimalkan kinerja teamwork sekolah melalui penguatan tupoksi dan standar operating procedure (SOP). Bertolak dari paparan di muka, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: Apakah upaya penguatan Tupoksi dan Standard Operating Prosedure dapat mengoptimalkan kinerja teamwork di SMP Negeri 2 Tapen Kabupaten Bondowoso? Secara umum tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mendeskripsikan upaya yang dilakukan kepala sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan mutu pelayanan di sekolah. Sedangkan secara khusus, penguatan Tupoksi dan Standard Operating Prosedure bagi teamwork sekolah bertujuan guna meningkatkan kualitas dan produktivitas kinerja masing-masing personel di SMP Negeri 2 Tapen Kabupaten Bondowoso. Penelitian Tindakan ini diharapkan dapat bermanfaat, antara lain: (1) Bagi peneliti, untuk memperoleh pengalaman langsung tentang penguatan Tupoksi dan Standard Operating Prosedure bagi teamwork sekolah; (2) Bagi guru dan karyawan, untuk meningkatkan kualitas kinerja personel secara menyeluruh; (3) Bagi sekolah, untuk memacu semangat berkarya dengan lebih baik yang akan berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan di sekolah/lembaga. (4) Bagi Dinas Pendidikan, dapat menjadi masukan ilmiah sebagai salah satu strategi guna meningkatkan kualitas kinerja yang efektif menuju layanan prima. Kinerja menurut pendapat para ahli: (1) Menurut Mangkunegara (2000: 67) dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. (2) Menurut Anwar Ambar Teguh Sulistiyani (2003: 223), kinerja merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha, dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. (3) Menurut Malayu S.P. Hasibuan (2001:34), kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Sehingga disimpulkan, Kinerja merupakan hasil kerja secara nyata yang harus dicapai oleh setiap personel dalam melaksanakan tugasnya dengan efektif dan produktif sesuai standar kualitas. Teamwork Sekolah merupakan personel sekolah yang ditunjuk untuk membantu tugas-tugas khusus kepala sekolah. Adapun personel sekolah, yaitu para pendidik dan tenaga kependidikan yang bertugas untuk melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pengelola pendidikan.
85

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Tupoksi, merupakan rincian tugas-tugas yang diberikan kepada personel organisasi sekolah guna mempermudah dalam melaksanakan peran, fungsi, serta tanggung jawabnya dalam mencapai tujuan secara profesional.
Tabel 1. Contoh Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) personel Teamwork
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Personel Tim Kepala Sekolah Wakasek Urusan Kesiswaan Urusan Kurikulum Urusan Sarpras Urusan Humas Koordinator BK Koordinator TU Bendahara BOS Uraian Tugas Penanggung jawab penyusunan SOP Penyusunan SOP RKJM dan EDS Penyusunan SOP PPDB dan Ekstrakurikuler Penyusunan SOP Reviu KTSP dan Dokumen kurikulum Penyusunan SOP Program RPS Penyusunan SOP Program Kemitraan Penyusunan SOP Budaya dan Lingkungan Sekolah Penyusunan SOP Administrasi dan Kearsipan Penyusunan SOP RAPBS-RKAS

Standard Operating Prosedure (SOP), standard adalah minimum level, yakni suatu patokan pencapaian tujuan berbasis mutu yang ditetapkan. Kriteria Standard meliputi: specific, measurable, appropriate, reliable, timely (SMART). Secara sederhana Standard Operating Prosedure (SOP) berarti dokumen tertulis yang berisi panduan bagi elemen organisasi mengenai bagaimana menjalankan pekerjaan sesuai dengan mutu kinerja yang diharapkan (Nafik Palil, 2012: 7). SOP berfungsi sebagai navigator untuk memberikan panduan kepada anggota-anggota organisasi bagaimana bekerja secara konstruktif dan sistemik bagi pencapaian mutu proses dan mutu produk organisasi. Langkah-langkah penyusunan Standard Operating Prosedure (SOP), meliputi: (1) Identifikasi mutu dari dari output pendidikan yang ingin dicapai oleh sekolah; (2) Identifikasi setiap tahapan proses dan elemen pendukung pencapaian output pendidikan; (3) Jabarkan aktivitas kunci yang dilakukan di setiap tahapan proses dan elemen pencapaian standar mutu; (4) Identifikasi rangkaian sub aktivitas dari setiap aktivitas kunci; (5) Menyusun Standard Operating Prosedure dari setiap sub aktivitas secara rinci. METODE Penelitian tindakan ini dilakukan di SMP Negeri 2 Tapen, Jalan Raya Situbondo No.4 Kecamatan Tapen, Kabupaten Bondowoso. Pelaksanaan penelitian dimulai tanggal 7 Mei s.d. 17 Juni 2013. Adapun Subyek penelitian hanya terbatas pada Temwork sekolah, berjumlah 9 personel terdiri dari: Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Urusan Kesiswaan, Urusan Kurikulum, Urusan Sarpras, Urusan Humas, Koordinator BK, Koordinator Tata Usaha, dan Bendahara BOS. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Sekolah (School Action Research), Rencana Penelitian sebanyak 2 siklus, rancangan masing-masing siklus terdiri dari 4

86

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

tahapan, meliputi: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi, seperti gambar berikut:
PELAKSANAAN PERENCANAAN SIKLUS -1 REFLEKSI PELAKSANAAN PERENCANAAN YANG DIREVISI SIKLUS -2 PENGAMATAN PENGAMATAN

REFLEKSI

Gambar 1. Alur Penelitian model Kemmis dan Taggart (Wardhani, 2007:45)

Perencanaan Tindakan (Planning) Meliputi: (1) Pertemuan teamwork sekolah untuk menyusun jadwal pelaksanaan penelitian; (2) Pembagian tugas personel teamwork sekolah sesuai Tupoksi; (3) Menyiapkan format catatan/buram untuk mengidentifikasi mutu dari output yang ingin dicapai dalam penyusunan SOP; (4) Menyiapkan format SOP dan instrumen pendukung. Pelaksanaan Tindakan (Acting) Langkah-langkahnya: (1) Kepala sekolah memberikan penguatan dan pemahaman tentang Tupoksi dan langkah-langkah penyusunan Standard Operating Procedure; (2) Kepala sekolah membagikan format SOP kepada masing-masing personel tim untuk menyusun draf SOP pada format sesuai tanggung jawabnya dengan menjabarkan aktivitas kunci yang dilakukan di setiap tahapan proses/elemen pencapaian standar mutu; (3) Personel tim yang telah menyelesaikan penyusunan SOP, dipersilakan untuk presentasi dan anggota yang lain menanggapi serta memberikan masukan; (4) Tugas selanjutnya menyempurnakan penyusunan SOP (draf revisi). Pengamatan (Observing) Kepala sekolah didampingi pengawas bina atau guru senior yang ditunjuk sebagai kolaborator melakukan pengamatan yang meliputi: (1) Aktivitas masing-masing personel tim dalam kegiatan menyusun SOP; (2) Kemampuan anggota dalam mempresentasikan hasil kerjanya; (3) Mencatat hal-hal yang muncul dalam pelaksanaan, serta rencana tindak lanjut.

