Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
HUBUNGAN KERJA
Supriyati, Saptana, Sumedi, dan Tri Bastuti Purwantini
ABSTRACT
The last period, agricultural sector have to burdensome rural labor absortion, concequently decleaning
produvtivity of labor in agricultural sector and wage rate relatitely stagnant . This paper objective to study : (1) labor
dinamic in the macro and micro level; (2) variety kind of labor activity and labor supply in wet land area; (3) structure of
time labor allocation in household level; and (4) institution and wage rate in wet land rural area. Research use data of
primary collected through method survey in household level, at wet season 2000/2001 and dry season 2001. Research
done in seven regency, in seven provinces (five provinces in Java and two provinces in Off Java), that is Majalengka
and Indramayu (West Java), Klaten (Central Java), Kediri and Ngawi (East Java), Agam( West Sumatra), and Sidrap
(South Sulawesi). Result of the research indicate that in macro and micro level labour absorbtion in agricultural sector
each achieved 68% and 57-84% in Java, 67-83% in Off Java. Total labour absortion by members household in Java
about 77-121 days (21-33%), and in Off Java about 126-186 days (34-51%) from time avaibility. The result indicate
that in rural area is also happened unemployment as according to macro level. Trend of real wage, in East and Central
Java relatively stagnant, in West Java to decleaning, in West Sumatra and South Sulawesi to increasing. This fact to
indicate shown sign labor over supply in the rural Java. Several recommendation to solve to solve this problem are land
use optimalization by higher plant intencity; to develope farming diversification, especially high value commodity; land
and farming consolidation; and to develope agroindustry based on local raw material.
Key words : labor, labor absorption, labor supply, labor demand, wage
154
sebesar 17,03 dan 16,39 persen. Tetapi hal ini Dinamika sosial ekonomi ketenagakerjaan
tidak diiringi dengan penurunan penyerapan tena- yang penting untuk diungkap adalah keragaan
ga kerja yang seimbang, yang hanya menurun dari ketenagakerjaan di pedesaan lahan sawah; struk-
73,3 persen (1961) menjadi 48 persen (1995). tur curahan alokasi waktu kerja; kelembagaan
Bahkan dengan adanya dampak krisis ekonomi hubungan kerja, sistem upah dan tingkat upah;
yang melanda Indonesia terjadi peningkatan mobilitas tenaga kerja dan integrasi pasar tenaga
penyerapan tenaga kerja disektor pertanian, seba- kerja di pedesaan. Dengan demikian akan dapat
gai ilustrasi pada tahun 1997 penyerapan tenaga diungkap : (1) Proporsi anggota rumahtangga usia
kerja disektor pertanian telah turun mencapai 41 kerja dan anggota rumah tangga yang bekerja
persen, namun pada tahun 1998 melonjak kembali menurut lokasi; (2) Keragaan jenis pekerjaan baik
menjadi 45 persen (Sakernas, BPS Tabel 13, kepala rumah tangga (KK) maupun anggota rumah
tahun 1999). tangga (ART) menurut lokasi dan sektor usaha; (3)
Gambaran mikro dinamika penyerapan Struktur alokasi/ curahan waktu kerja rumah tang-
tenaga kerja dan kesempatan kerja di pedesaan ga menurut sektor usaha; (4) Dinamika kelemba-
sangat dipengaruhi oleh kondisi agroekosistem gaan hubungan kerja; (5) Perkembangan tingkat
setempat, yang pada lahan sawah dipengaruhi upah menurut jenis kegiatan antar lokasi; dan (6)
oleh tipe irigasi, struktur penguasaan lahan Pasar tenaga kerja di pedesaan lahan sawah.