87

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Refleksi (Reflecting) Kegiatan yang dilakukan adalah: (1) Menganalisis seluruh data hasil pelaksanaan masing-masing siklus; (2) Mengidentifikasi temuan-temuan selama kegiatan berlangsung yang menyangkut kekuatan dan kelemahan penyusunan SOP; (3) Menetapkan alternatif pemecahan masalah untuk perbaikan dan sekaligus dijadikan dasar pada perencanaan siklus berikutnya (Replanning). Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode/teknik pengumpulan data secara deskriptif-kualitatif yang diperoleh dari hasil observasi, catatan data lapangan, hasil refleksi/diskusi yang dilakukan oleh peneliti bersama teamwork. Teknik pengumpulan data meliputi: (1) Kuisioner Efektivitas Personel, untuk mengukur tingkat keefektifan pelaksanaan; (2) Format Observasi dan Catatan Lapangan, terhadap proses penyusunan SOP serta kegiatan presentasi masing-masing personel yang ditekankan pada aktivitas dan cara presentasi serta argumentasi. Hasil pengamatan dari peneliti dan mitra peneliti selanjutnya dijadikan catatan data lapangan (Field notes). Menurut Prof. Dr. Rochiati Wiriaatmaja (2005:125): Sumber informasi yang sangat penting dalam penelitian ini adalah catatan lapangan (field notes) yang dibuat oleh peneliti/mitra peneliti yang melakukan pengamatan atau observasi. (3) Catatan hasil refleksi, diperoleh melalui kegiatan diskusi peneliti dan mitra peneliti untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan kegiatan penelitian. Indikator Keberhasilan Untuk mengetahui keberhasilan penelitian ini, maka ditetapkan indikator keberhasilan: (1) Pemahaman terhadap Tupoksi dengan indikator meningkatnya komitmen, kompetensi, serta profesionalisme masing-masing personel teamwork dalam melaksanakan tugas; (2) Tersusunnya Standard Operating Procedure dan masingmasing personel mampu menerapkan SOP; (3) Kinerja personel sekolah sudah semakin efektif, khususnya fokus pada mutu proses dan mutu produk dengan prosentase keberhasilan/keefektifan 75 %.
Jawaban efektif/sangat efektif

FORMULASI KEBERHASILAN =
Responden + Pertanyaan

HASIL Kondisi awal sebelum dilakukan tindakan sebagian besar personel sekolah, khususnya personel teamwork di SMP Negeri 2 Tapen Kabupaten Bondowoso masih banyak yang belum memahami tugas pokok dan fungsinya, terutama tentang langkahlangkah kerja yang efektif guna meningkatkan kualitas kinerja baik proses maupun produk. Dari hasil pengamatan secara umum ada lima indikator yang dapat digunakan sebagai refleksi awal, yakni: (1) Pemahaman personil terhadap Tupoksi masih sangat
88

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

rendah; (2) Strategi bekerja masih manggunakan cara-cara konvensional yang belum terstandar dan kurang sistematik; (3) Komitmen personel masih mengacu pada perintah dan kontrol kepala sekolah; (4) Kompetensi dan kapasitas individu personel belum merata; (5) Hasil kerja kurang optimal dan prosedur kerja belum efektif. Berikut deskripsi hasil pelaksanaan penelitian, analisis data, dan pengujian hiptesis dari masing-masing siklus:

Siklus-1
1. Perencanaan, hal yang dilakukan pada tahap ini, antara lain: (1) merumuskan masalah yang akan dicarikan pemecahannya; (2) merumuskan indikator keberhasilan dan menetapkan 75 % batas minimal keberhasilan; (3) merencanakan langkahlangkah kegiatan dan menyiapkan instrumen penelitian. 2. Pelaksanaan, skenario yang dilakukan, meliputi: (1) Penguatan dan pemahaman tupoksi teamwork dalam penyusunan SOP; (2) Hasil penyusunan SOP dipresentasikan untuk ditanggapi dan diberikan masukana; (3) Draf SOP lalu disempurnakan melalui revisi dari berbagai masukan.
Tabel 2. SOP PPDB yang disusun oleh Urusan Kesiswaan Nama Lembaga: SMPN 2 TAPEN Tanggal Pengesahan: ......................................
STANDARD OPERATING PROCEDURE
1 2 Judul Tujuan SOP PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU Tahun Pelajaran 2013/2014 1) Memenuhi target PPDB sesuai pagu (maks 180 siswa) 2) Menyeleksi input siswa secara transparan dan akuntabel 3) Melaksanakan Masa Orientasi Siswa (MOS) Referensi SK Ka. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jatim Nomor: 188.4/2016/103.02/2013 tentang Pedoman PPDB Tahun Pelajaran 2013 /2014, dan peraturan yang relevan Pihak terkait Kepsek, Wakasek, urusan Kesiswaan, dan staf TU Dok. administrasi Domnis PPDB, Brosur PPDB, SK Panitia, Administrasi PPDB, Formulir Pendaftaran, Papan Informasi,dll. 1) Membentuk Kepanitiaan PPDB TP. 2013/2014 2) Membuat Brosur dan Banner informasi PPDB 3) Sosialisasi Program dan publikasi seputar PPDB serta program unggulan sekolah 4) Mencetak formulir pendaftaran peserta didik baru dan administrasi pendukung 5) Membuat Desain mekanisme pendaftaran PPDB, time schedule, dan job Prosedur Kerja description Kepanitiaan 6) Melaksanakan kegiatan PPDB sesuai domnis dan aturan yang berlaku 7) Mengumumkan hasil PPDB kepada khalayak secara transparan dan konsisten. 8) Melaksanakan pendaftaran ulang bagi yang diterima serta pembagian kelas 9) Melaksanakan kegiatan MOS, dst Informasi Penting 1) Waktu dan tempat pendaftaran PPDB: ........ 2) Prosedur Seleksi PPDB: ............. 3) Pengumuman PPDB dan Daftar Ulang: ......... 4) Kegiatan MOS: .......................... Mengetahui, Urusan Kesiswaan Kepala Sekolah Selaku Ketua Pelaksana ...................... ......................

Kode Dokumen: SOP/SIS-002 Tanggal Revisi: ....................................

4 5

89

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

3. Pengamatan, catatan Kolaborator pada saat pelaksanaan menunjukkan skor rata-rata hasil pengamatan adalah Cukup Efektif dari 5 aspek yang diamati, yang menjawab cukup efektif 27% dan yang menjawab efektif 73%, artinya pemberian tindakan belum mencapai target yang ditetapkan yaitu 75%.
Tabel 3. Data hasil observasi terhadap aktivitas peserta
No 1 2 3 4 5 Aspek Yang Diobservasi Aktivitas kerja Tim Strategi personel dlm Penyusunan SOP Performa personel saat Presentasi Cara Berdiskusi dan berargumentasi Ketuntasan dalam Penyusunan SOP Skor 1 2 3 x x x x 4 x Keterangan Antusiasme Tim Penerapan teknik dan metode penyusunan SOP Cara penyampaian Cara mempertahankan argumentasi Hasil tulisan final

Keterangan: skor 1 = kurang, 2 = cukup, 3 = baik, 4 = sangat baik Tabel 4. Data hasil kuisioner terhadap efektivitas pelaksanaan tindakan
JUMLAH JAWABAN PERTANYAAN / PERNYATAAN 1. Apakah kebijakan Kepala Sekolah dalam penunjukan teamwork sekolah melalui beberapa kriteria, menurut pendapat Anda sudah efektif ? 2. Apakah upaya yang dilakukan Kepala Sekolah dalam rangka mengoptimalkan Kinerja Teamwork Sekolah melalui penguatan Tupoksi dan SOP menurut pendapat Anda sudah efektif? 3. Apakah penyusunan SOP sebagai langkah kerja akan membantu memudahkan tugas-tugas Anda di sekolah secara efektif dan produktif? 4. Apakah Anda puas dengan hasil kerja penyusunan Standard Operating Procedure (SOP) yang telah Anda rancang ? 5. Apakah Anda yakin jika SOP ini dilaksa-nakan dapat meningkatkan mutu proses dan produk serta mekanisme kerja menjadi sistematis dan sistemik ? JUMLAH Prosentase TE CE 2 E 7 SE

3 2 3 -% 12 27 %

6 7 6 33 73 % -%

Keterangan: Tidak efektif (TE), Cukup efektif (CE), Efektif (E), Sangat efektif (SE)

4. Refleksi, dengan melakukan refleksi kekuatan dan kelemahan pelaksanaan siklus 1 bersama kolaborator. Hasil siklus 1 menunjukkan tingkat keberhasilan masih di bawah target minimal, yakni hanya 73 %, sehingga perlu dirancang ulang tindakan pada siklus berikutnya . Siklus-2 1. Perencanaan, meliputi: (1) merancang ulang kegiatan secara lebih rinci dan lebih sempurna; (2) menyiapkan instrumen pendukung secara lengkap.

90

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

2. Pelaksanaan, meliputi: (1) Kepala Sekolah didampingi Pengawas Bina memperjelas dan mempertegas tentang tupoksi teamwork dalam penyusunan SOP; (2) Hasil penyusunan SOP kembali dipresentasikan secara paripurna; (3) Hasil penyusunan SOP Final selanjutnya ditandatangani dan disahkan Kepala Sekolah serta siap untuk dilaksanakan. 3. Pengamatan, catatan kolaborator menunjukkan adanya peningkatan dari 5 aspek yang diamati, seperti terlihat pada lembar observasi dan format kuisioner yang menunjukkan efektivitas pelaksanaan sudah melampaui target yang ditetapkan yaitu mencapai total keberhasilan 84 %, artinya sudah efektif.
Tabel 5 Data hasil observasi terhadap aktivitas peserta
NO 1 2 3 4 5 ASPEK YANG DIOBSERVASI Aktivitas kerja Tim Strategi personel dlm Penyusunan SOP Performa personel saat Presentasi Cara Berdiskusi dan berargumentasi Ketuntasan dalam Penyusunan SOP 1 SKOR 2 3 x x x x 4 x KETERANGAN Antusiasme Tim Penerapan teknik dan metode penyusunan SOP Cara penyampaian Cara mempertahankan argumentasi Hasil tulisan final

Keterangan: skor 1 = kurang, 2 = cukup, 3 = baik, 4 = sangat baik Tabel 5 Data hasil kuisioner terhadap efektivitas pelaksanaan tindakan
JUMLAH JAWABAN PERTANYAAN / PERNYATAAN 1. Apakah kebijakan Kepala Sekolah dalam penunjukan teamwork sekolah melalui beberapa kriteria, menurut pendapat Anda sudah efektif ? 2. Apakah upaya yang dilakukan Kepala Sekolah dalam rangka mengoptimalkan Kinerja Teamwork Sekolah melalui penguatan Tupoksi dan SOP menurut pendapat Anda sudah efektif? 3. Apakah penyusunan SOP sebagai langkah kerja akan membantu memudahkan tugas-tugas Anda di sekolah secara efektif dan produktif? 4. Apakah Anda puas dengan hasil kerja penyusunan Standard Operating Procedure (SOP) yang telah Anda rancang ? 5. Apakah Anda yakin jika SOP ini dilaksa-nakan dapat meningkatkan mutu proses dan produk serta mekanisme kerja menjadi sistematis dan sistemik ? JUMLAH Prosentase TE CE E 7 SE 2

3 -% 7 15 %

6 35 78 % 3 7%

Keterangan: Tidak efektif (TE), Cukup efektif (CE), Efektif (E), Sangat efektif (SE)