pertanian, sistem usahatani, pola tanam dan siklus Berdasarkan latar belakang tersebut maka
tanam, dan komoditas dominan yang diusahakan, tulisan ini ditujukan untuk mengkaji : (1) Gambaran
serta sistem pola hubungan kerja. Secara umum makro ketenagakerjaan di pedesaan lahan sawah;
penyerapan dan kesempatan kerja sektor perta- (2) Ketersediaan tenaga kerja dan keragaman
nian pada lahan sawah dengan sistem irigasi yang jenis pekerjaan di pedesaan lahan sawah; (3)
lebih baik mempunyai daya serap yang lebih tinggi Struktur alokasi curahan waktu kerja rumah tangga
dibandingkan pada lahan sawah dengan sistem di pedesaan lahan sawah; dan (4) Kelembagaan
irigasi yang lebih sederhana dan tadah hujan. hubungan kerja dan tingkat upah di pedesaan
Intensitas tanam yang lebih tinggi yang tergam- lahan sawah
barkan dalam siklus dan pola tanam akan
mempunyai daya serap terhadap penyerapan ke-
sempatan kerja yang lebih tinggi. Struktur pengua- METODE PENELITIAN
saan lahan yang relatif lebih merata diperkirakan
mempunyai daya serap yang lebih tinggi. Pengu- Lokasi Penelitian, Informasi dan Data
sahaan komoditas komersial bernilai ekonomi
tinggi, seperti hortikultura khususnya sayuran dan Penelitian dilakukan dengan metode survei
perkebunan seperti tembakau mempunyai daya untuk mengumpulkan data primer. Pengumpulan
serap yang lebih tinggi, karena bersifat intensif data primer dalam studi ini difokuskan di tujuh
secara kapital dan tenaga kerja. Sementara itu, kabupaten, yang tersebar di lima provinsi, yaitu
dilihat dari pola hubungan kerja, diperkirakan bah- Majalengka dan Indramayu (Jawa Barat), Klaten
wa pola hubungan kerja yang mengarah mekanis- (Jawa Tengah), Kediri dan Ngawi (Jawa Timur),
me pasar tenaga kerja memberikan peluang Agam (Sumatera Barat), dan Sidrap (Sulawesi
kesempatan kerja yang lebih terbatas, namun Selatan). Penelitian ini membedakan empat sistem
dengan produktivitas kerja yang lebih tinggi. pengairan sawah yang merepresentasikan keter-
sediaan air pada lahan sawah yakni; irigasi teknis
Penurunan pangsa tenaga kerja sektor (ketersediaan air baik), setengah teknis (keterse-
pertanian terhadap PDB secara nyata yang tidak diaan air sedang), sederhana (ketersediaan air
diikuti penurunan dalam penyerapan tenaga sektor kurang) dan tadah hujan. Sehingga pada setiap
pertanian, dikuatirkan akan terjadi penurunan kabupaten dipilih empat desa yang merepresen-
produktivitas dan pendapatan tenaga kerja sektor tasikan ketersediaan air tersebut. Jumlah rumah
pertanian di pedesaan. Konsekuensinya adalah tangga contoh pada masing-masing desa adalah
sektor pertanian menanggung beban penyerapan 20 orang yang dipilih secara acak yang mewakili
tenaga kerja yang semakin berat. Dengan demiki- buruh tani, penguasaan lahan sempit, sedang dan
an perlu di lihat perubahan-perubahan sosial luas.
ekonomi secara mikro di pedesaan, sehingga
dapat diantisipasi kearah mana perubahan-peru- Data primer yang dikumpulkan mencakup
bahan yang terjadi. data usahatani di lahan sawah representatif (yang
155
terdiri atas penggunaan input dan output), curahan struktur alokasi waktu kerja akan dilakukan agre-
kerja dan pendapatan dari semua kegiatan/bidang gasi kabupaten contoh, yaitu Indramayu, Maja-
usaha yang dilakukan rumahtangga contoh, lengka (Jawa Barat); Klaten (Jawa Tengah);
pemasaran dan kelembagaan yang terkait dengan Kediri dan Ngawi (Jawa Timur); Agam (Sumatera
pasar input dan output. Pengumpulan data primer Barat); dan Sidrap (Sulawesi Selatan). Agregasi
di tingkat petani mencakup data pada musim hujan dilakukan dengan pertimbangan bahwa analisis
(MH 2000/2001) dan musim kemarau (MK 2001), menurut tingkat ketersediaan air masing-masing
sedangkan informasi kualitatif mengenai pasar desa kurang relevan mengingat jumlah rumah
input-output pertanian di pedesaan dilakukan tangga contoh relatif kecil, terutama pada saat
secara periodik mulai dari MH 1999/2000 sampai analisis dibedakan atas status rumahtangga dan
MH 2001/2002. Penggalian informasi kunci lainnya kelas luas garapan.
dilakukan secara berlapis ditingkat desa, kabupa- Analisis kelembagaan hubungan kerja dan
ten dan provinsi diantaranya; formal dan informal pasar tenaga kerja di pedesaan dilakukan secara
leaders, pedagang pengumpul, wholesales, deskriptif kualitatif, sementara analisis tingkat upah
retailers dan pemilik Rice Milling Unit (RMU). didasarkan atas data sekunder dari BPS dengan
agregasi tingkat provinsi dan kegiatan (mencang-
Pendekatan Analisis kul, menanam dan merambet/menyiang) pada
periode tahun 1989-2000.
Kajian ini akan difokuskan pada dinamika
ketenagakerjaan di pedesaan lahan sawah yang
mencakup keragaan ketenagakerjaan di pedesaan HASIL DAN PEMBAHASAN
lahan sawah; struktur curahan/alokasi waktu kerja;
kelembagaan hubungan kerja, tingkat upah; pasar
tenaga kerja di pedesaan. Analisis data primer Gambaran Makro Ketenagakerjaan di Pedesaan
struktur curahan/alokasi waktu kerja dilakukan de- Angkatan Kerja dan Angkatan Kerja yang
ngan metode deskriptif melalui metode akunting. Bekerja
Struktur curahan/alokasi waktu kerja rumahtangga Indonesia termasuk salah satu negara yang
contoh dibedakan menurut kegiatan di sektor dipandang berhasil dalam pengendalian jumlah
pertanian dan non pertanian. Pada sektor pertani- penduduk, namun hingga saat ini masih meng-
an dibedakan atas kegiatan pada lahan garapan hadapi masalah kependudukan yang sulit dipecah-
sendiri dan kegiatan berburuh tani. Kegiatan pada kan, terutama dalam penyerapan angkatan kerja.