4. Refleksi, kekuatan dan kelemahan pelaksanaan siklus 2 dengan melibatkan kolaborator dan seluruh anggota Tim untuk menyimpulkan hasil penelitian. Dari
91

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

hasil pelaksanaan siklus 2 ternyata sudah berhasil dari ditentukan, untuk itu tidak perlu dilakukan tindakan lanjutan.

capaian target yang

PEMBAHASAN Secara umum pelaksanaan kegiatan penguatan Tupoksi dan Standard Operating Procedure (SOP) terlaksana dengan efektif, dan respon peserta juga positif setelah diberikan penguatan tentang Tupoksi dan SOP yang ternyata memberikan banyak kemudahan dalam melaksanakan tugas di sekolah. Hasil pelaksanaan tindakan sudah melampaui standar minimal dan mencapai total prosentase keberhasilan 84 % dan terbukti meningkatkan mutu proses dan produk dalam mengoptimalkan kinerja teamwork sekolah. Peneliti mengumpulkan data dari hasil kuisioner yang diisi oleh responden/peserta, juga catatan kolaborator. Data yang terkumpul selanjutnya dipersiapkan ke tahap pengolahan/anlisis data, meliputi: (1) Data dari hasil observasi dipergunakan untuk mengukur/mengetahui aktivitas dan keberhasilan pelaksanaan penelitian; (2) Data kuisioner isian oleh responden/peserta digunakan untuk mengukur/mengetahui tingkat keterlaksanaan dan efektivitas kegiatan.
80 70 60 50 40 30 20 10 0 TE CE E SE
Siklus 1 Siklus 2

Keterangan: Tidak efektif (TE), Cukup efektif (CE), Efektif (E), Sangat efektif (SE)

Gambar 2 Data Perbandingan Hasil Penelitian pada siklus 1 dan siklus 2 Dengan menganalisis data hasil pelaksanaan tindakan, maka penelitian dinyatakan terbukti berhasil dengan efektif dan pelaksanaan penelitian diakhiri pada siklus 2. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Terjadi peningkatan pemahaman personel sekolah terhadap tupoksinya sebagai pengelola pendidikan, sehingga dapat lebih fokus pada tugas dan tanggung jawabnya; (2) Meningkatnya kemampuan teamwork dalam menyusun dan melaksanakan Standard Operating Procedure (SOP) sebagai pedoman pelaksanaan tugas di sekolah sehingga berdampak
92

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

pada kinerja yang sistematik dan produktif; (3) Terpenuhinya kualitas kinerja teamwork baik dari segi proses maupun mutu produk sesuai standar mutu yang diharapkan. Dari pembahasan di atas disarankan: (1) Bagi seluruh personel SMP Negeri 2 Tapen, diharapkan untuk terus berupaya memutahirkan pengetahuan, mengasah kompetensi, dan menyusun langkah-langkah kerja yang inovatif agar dalam pelaksanaan tugas rutin sesuai tupoksi di sekolah dapat menghasilkan produk yang bermutu tinggi; (2) Bagi Kepala Sekolah, penguatan Tupoksi dan penerapan standard operating procedure (SOP) besar manfaatnya bagi lembaga guna meningkatkan kinerja teamwork yang efektif, produktif, serta sistemik; (3) Bagi pengawas dikmen diharapkan dapat memberikan masukan dan pembinaan secara konsisten dan berkelanjutan kepada seluruh kepala sekolah, agar kualitas pengelolaan dan layanan pendidikan di Bondowoso terus mengalami peningkatan.

DAFTAR RUJUKAN Depdiknas. 2003. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Hasibuan, Malayu. 2003. Organisasi dan Motivasi. Jakarta: Bumi Aksara. Mulyasa, Enco. 2006. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muslim, Sri Banun. 2008. Supervisi Pendidikan Meningkatkan Kualitas Profesionalisme Guru. Mataram: Alphabeta. Palil, Nafik. 2012. How to Build Systemic Schools with Standard Operating Procedure. Sidoarjo: Zifatama Publishing. Pelangi Pendidikan. 2008. Deklarasi Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Jakarta: Depdiknas. Saukah , Ali, Dkk. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: UM Press.

93

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Peningkatan Hasil Belajar Matematika Tentang Pengukuran Dengan Menggunakan Alat Peraga Konversi Pada Siswa Kelas IV SDN Lumutan 1

Panji Amboro10

Abstract: This study aims to improve student learning outcomes for elementary school grade four Lumutan 1 on Mathematics. The results of a study was 57 average, well below the Math minimum completeness criteria (KKM). From the above problems researchers used conversion measurement method. This study used 2 cycles. The first learning cycle results (69) and the second cycle was (76) with a total average was 72.5. Kata Kunci: Alat Peraga Konversi dan Hasil Belajar.

Hubungan antar-satuan panjang dan berat merupakan salah satu kompetensi pengukuran pada mata pelajaran matematika sekolah dasar. Kompetensi ini mempunyai kedudukan kuat bagi pemahaman anak dalam mengaplikasikan konsep matematika ke dalam kehidupan sehari-hari. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika pada kajian teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit.Untuk menguasai dan mencipta teknologi masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Dengan demikian materi pengukuran tentang hubungan antar-satuan panjang dan berat merupakan salah satu bagian materi penting yang diajarkan di kelas IV. Ketika guru membuat skenario pengajaran yang dimulai dengan hubungan antar-satuan panjang, guru menemui berbagai kesulitan yang dihadapi oleh siswa, guru menyakini kompetensi pengukuran tentang hubungan antar-satuan panjang memiliki kerumitan yang cukup tinggi secara umum. Materi tersebut memuat kemampuan mengkonversi nilai pada satu satuan ke dalam satuan lainnya. Hal tersebut dapat dilakukan jika siswa:
10

Panji Amboro, S.Pd, M.Pd adalah guru SDN Lumutan 1 Kecamatan Botolinggo, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Guru berprestasi 1 jenjang SD tingkat Kabupaten Bondowoso tahun 2013 94

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

(1) mengetahui urutan satuan hubungan antar-satuan panjang; (2) mengetahui besarnya nilai hubungan antar-satuan panjang; (3) mengetahui cara mengoperasikan untuk mengubah antar-satuan panjang; (4) memahami operasi hitung campuran suatu bilangan; (5) teliti dalam menghitung. Kenyataan yang terjadi di kelas IV SD Negeri Lumutan 1 yang berjumlah 20 siswa yang terdiri dari 7 siswa perempuan dan 13 siswa laki-laki sering kali mengalami kesulitan dalam hal: urutan satuan panjang, kebanyakan siswa tidak hafal urutan dari terbesar ke yang terkecil urutan suatu satuan panjang terkadang juga terbalik urutannya, sehingga untuk masalah tersebut guru memakai jembatan keledai untuk mengatasinya. Misalnya untuk satuan panjang jembatan keledai yang disampaikan kepada siswa kalau hantu datang makan daun cabe merah ini mengadung arti kalau (km) hantu (hm) datang (dam) makan (m) daun (dm) cabe (cm) merah (mm). Untuk satuan berat dan volume tetap menggunakan jembatan keledai tersebut cuma berbeda pada gr dan liter, untuk gram dan liter dikiaskan menjadi gigit (gr) dan lahap (liter), gigit dan lahap merupakan satu makna yaitu sama artinya dengan makan (meter) sehingga siswa tidak khawatir lagi kalau bertemu dengan satuan panjang, berat dan volume cara menghafalkan urutannya sama, hanya berbeda nilainya antara satuan panjang, berat dan volum. Siswa masih ada yang tidak mengetahui besarnya nilai satuan yang dituju/ disamakan misalnya untuk mengubah dari 1 km menjadi meter, siswa banyak yang menyebutkan dikalikan 30 maksud dari pengertian siswa karena turun 3 tangga maka dikalikan 30, setiap turun 1 tangga dikalikan 10 sehingga siswa berpikiran dengan; turun 1 tangga 10, maka kalau turun 3 langkah sama artinya ditambah 10 tiap langkah, hal ini yang menjadikan salah kaprah dalam pengerjaan hubungan antar-satuan panjang. Apalagi jika dihadapkan pada soal cerita, maka masalah akan semakin sulit. Dalam hal ini juga terlihat bahwa hasil belajar siswa sangat rendah terhadap materi pengukuran tentang hubungan antar-satuan panjang, 25 % persen siswa dinyatakan tuntas, sedangkan sisanya 75 % tidak tuntas, sedangkan nilai rata-rata siswa sebesar 57 masih di bawah KKM yaitu 66. Selain itu motivasi atau aktivitas siswa yang rendah, hal ini dikarenakan metode guru masih menggunakan metode konvensional yaitu ceramah dan tidak memakai media pembelajaran atau alat peraga dalam penyampaian materi. Dienes dalam Sukayati (2009:1) menyatakan bahwa setiap konsep atau prinsip matematika dapat dimengerti secara sempurna hanya jika pertama-tama disajikan kepada peserta didik dalam bentuk-bentuk kongkret. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa betapa pentingnya memanipulasi obyek-obyek/alat dalam bentuk permainan yang dilaksanakan dalam pembelajaran. Jerome S. Bruner dalam Sukayati (1992:5) menyatakan bahwa anak dalam belajar konsep matematika melalui tiga tahap, yaitu enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enactive yaitu tahap belajar dengan memanipulasi benda atau obyek konkret, tahap econic yaitu tahap belajar dengan menggunakan gambar, dan tahap symbolic yaitu tahap belajar matematika melalui manipulasi lambang atau simbol. Selanjutnya, Sukayati (2009:9) menjelaskan, prinsipprinsip dalam penggunaan alat peraga, di antaranya: (1) Penggunaan alat peraga hendaknya sesuai dengan tujuan pembelajaran; (2) Alat peraga yang digunakan
95

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

hendaknya sesuai dengan metode/strategi pembelajaran; (3) Tidak ada satu alat peraga pun yang dapat atau sesuai untuk segala macam kegiatan belajar; (4) Guru harus terampil menggunakan alat peraga dalam pembelajaran; (5) Peraga yang digunakan harus sesuai dengan kemampuan siswa dan gaya belajarnya; (6) Pemilihan alat peraga harus obyektif, tidak didasarkan kepada kesenangan pribadi; (7) Keberhasilan penggunaan alat peraga juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Peneliti terinspirasi ketika mendengarkan sebuah acara on the spot televisi swasta yang menyebutkan 7 orang memacu adrenalin, salah satunya seseorang berjalan antar tebing menggunakan tali dan tongkat dengan ketinggian 10.000 kaki, kemudian peneliti ingin mengetahui berapa ukuran baku untuk 1 kaki menurut acara tersebut? Dengan adanya informasi tersebut peneliti mencoba membuka handphone yang memiliki fasilitas konversi, ternyata 1 kaki 12 inci sedangkan 1 inci 2,54 cm, jadi 1 kaki sama dengan 30,48 cm dengan demikian orang tersebut melewati tali dengan menggunakan tongkat pada ketinggian 304.800 cm atau 3,048 km. Dari pengalaman tersebut kemudian peneliti berfikir kalau konversi ini diwujudkan dalam bentuk nyata bukan aplikasi dari handphone melainkan berupa alat peraga sederhana untuk pengukuran dengan menyamakan nilai satuan panjang dan berat yang sejenis. Maksudnya menyamakan nilai dari hubungan antar-satuan panjang yang sejenis. Contohnya 1 km = ... meter, 1 mm = ... hm dan lain-lain, kemudian mengubah hubungan antar-satuan berat yang sejenis, contohnya 1 kg= ... dag, 1 ons = ... kg. Upaya perbaikan pembelajaran dalam penelitian ini ditetapkan berupa alat peraga konversi. Hasil Belajar Tentang Hubungan Antar-satuan Panjang dan Berat Menurut Degeng dalam Ahmad Rohani (1999:32) bahwa hasil belajar adalah semua efek yang didapat dan dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari pengguna pengajaran di bawah kondisi yang berbeda. Senada dengan pendapat di atas Sudjana (2002:22) mengatakan bahwa hasil belajar adalah suatu kegiatan untuk melihat sejauh mana tujuan-tujuan instruksional (mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotoris) yang telah dikuasai oleh siswa. Dengan demikian hasil belajar pada siswa berbeda-beda hal ini banyak faktor yang mempengaruhi, karena pada dasarnya karakteristik siswa yang berbeda-beda, selain bisa karena faktor intern (dari diri sendiri) atau faktor ekstern (dari lingkungan). Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar Djamarah (2002:115) menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya seseorang dalam belajar disebabkan oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu dan faktor dari luar individu. Clark dalam Trianto (2007) mendukung hal tersebut dengan menyatakan bahwa 70% hasil belajar siswa di sekolah dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi lingkungan.