lahan garapan sendiri dibedakan menurut jenis Permasalahan dalam penyerapan tenaga kerja
lahan (sawah dan non sawah); pada lahan sawah mencapai titik kritis saat terjadi gelombang krisis
struktur alokasi waktu kerja dibedakan atas jenis ekonomi. Keragaan angkatan kerja di Indonesia
usahatani komoditas dengan agregasi: padi, dan di provinsi contoh dapat dilihat pada Tabel 1
palawija, hortikultura, tebu dan tembakau. Kegiat- dan 2. Dari Tabel 1 dan 2 dapat diperoleh gam-
an berburuh tani dibedakan menjadi dua, berburuh baran pokok sebagai berikut: (1) Proporsi ang-
dilahan sawah dan non sawah. Sementara pada katan kerja yang bekerja mengalami peningkatan
kegiatan non pertanian dibedakan atas kegiatan yang cukup tinggi, yaitu meningkat dari hanya
usaha, dan berburuh. Di samping itu akan dileng- 87,00 persen dari total angkatan kerja di kota dan
kapi analisis secara deskriptif berdasarkan data 95,03 persen dari total angkatan kerja di desa
sekunder tingkat makro yang dipandang relevan. (1995) meningkat menjadi 93,58 persen di kota
Pembahasan struktur alokasi waktu kerja dan 95,58 persen di desa (2001); (2) Hasil analisis
dibedakan atas: (1) rataan rumahtangga contoh di atas dapat mengindikasikan telah mulai mem-
total; dan (2) rumahtangga contoh dibedakan baiknya perekonomian nasional, meskipun diper-
menurut statusnya yaitu rumahtangga contoh kirakan peningkatan proporsi angkatan kerja yang
buruh tani dan rumahtangga contoh petani (status bekerja terhadap angkatan kerja kemungkinan
berdasarkan pekerjaan utama kepala keluarga); besar bekerja dibawah jam kerja normal; (3) Kera-
dan (3) rumahtangga contoh dibedakan atas kelas gaan proporsi angkatan kerja yang bekerja (AKB)
luas sawah garapan (rumahtangga yang tidak terhadap angkatan kerja (AK) baik secara nasional
mempunyai sawah garapan, luas garapan kurang maupun di masing-masing provinsi contoh, me-
dari 0,1 ha; 0,11 – 0,5 ha; 0,51 – 0,75 ha; 0,76 – nunjukkan proporsi AKB terhadap AK, yang berki-
1,0 ha dan di atas 1 ha). Dalam pembahasan sar antara 90-96 persen; (4) Hal tersebut menun-
156
Tabel 1. Perkembangan Angkatan Kerja dan Angkatan Kerja yang Bekerja di Indonesia, 1995-2001
Tabel 2. Keragaan Angkatan Kerja dan Angkatan Kerja yang Bekerja di Lima Provinsi Contoh, Tahun 2000
157
Tabel 3. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Lapangan Uasaha di Pedesaan, 1995-2000
Tabel 4. Struktur Tenaga Kerja Pedesaan menurut Sektor Ekonomi di Indonesia dan Lima Provinsi Contoh, 1995-2000
1) 2)
Penyerapan tenaga kerja 1995 (orang) Penyerapan tenaga kerja 2000 (orang)
Lokasi Perda- Perda-
Pertanian Industri Lainnya Jumlah Pertanian Industri Lainnya Jumlah
gangan gangan
Indonesia 32.914.901 5.320.192 6.596.540 9.328.104 54.159.737 38.427.606 2.551.966 4.704.911 11.004.623 56.689.106
persen 60,77 9,82 12,18 17,22 100,00 67,79 4,50 8,30 19,41 100,00
Jabar 3.734.508 1.044.389 1.446.178 2.109.972 8.335.047 4.034.265 498.168 1.093.180 2.466.920 8.092.533
persen 44,80 12,53 17,35 25,31 100,00 49,85 6,16 13,51 30,48 100,00
Jateng 6.012.047 127.416 1.345.770 1.973.360 9.458.593 6.585.224 600.892 986.033 1.846.140 10.018.289
Persen 63,56 1,35 14,23 20,86 100,00 65,73 6,00 9,84 18,43 100,00
Jatim 6.132.225 1.328.399 1.583.446 1.908.718 10.952.788 6.931.255 523.380 964.298 1.893.923 10.312.856
persen 55,99 12,13 14,46 17,43 100,00 67,21 5,08 9,35 18,36 100,00
Sumbar 819.009 17.104 166.099 302.480 1.304.692 907.760 37.728 120.294 282.748 1.348.530
persen 62,77 1,31 12,73 23,18 100,00 67,31 2,80 8,92 20,97 100,00
Sulsel 1.332.077 122.574 209.583 285.722 1.949.956 1.817.057 60.907 145.324 347.852 2.371.140
persen 68,31 6,29 10,75 14,65 100,00 76,63 2,57 6,13 14,67 100,00
Sumber : 1) Hasil SUPAS, 1995 (BPS)
2) Hasil Sensus, 2000 (BPS)
Tabel 3 dan 4 merefleksikan beberapa hal Penyerapan tenaga kerja yang tinggi pada
pokok sebagai berikut : (1) Proporsi secara kese- sektor pertanian di pedesaan membawa beberapa