96

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Konsep hubungan antar-satuan panjang dan berat Untuk membandingkan atau mengukur panjang benda diperlukan alat ukur. Untuk mengukur panjang buku, pensil, jari, dapat digunakan penggaris. Untuk mengukur lebar lantai, tinggi rumah, dan meja dapat digunakan meteran atau rol meter. Satuan panjang yang dikenalkan pada siswa kelas IV semester 1 meliputi km (kilometer), hm (hektometer), dam (dekameter), m (meter), dm (desimeter), cm (sentimeter), mm (milimeter). Adapun hubungan antar satuan panjang menurut Burhan Mustaqim adalah sebagai berikut:

Satuan berat yang dikenalkan Nur Fajariyah (2008:126) adalah sebagai berikut:

Alat Peraga Konversi Sebagai Sebagai Media Pembelajaran Pengertian Alat Peraga Media pembelajaran diartikan sebagai semua benda yang menjadi perantara dalam terjadinya pembelajaran. Berdasar fungsinya media dapat berbentuk alat peraga dan sarana. Menurut Estiningsih dalam Siddiq (2008:3-5) alat peraga merupakan media pembelajaran yang mengandung atau membawakan ciri-ciri konsep yang dipelajari. Contoh: papan tulis, buku tulis, dan daun pintu yang berbentuk persegi panjang dapat berfungsi sebagai alat peraga bangun geometri dalam persegi panjang. Achmad dalam Dahar (1996:1) menyatakan bahwa:
97

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Alat peraga merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikan sesuatu atau isi pelajaran, memperjelas, dan menarik perhatian siswa sehingga dapat mendorong proses pembelajaran, yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar. Alat peraga sebaiknya mudah cara menggunakannya, tidak berbahaya, mudah dicari, murah harganya, dan lebih utama lagi siswa dapat membuatnya sendiri Menurut Daryanto dalam Tim Penyusun Modul FKIP UNEJ (2012) Alat peraga adalah alat yang dapat membantu proses belajar mengajar yang berfungsi memperjelas makna pesan yang disampaikan sehingga tujuan pembelajaran tercapai dengan baik. Fungsi utama alat peraga adalah untuk menurunkan keabstrakan dari konsep, agar anak mampu menangkap arti sebenarnya dari konsep yang dipelajari. Dengan demikian alat peraga pendidikan merupakan alat pembelajaran yang sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar, karena dengan menggunakan alat peraga pembelajaran akan lebih menarik dan hasil belajar lebih meningkat. Alat Peraga konversi hubungan antar-satuan panjang dan berat Yang dimaksud dengan alat peraga konversi untuk menghitung hubungan antar satuan panjang adalah sebuah tabel yang berisikan satuan panjang, isi dari tabel masih kosong karena tabel tersebut nantinya akan diisi oleh siswa untuk menyamakan nilai pada satuan panjang lainnya/dikonversi. Yang dimaksud dengan alat peraga konversi untuk menghitung hubungan antar-satuan berat adalah sebuah tabel yang berisikan satuan berat, isi dari tabel masih kosong karena tabel tersebut nantinya akan diisi oleh siswa untuk menyamakan nilai pada satuan berat lainnya/dikonversi Kelebihan tabel ini, adalah; siswa mudah mengerjakan konversi hubungan antar-satuan panjang, siswa langsung mengetahui hasil konversi satuan panjang atau satuan berat, siswa yang lemah dalam operasi hitung bisa teratasi dengan menggunakan konversi satuan panjang dan berat, alat peraga dapat dibuat secara mandiri oleh siswa. Gambar alat peraga konversi dapat dilihat di bawah ini:
Konversi km kg hg dag gr dg cg mg hm dam m dm cm mm

Gambar 3. Alat peraga konversi


98

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Proses pembuatan alat peraga konversi Alat dan bahan Alat : gergaji besi, skotlet warna merah,kuning dan hijau, dan penggaris Bahan : triplek Cara Pembuatannya Potong triplek ukuran 80 cm x 80 cm Haluskan tepian triplek agar tidak berbahaya apabila terkena gesekan kulit pada siswa atau orang lain. Buatlah sketsa tabel dengan menggunakan penggaris dan pensil Tempelkan skotlet yang berwarna warni pada tiap-tiap bagian kolom atau baris Tuliskan judul dan satuan ukuran panjang dan berat pada sisi atas dan samping tabel yang dibuat. Kerangka Konseptual Hubungan antara penggunaan alat peraga konversi dengan peningkatan hasil belajar Hubungan antara penggunaan alat peraga dengan proses pembelajaran Jerome Brunner dalam Pujiati (2011:2) menyatakan bahwa untuk proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar secara optimal), jika pengetahuan yang dipelajari itu dalam 3 tahap yaitu: 1) tahap enaktif; 2) tahap ikonik; 3) tahap simbolis Berdasarkan uraian di atas, penggunaan alat peraga akan memudahkan guru melaksanakan proses pembelajaran, memudahkan siswa menangkap materi yang disajikan, khususnya untuk hal-hal yang berisi tentang konsep-konsep abstrak. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa dengan menggunakan panca indera siswa lebih menangkap pesan yang disampaikan oleh guru. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat peraga yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan siswa akan dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Hasil yang diperoleh Indikator keberhasilan ditetapkan memperhatikan potensi siswa, kerumitan materi dan daya dukung. Indikator keberhasilan berupa ketuntasan hasil belajar siswa secara rata-rata sebesar 66. Hal ini sesuai dengan KKM untuk mata pelajaran matematika kelas IV SDN Lumutan 1. Indikator ini diukur dari nilai rata-rata hasil belajar yang dilakukan setiap akhir siklus. Indikator ini menjadi acuan bagi peneliti bersama kolaborator dalam mengkaji tercapai tidaknya penelitian tindakan kelas yang dilakukan. Apabila hasil penelitian telah mencapai hasil sama/ lebih besar sama dengan indikator yang ditetapkan, maka penelitian dihentikan. Sebaliknya apabila hasil belajar masih di bawah nilai indikator yang ditetapkan, maka penelitian perlu dilanjutkan ke siklus selanjutnya dengan memperhatikan saran kolaborator dan peneliti pada akhir siklus untuk menjadi bahan perbaikan pada siklus berikutnya. Berikut indikator keberhasilan:
99

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Tabel 1. Indikator Keberhasilan Penelitian


No 1 Hasil Belajar Hubungan antar-satuan panjang Hubungan antar-satuan berat Rata-rata hubungan antar satuan panjang dan berat Indikator Keberhasilan 66 Cara mengukur Dihitung dari jumlah perolehan hasil belajar seluruh siswa pada akhir siklus 1 dibagi jumlah siswa Dihitung dari jumlah perolehan hasil belajar seluruh siswa pada akhir siklus 2 dibagi jumlah siswa Dihitung dari jumlah perolehan rata-rata hasil belajar seluruh siklus

66

66

Hasil Siklus 1 Dari pelaksanaan siklus 1 diperoleh hasil belajar siswa pada akhir pertemuan 1 mencapai 63,50. Sedangkan hasil tes pada akhir pertemuan 2 mencapai 74,50. Apabila kedua data tersebut dirata-ratakan akan diperoleh nilai kemampuan siswa sebesar 69. Data selengkapnya dalam tabel 3 di bawah ini: Tabel 2. Hasil belajar siklus 1
Tahapan Pene-litian Sub materi/ kompetensi Hasil belajar Indikator Akhir Umum/ keberhasila n Siklus total Keputusan penelitian Ketuntasan belajar sub kompetensi hubungan antarsatuan panjang telah mencapai indikator keberhasilan. Ketuntasan belajar secara umum yang mencakup tentang hubungan antar-satuan panjang dan berat belum mencapai indikator keberhasilan, sehingga perlu dilanjutkkan penelitian siklus ke 2

Pemahaman Konsep hubungan antar- 63,50 satuan panjang Siklus 1 34,5 Pemecaham masalah yang berhubungan 74,50 dengan hubungan antar-satuan panjang 69 66

Rata-rata akhir siklus 1

Angka tersebut belum menjadi indikator keberhasilan/kegagalan dalam penelitian ini dikarenakan kompetensi yang dikaji baru 1 kompetensi dari bagian kompetensi utuh yaitu prestasi hasil belajar siswa tentang pengukuran khususnya hubungan antar-satuan panjang dan berat. Peneliti dan kolaborator berupaya memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada di pertemuan 1 pada pertemuan selanjutnya. Hal ini juga didasari oleh kompleksitas tuntutan indikator keberhasilan yang diharapkan, dimana indikator keberhasilan mengharapkan siswa mampu secara baik menguasai ketiga sub pokok materi yaitu hubungan antar-satuan panjang, hubungan dan antar-satuan berat.

100

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Hasil Siklus 2 Hasil catatan penelitian dan kolaborator mencatat temuan penelitian sebagai berikut, hasil belajar siswa pada akhir pertemuan 1 mencapai rata-rata sebesar 74 dan pada akhir pertemuan 2 mencapai 78. Dengan demikian hasil belajar rata-rata pada akhir siklus 2 mencapai 76. Dalam bentuk tabel dapat kita lihat secara rinci perolehan nilai pada siklus 2 pertemuan 1 dan 2 di bawah ini: Tabel 3. Hasil belajar siklus 2
Tahap an Pene litian Hasil belajar Sub materi/ kompetensi Pemahaman Konsep hubungan antarsatuan berat Pemecaham masalah yang berhubungan dengan hubungan antar-satuan berat Akhir Siklus 74 Umum/ total Indi kator keber hasilan Keputusan penelitian Ketuntasan belajar secara umum yang mencakup tentang hubungan antar-satuan panjang dan berat sudah mencapai indikator keberhasilan, sehingga penelitian dihentikan

Siklus 2

78

72,5

66

Rata-rata akhir siklus 2

76

Hasil belajar ini apabila dibandingkan dengan indikator keberhasilan akan tampak sebagaimana berikut: Tabel 4. Nilai sub materi hubungan antar-satuan berat
No Hasil Belajar Indikator Keber hasilan 66 66 66 Hasil akhir siklus 2 69 76 72,5 Keputusan penelitian Hasil akhir penelitian siklus 2, rata-rata prestasi belajar telah mencapai indikator keberhasilan yang ditetapkan. Sehingga penelitian dihentikan

1 Hubungan antar-satuan panjang 2 Hubungan antar-satuan berat 3 Rata-rata

Evaluasi kebermanfaatan alat Berdasarkan catatan peneliti dan temuan kolaborator, beberapa hal yang perlu diperbaiki pada kegiatan ini adalah tampilan alat peraga pada siklus 1 menggunakan spidol boardmarker sebaiknya diganti dengan media yang lebih permanen, dikarenakan media terdahulu sering terhapus dan kurang menarik bagi siswa. Pada bagian lain perlu juga diperhatikan saran kolaborator agar lebih mengaktifkan kerjasama dalam kelompok siswa.