luruhan penyerapan TK di pedesaan Indonesia implikasi pokok: (1) Semakin menurunnya produk-
mengalami peningkatan dari 54,16 juta orang tivitas kerja sektor pertanian terutama di Jawa,
(1995) meningkat menjadi 56,69 juta orang (2000), karena kelebihan tenaga kerja tidak dapat dires-
atau hanya meningkat sebesar 1,02 persen; (2) pon dengan perluasan areal; (2) Meningkatnya
Proporsi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian pengangguran tidak kentara di pedesaan, yang
di pedesaan mengalami peningkatan dari 32,91 kalau tidak segera di carikan pemecahannya akan
juta orang atau 60,77 persen (1995) menjadi mempunyai implikasi sosial ekonomi yang luas; (3)
38,43 juta orang atau 67,79 persen (2000), atau Semakin sulit meningkatkan efisiensi dan produk-
mengalami peningkatan sebesar 8,33 persen; (3) tivitas sektor pertanian. Beberapa langkah strate-
Sementara itu, sektor lainnya mengalami penu- gis yang dapat dilakukan adalah melalui pengem-
runan dalam penyerapan tenaga kerja; (4) Dari bangan usahatani komoditas komersial yang ber-
gambaran di atas nampak bahwa dalam situasi sifat padat tenaga kerja, usaha-usaha konsolidasi
krisis sektor pertanian dapat berperan sebagai lahan dan managemen usahatani. Pengembangan
sektor penyelamat dalam penyerapan tenaga agroindustri berbasis bahan baku setempat harus
kerja, meskipun dapat diduga bahwa sebagian menjadi prioritas olem pemerintah daerah dalam
tenaga kerja menjadi pengangguran tak kentara kerangka otonomi daerah.
(under employment); (5) Secara umum distribusi
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Pengangguran Tak Kentara
pedesaan provinsi contoh memberikan gambaran
bawa proporsi penyerapan tenaga kerja sektor Untuk menguji apakah peningkatan penye-
pertanian relatif lebih tinggi di Luar Jawa 67,31 - rapan tenaga kerja dan peningkatan angkatan
76,63 persen, sementara itu di Jawa berkisar anta- kerja yang bekerja memberikan gambaran bahwa
ra 49,85-67,21 persen (2000). kondisi perekonomian telah pulih akan di lihat
158
jumlah dan proporsi tenaga kerja pertanian di kesempatan kerja dan pertumbuhan angkatan ker-
pedesaan menurut jumlah jam kerja (Tabel 5). ja antar lokasi.
Dari Tabel 5 merefleksikan beberapa hal sebagai Selain dimensi spasial, dimensi penting lain-
berikut: (1) Telah terjadi peningkatan proporsi nya adalah dimensi temporal. Dimensi waktu ini
penyerapan tenaga kerja dan angkatan kerja yang melahirkan konsep migrasi komutasi, sirkulasi dan
bekerja secara penuh (full employment) dari 13,18 permanen. Migrasi komutasi adalah kegiatan yang
juta orang atau 40,05 persen (1995) menjadi 15,71 dilakukan secara pergi-pulang (ulang-alik) setiap
juta atau 42,67 persen (2000); (2) Sebaliknya hari. Migrasi sirkulasi adalah migrasi yang dilaku-
terjadi penurunan proporsi tenaga yang bekerja di kan dengan meninggalkan rumah lebih dari 2 hari
bawah kapasitas (under employment), yaitu dari dan kurang dari 6 bulan. Migrasi permanen adalah
18,27 juta atau 55,50 persen (1995) menjadi 19,15 migrasi yang dilakukan dengan cara migran
juta atau 52,19 persen (2000); serta penurunan menetap di daerah (tujuan migran) lebih dari 6
proporsi tenaga kerja yang bekerja di atas bulan serta tercatat sebagai penduduk desa yang
kapasitas yaitu dari 737 ribu orang atau 2,24 bersangkutan. Dimensi sektoral melahirkan kon-
persen (1995) menjadi 753 ribu orang atau 2,04 sep mobilitas penduduk berdasarkan jenis peker-
persen (2000); (3) Sementara itu jumlah tenaga jaan (okupasi) baik yang sifatnya permanen
kerja yang sementara tidak bekerja pun sedikit maupun musiman (Sumaryanto dan Pasaribu,
mengalami peningkatan dari 726 ribu orang atau 1996). Dalam kenyataannya, sangatlah sulit mem-
2,21 persen (1995) menjadi 1,14 juta atau 3,10 bahas masalah migrasi dengan konsep dimensi
persen (2000), yang menunjukkan meningkatnya secara terpisah, karena antar dimensi tersebut
jumlah pengangguran di sektor pertanian di saling terkait.
pedesaan. Secara umum dapat disimpulkan bah-
wa penyerapan tenaga kerja pertanian di pede- Dalam konteks migrasi secara spasial, arah
saan telah mengalami peningkatan dari kondisi migrasi menggambarkan dari mana dan ke arah
sebelum krisis ke kondisi setelah krisis, yang mana pergerakan penduduk terjadi, apakah dari
menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai satu desa ke desa lain, dari desa ke pusat kota,
daya serap tenaga kerja yang cukup tinggi. dari pulau yang satu ke pulau yang lain yang
Tabel 5. Jumlah dan Proporsi Tenaga Kerja Pertanian di Pedesaan Menurut Jumlah Jam Kerja Perminggu di
Indonesia, Tahun 1995 dan 2000
Mobilitas Tenaga Kerja di Pedesaan sering disebut transmigrasi atau dari suatu negara
ke negara lain yang disebut emigrasi.
Dalam pembahasan tentang migrasi ada
tiga dimensi penting, yaitu: dimensi spasial, tem- Pergerakan penduduk dari desa ke desa lain
poral dan sektoral. Pengertian migrasi dilihat dari seperti yang terjadi di Jawa dikemukakan oleh
dimensi spasial adalah menerangkan perpindahan Geertz dalam Mubyarto, (1985) yang mengemu-
penduduk atau mobilitas penduduk yang melintasi kakan fenomena terjadinya migrasi dari desa ke
batas teritorial (administratif) atau geografis (Tirto desa di perkebunan tebu. Selanjutnya hasil kajian
Sudarmo, 1993). Salah satu bentuk migrasi secara di lapang menunjukkan bahwa fenomena tersebut
spasial yang banyak terjadi adalah mobilitas masih terjadi pada perkebunan tebu khususnya di
penduduk desa-kota. Terjadinya migrasi spasial Kediri, Ngawi, dan Klaten, tetapi juga pada
mencerminkan adanya ketidak seimbangan antara perkebunan tembakau untuk kasus di Klaten;
bahkan juga terjadi pada usahatani padi yang
159
ditemukan di pedesaan Klaten, Indramayu serta di but Jawa Barat terutama Botabek masih merupa-
Sidrap. Kegiatan migrasi dari sektor pertanian ke kan tujuan migran. Sementara itu, di empat provin-
sektor pertanian yang terjadi di pedesaan baik di si lainnya menunjukkan bahwa migrasi masuk jauh
pedesaan Jawa maupun di pedesaan Luar Jawa lebih kecil dibandingkan migrasi yang keluar.
sebagian terutama untuk kegiatan pengolahan Tingginya arus migrasi antar kota provinsi
tanah dengan traktor, menanam yang dilakukan membawa konsekuensi meningkatnya proporsi
secara berkelompok, dan panen dengan power penduduk yang tinggal di perkotaan, yaitu dari
threser, yang juga dilakukan secara kelompok. 30,9 persen (1990) meningkat menjadi hampir 40
Cara melakukan migrasi ada yang dilakukan persen (2000). Di Jawa lebih dari sepertiga
secara individu maupun kelompok. Migrasi yang penduduk (35,65%) tinggal di daerah perkotaan.
dilakukan secara berkelompok dapat dijumpai Jika ditambah dengan banyaknya penduduk
pada kegiatan panen dengan sistem tebasan pedesaan di Jawa yang melakukan sirkulasi dan
dengan alat power threser di pedesaan Kabupaten komutasi ke tempat kerjanya di kota, jumlah
Klaten dan Kediri. Migrasi kelompok pemanen penduduk yang tinggal dan menggantungkan
(penderos) dengan power threser terjadi di pede- hidupnya di kota semakin besar.