101

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Pada siklus 2 peneliti dan kolaborator memperbaiki desain alat peraga konversi yang akan digunakan dari tulisan yang ada pada boardmarker diubah dengan menggunakan triplek dengan tulisan spidol permanen serta skotlet warna-warni. Desain ini dirancang dengan harapan dapat meningkatkan ketertarikan siswa, untuk meningkatkan hasil optimal dalam suasana yang aktif dan menyenangkan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan: (1) Alat peraga konversi dapat meningkatkan hasil belajar matematika tentang pengukuran khususnya hubungan antar satuan panjang dan berat pada siswa kelas IV SDN Lumutan 1 Kecamatan Botolinggo Kabupaten Bondowoso, (2) Perolehan hasil belajar pada setiap siklus bervariasi. Hasil belajar pada akhir siklus 1 yang membahas hubungan antar-satuan panjang mencapai rata-rata kelas sebesar 69. Sedangkan pada siklus 2 yang membahas tentang hubungan antar-satuan berat mencapai nilai rata-rata kelas sebesar 76. Hasil belajar siklus 1 ke siklus 2 mengalami peningkatan. Secara total, rata-rata prestasi belajar siswa tentang hubungan antar-satuan panjang dan berat mencapai hasil 72,5 Saran Saran yang dapat peneliti sampaikan, yaitu: (1) Penggunaan alat peraga konversi dapat dijadikan alternatif untuk diterapkan dalam menentukan hubungan antar satuan panjang dan berat, (2) Penggunaan alat konversi hendaknya memperhatikan unsur keterlihatan seluruh siswa dan akses siswa terhadap alat peraga dalam setiap kelompok. DAFTAR RUJUKAN Arikunto, S. 2002. Prosedur penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Jakarta: PT Rineka Cipta. Dahar, Ratna Wilis. 1998. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Dirjen PPLPTK. Depdiknas. 2003. Model Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Depdiknas. Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta Kurnia, I. 2008. Perkembangan Belajar Peserta Didik. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Mulyasa, I. 2009. Praktek Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mustaqiem, Burhan, 2008. Ayo Belajar Matematika Jilid 4 untuk SD dan MI kelas IV . Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional Pujiati dan Agus Suharjana, 2009. Pemanfaatan Alat Peraga Matematika Dalam Pembelajaran di SD . Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika Pujiati, 2011. Konsep Media dan Pemanfaatan Alat Peraga Sebagai Media Pembelajaran Matematika. Diklat Guru Pemandu Matematika SD Tahap 1.
102

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika Pujiati, 2011. Pengukuran. Diklat Guru Pemandu Matematika SD Tahap 1. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika Rohani, Ahmad. 1999. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta Sadun Akbar, 2.2010. Prosedur Penyusunan Laporan dan Artikel Hasil Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Cipta Media. Siddiq, M. Djauhar.dkk. 2008. Pengembangan Bahan Pembelajaran SD. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Sudjana, Nana. 2002. Dasar-dasar proses belajar dan mengajar. Bandung: Sinar Baru Aglesindo. Sudjana, Nana. 2008. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Rosdakarya, Bandung. Sukayati, 2011. Dasar-dasar PTK. Diklat Guru Pemandu Matematika SD Tahap 1. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika. Sukidin, 1. 2012. Asesmen Berbasis Kompetensi. Jember Jawa Timur: Center for Society Studies (CSS), Pustaka Ilmu Nusantara Bekasi Tim Penyusun Modul FKIP Universitas Jember. 2012. Modul PLPG SD 2012. Jember: Rayon 116 Universitas Jember. UU RI No.20 Tahun 2003. 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara.
Wardhani, IGAK & Wihardit, K. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka.

103

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

PETUNJUK BAGI PENULIS JURNAL PENDIDIKAN


1. Artikel yang dimuat meliputi hasil pemikiran, hasil penelitian, best practice, dan karya inovatif lainnya di bidang ilmu kependidikan, naskah diketik spasi-ganda pada kertas kuarto sepanjang minimum 15 halaman dan maksimum 20 halaman, dan diserahkan dalam bentuk print-out sebanyak 1 eksemplar beserta soft-copy nya. Berkas (file) dibuat dengan Ms Word. Pengiriman file juga dapat dilakukan sebagai attachment e-mail ke alamat: jurnaldispendikbws@gmail.com atau juharyanto@gmail.com. 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan format esai, disertai judul pada masing-masing bagian artikel, kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul bagian. Judul artikel dicetak dengan huruf besar-kecil di tengah-tengah, dengan huruf besar 16 poin. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub-bagian dicetak tebal atau tebal dan miring), dan tidak menggunakan angka/nomor pada judul bagian. PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI) PERINGKAT 2 (HURUF BESAR KECIL, TEBAL, RATA TEPI KIRI) PERINGKAT 3 (HURUF BESAR KECIL, TEBAL MIRING, RATA TEPI KIRI) 3. Sistematika artikel hasil pemikiran adalah: nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 100 kata); kata kunci; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa subbagian); penutup atau kesimpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk) 4. Sistematika artikel hasil penelitian, best practice, dan karya inovatif adalah: nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 100 kata) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian; metode; hasil; pembahasan; kesimpulan dan saran; daftar rujukan hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). 5. Daftar rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis. Anderson, D.W, Vault, V.D & dickson, C.E. 1999. Problem and Prospects for the decades ahead: Competency based teacher education. Berkeley: McCutchan publishing Cangara, H. 2001. Kurikulum pendidikan ilmu komunikasi dan tantangan teknologi informasi. Ilmu pendidikan: Jurnal kajian teori dan praktik kependidikan 28 (2): 124-130 Kuncoro, T. 1996. Pengembangan kurikulum pelatihan magang di STM nasional Malang jurusan Bangunan. Program studi bangunan gedung: suatu studi berdasarkan kebutuhan dunia usaha jasa kontruksi. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS IKIP Malang Russel, T. 1998. An altenative conception: representing representation. Dalam P.J. Black & A. Lucas (eds), childrens informal ideas in science (hlm. 62-84). London: routledge

104

JPL DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONDOWOSO VOL. 1 NO. 1, 2355-1666

Pebruary 2014

Waseso, M.G. 2001. Isi dan format jurnal ilmiah. Makalah disajikan dalam seminar lakakarya penulisan Artikel dan pengelolaan jurnal ilmiah, universitas lambungmangkurat, Banjarmasin, 9-11 agustus. 6. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mangikuti ketentuan dalam pedoman penulisan karya ilmiah terstandar (referensi yang dirujuk ditulis di dalam rujukan) atau mencontoh langsung tata cara yang digunakan dalam artikel yang telah dimuat. Artikel berbahasa indonesia menggunakan pedoman umum ejaan bahasa indonesia yang disempurnakan (Depdikbud, 1987). Artikel berbahasa inggris menggunakan ragam baku. 7. Pemeriksaan dan penyutingan cetak coba (draft cetak) dikerjakan oleh penyuting dan/atau dengan melibatkan penulis. Artikel yamg sudah dalam bentuk cetak coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyuting jika diketahui bermasalah. Penyuting tidak berkewajiban mengembalikan artikel yang tidak dimuat. 8. Penulis yang artikelnya dimuat menerima imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) lembar dan cetak lepas sebanyak 1 (satu) eksemplar. 9. Informasi lain-lain dapat dikoordinasikan, dikonsultasikan, atau ditanyakan melaui pengiriman surat ke alamat email yang disediakan. (poin 1)

105

Potrebbero piacerti anche