saan Kabupaten Sidrap, dan kegiatan panen Hasil kajian di lapang khususnya di pede-
dengan sistem ceblokan di pedesaan Majalengka saan Jawa menunjukkan pola-pola migrasi yang
dan di Indramayu ada yang dilakukan secara ke- banyak dilakukan oleh masyarakat di pedesaan
lompok maupun individu. Pada kasus ceblokan di adalah sebagai berikut. Untuk desa yang sangat
Majalengka dan sebagian Indramayu, serta bebe- dekat dengan pusat-pusat kota atau industri
rapa kasus kedokan di Kediri, hal tersebut menun- dengan aksesibilitas yang baik, jenis migrasi yang
jukkan adanya saling keterkaitan antara pasar dominan dilakukan adalah komutasi sepanjang
tenaga kerja dengan pasar lahan di pedesaan. tahun. Untuk desa yang agak jauh dari pusat kota
Sementara itu, pada kasus tenaga kerja pengo- atau industri ternyata sebagian besar penduduk-
lahan tanah dengan traktor yang biasanya dikerja- nya ada yang melakukan migrasi secara sirkulasi
kan oleh tiga orang dan tenaga kerja panen musiman. Sementara untuk yang sangat jauh dan
dengan power threser yang biasa dilakukan seca- tujuan migrasinya adalah kota-kota besar kota
ra berkelompok menunjukkan adanya saling keter- provinsi sebagian besar migrasinya adalah migrasi
kaitan antara pasar tenaga kerja dengan teknologi permanen.
yang digunakan.
Hasil kajian kualitatif di lapang menunjukkan
Gambaran migrasi penduduk secara makro bahwa keputusan seseorang untuk melakukan
di tujuh provinsi contoh dapat dilihat pada Tabel 6. migrasi dipengaruhi oleh rata-rata luas lahan yang
Pada periode 1990–2000, tingkat migrasi pendu- dimiliki, kualitas lahan yang dicerminkan oleh tipe
duk di lima provinsi contoh pada tahun 1990 irigasi, umur migran, tingkat pendidikan, aksesibi-
menunjukkan kondisi yang beragam. Provinsi yang litas desa-kota, perkembangan kesempatan kerja
tingkat migrasi masuk lebih tinggi dibandingkan di luar sektor pertanian di pedesaan, dan per-
migrasi yang keluar hanya terbatas di provinsi kembangan tingkat upah riil sektor pertanian di
Jawa Barat, yang menunjukkan pada tahun terse- pedesaan. Secara umum, rata-rata pemilikan
Tabel 6. Migrasi Masuk, Keluar, dan Neto berdasarkan Provinsi Contoh, 1990-2000
1990 2000
Provinsi 1) 2) 3) 1)
Masuk Keluar Neto Masuk Keluar2) Neto3)
1. Jabar 1.338.326 495.727 842.599 1.709.254 631.753 1.047.501
2. Jateng 379.656 1.159.694 -780.038 369.141 1.017.494 -648.353
3. Jatim 319.919 647.348 -327.429 426.332 529.037 -102.705
4. Sumbar 126.075 173.220 -47.145 129.476 233.945 -104.469
5. Sulsel 112.390 161.050 -48.660 144.215 169.663 -25.448
Sumber : BPS, 1990 dan 2000. Hasil Sensus Penduduk Tahun 1990 dan 2000, Seri L2.2.
Keterangan : 1) Penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut status migrasi risen (migrasi masuk)
2) Arus migrasi risen antar provinsi
3) Migrasi netto merupakan selisih antar migasri masuk terhadap migrasi keluar
160
semakin rendah dengan kualitas irigasi yang Keragaan Mikro Ketenagakerjaan Pedesaan
kurang baik mendorong tingginya tingkat migrasi. Gambaran Umum ART Usia Kerja
Sebagai ilustrasi rata-rata pemilikan lahan sawah
yang kecil di Klaten dan Agam dan terutama pada Keragaan jumlah anggota rumah tangga
lahan sawah tadah hujan menunjukkan tingginya (ART) pada ke tujuh kabupaten lokasi penelitian
tingkat migrasi. menunjukkan gambaran yang mirip. Jumlah ART
berkisar antara 3.71–4.82 orang dalam satu rumah
Banyaknya tenaga kerja muda dengan rata- tangga, yang umumnya terdiri dari sepasang
rata tingkat pendidikan rendah asal pedesaan suami istri dan satu sampai tiga orang anak. Rata-
yang melakukan migrasi dengan tujuan utama rata jumlah anggota rumah tangga terbesar
pusat kota atau industri memberikan indikasi terdapat di Kabupaten Agam dengan 4,82 anggota
bahwa mereka kurang atau tidak tertarik lagi per KK, dan terendah di Indramayu dengan 3,71
bekerja sektor pertanian di pedesaan, yang orang anggota per rumah tangga. Jumlah ART
terkesan kumuh, dan tidak kotinyu. Nampaknya dalam rumah tangga, memiliki arti ekonomi yang
tingkat aksessibilatas desa-kota bukan lagi meru- penting, yaitu sebagai sumber pendapatan rumah
pakan kendala tenaga kerja melakukan migrasi. tangga jika yang bersangkutan memiliki pekerjaan,
Pada daerah pedesaan lahan sawah yang ber- atau merupakan tanggunggan keluarga jika seba-
kembang komoditas komersial dan agroindustri, liknya. Dengan demikian menjadi penting untuk
serta berkembang kegiatan-kegitan non pertanian melihat komposisi anggota rumah tangga yang
tingkat migrasi relatif dapat ditekan, seperti kasus termasuk dalam ART usia kerja dan ART usia
pada desa lahan sawah teknis di Klaten dengan kerja yang bekerja. Dari pemilahan ini dapat
berkembangnya komoditas tembakau, industri diperoleh angka atau tingkat ketergantungan, yang
pengolahan tembakau, dan furniture arus migrasi menunjukkan rasio jumlah ART usia kerja yang
dapat ditekan. Gambaran lain kasus di Kecamatan menjadi tanggungan ART usia kerja yang bekerja.
Jatiwangi Majalengka sebagai akibat berkembang-
nya industri genteng dan bata merah migrasi relatif Dari Tabel 7 terlihat kisaran proporsi ART
terkendali. Dari aspek tingkat upah riil sektor usia kerja pada lokasi penelitian berkisar antara 59
pertanian sesungguhnya tidak terlalu rendah persen (Kabupaten Majalengka) sampai 71 persen
dibandingkan sektor industri, hanya sifatnya yang (Kabupaten Kediri). Berarti sekitar 30 – 40 persen
tidak kontinyu menjadi salah satu sebab tenaga anggota keluarga, masih sekolah atau sudah
kerja muda bermigrasi ke industri di perkotaan. lanjut usia. Umumnya ART usia kerja terdiri dari
sepasang suami dan istri ditambah satu atau dua
orang anaknya. Dilihat dari tingkat partisipasi kerja
Tabel 7. Rata-rata Jumlah Anggota Rumah Tangga (ART), ART Usia Kerja dan ART Usia Kerja yang Bekerja per
Rumah Tangga di Tujuh Kabupaten Contoh, Tahun 2001
161
(persentase ART usia kerja yang bekerja terhadap pedesaan melalui sistem pengupahan. Pada sisi
ART usia kerja), terdapat keragaman yang cukup lain peranan sektor pertanian dalam penyerapan
besar antara lokasi penelitian. Secara umum tenaga kerja dan sebagai sumber mata penca-
tingkat partisipasi kerja anggota rumah tangga di harian baik di pedesaan Jawa maupun Luar Jawa
Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan kasus di masih dominan terlebih di pedesaan Luar Jawa.
luar Jawa. Partisipasi kerja anggota keluarga di Tabel 9 menunjukkan distribusi ART menu-
Jawa berkisar antara 65 persen (Kabupaten rut jenis pekerjaan utama. Secara umum, keraga-
Indramayu) sampai dengan 81 persen (Kabupaten an jenis pekerjaan utama ART sama dengan dis-
Majalengka). Sementara itu untuk kasus Agam tribusi pekerjaan kepala keluarga dimana sebagi-
tingkat partisipasinya sebesar 62 persen sedang- an besar memiliki pekerjaan utama sebagai petani
kan di Sidrap hanya sebesar 47,5 persen. Ren- atau buruh tani. Namun jika dilihat lebih jauh
dahnya tingkat partisipasi kerja di Sidrap, disebab- proporsi ART yang pekerjaan utamanya petani
kan oleh dua hal, yaitu : (1) Pada umumnya petani lebih kecil dibandingkan dengan proporsi kepala
lebih mengandalkan tenaga kerja luar keluarga, keluarga dengan pekerjaan utama petani. Pada
sehingga curahan tenaga kerja dalam keluarga sisi lain proporsi buruh tani relatif sama. Penu-
relatif kecil; dan (2) Rendahnya partisipasi tenaga runan proporsi ART dengan pekerjaan petani
kerja keluarga wanita dalam kegiatan usahatani. dibanding dengan proporsi pekerjaan utama
Tingkat patisipasi kerja anggota keluarga kepala keluarga disebabkan karena sebagian ART
selaras dengan tingkat ketergantungan. Pada lo- pada rumahtangga yang pekerjaan kepala keluar-
kasi dengan tingkat partisipasi kerja rendah (Ka- ganya petani, bekerja bukan sebagai petani.
sus Sidrap), angka ketergantungannya cukup ting- Setidaknya ada tiga hal kemungkinan penyebab-
gi (2,3) yang berarti satu orang bekerja menang- nya yaitu: (1) Lahan pertanian yang sempit,
gung 2,3 orang tidak bekerja. Angka ketergantu- sehingga tidak mampu dijadikan mata pencaharian
ngan terendah terjadi di Kediri dan Ngawi masing- utama untuk anggota keluarga sehingga terpaksa
masing dibawah satu. menganggur atau mencari pekerjaan di luar
Tabel 8 dan Tabel 9 menunjukkan sebaran usahatani; (2) Adanya kesempatan kerja di luar
responden menurut jenis pekerjaan utama kepala sektor pertanian, dan (3) Keengganan untuk terjun
keluarga dan anggota rumah tangga. Proporsi pada sektor pertanian khususnya untuk golongan
pekerjaan utama kepala keluarga adalah petani. muda terdidik karena dipandang tidak menarik
Pada kasus kabupaten di Jawa, berkisar antara 64 sehingga lebih memilih pekerjaan lain atau
persen sampai 71 persen sementara di Luar Jawa menganggur. Sementara untuk buruh tani yang
lebih tinggi lagi, yaitu mencapai 80 persen di relatif tetap, dapat disimpulkan ART pada rumah
Sidrap dan 91 persen di Agam. Menarik untuk tangga yang kepala keluarganya buruh tani seba-
dilihat, proporsi pekerjaan KK (Kepala Keluarga) gian besar ART nya juga berburuh tani.
sebagai buruh tani, dimana Jawa proporsinya lebih Kesempatan kerja sektor nonpertanian yang
tinggi dibandingkan dengan kasus luar Jawa. tersedia antara lain: buruh industri, terutama di
Kisaran responden yang pekerjaan utamanya Kabupaten Majalengka dan Klaten, yang proporsi-
sebagai buruh tani di Jawa sebesar 16,5 persen nya penyerapan tenaga kerjanya mencapai 18,6
(kasus Klaten) sampai 26 persen (kasus Ngawi). persen dan 15 persen. Pada kabupaten lainnya
Sementara itu pada kasus Agam dan Sidrap jenis pekerjaan buruh industri relatif kecil yaitu
masing-masing sebesar 6 dan 11 persen. Jika hal berkisar antara 3 – 5 persen, kecuali di Agam yang
ini dapat dianggap merepresentasikan kondisi hampir tidak ada (0,7%). Pekerjaan utama sebagai
wilayah, dapat diartikan bahwa proporsi petani pedagang relatif merata pada semua lokasi pene-
pemilik di Jawa relatif lebih kecil dibandingkan di litian, meskipun konsentrasinya terdapat pada
luar Jawa. Dapat juga mengandung arti bahwa Kabupaten Sidrap (15,5%), Klaten (13,8%) dan
rata-rata petani di luar Jawa memiliki lahan Kediri (10,4%). Pada kabupaten lainnya relatif
garapan sendiri yang lebih luas dan lebih merata. kecil dengan kisaran antara 4 – 9 persen. Sektor
Fenomena relatif tingginya buruh tani di Jawa perdagangan nampaknya berkembang cukup
menunjukkan semakin timpangnya penguasaan merata pada semua lokasi penelitian, dan menjadi
lahan pertanian dan tersumbatnya aliran kelebihan alternatif usaha utama di luar sektor pertanian.
tenaga kerja pertanian ke usaha non pertanian di Jasa dan angkutan belum banyak berkembang
pedesaan. Disamping itu, juga menunjukkan rela- dan menyerap tenaga kerja di pedesaan. Namun
tif berjalannya mekanisme pasar tenaga kerja di pada beberapa daerah (Indramayu dan Sidrap)
162
Tabel 8. Keragaan Jenis Pekerjaan Utama Kepala Keluarga (KK) di Tujuh Kabupaten Contoh, 2000-2001 (%)
sudah mulai tumbuh. Pada Kabupaten Indramayu perajangan tembakau) dan desa tadah hujan di
dan Sidrap maing-masing sebesar 4 dan 8 persen Kediri (industri gula merah tebu skala rumah
ART memiliki pekerjaan utama pada bidang jasa tangga). Di luar jenis usaha/kegiatan yang disebut-
dan angkutan. kan di atas masih terdapat jenis usaha/kegiatan
yang sangat beragam. Jenis usaha/kegiatan lain
Bidang usaha industri pengolah relatif belum ini cukup banyak dijadikan pekerjaan utama ter-
berkembang hanya sebagian kecil di kabupaten utama di Klaten dan Kediri yang masing-masing
Klaten dan Kediri terdapat KK dengan pekerjaan mencapai 10 persen. Sementara pada lokasi lain
utama pada industri yaitu masing-masing hanya cukup beragam, namun relatif kecil dengan
1,3 dan 2,6 persen itupun hanya terkonsentrasi kisaran antara satu sampai lima persen.
pada desa irigasi sederhana di Klaten( industri
163
Tabel 9. Keragaan Jenis Pekerjaan Utama Anggota Rumah Tangga (ART) di Tujuh Kabupaten Contoh, 2000-2001 (%)
Berdasarkan pemaparan diatas, sektor per- Sekalipun pada sisi lain fenomena buruh tani
tanian terbukti masih besar peranannya dalam dipandang sebagai akibat semakin terbatasnya
perekonomian di pedesaan. Relatif tingginya ma- lahan pertanian dan kesempatan kerja di luar
syarakat yang bekerja sebagai buruh tani, disam- sektor pertanian sekaligus rendahnya sumberdaya
ping petani, menunjukkan sektor ini masih menjadi manusia di pedesaan.
andalan sebagai tumpuan ekonomi rumah tangga.
164
Tabel 10. Curahan Tenaga Kerja Dalam Keluarga Per ART yang Bekerja, di 7 Kabupaten 2001 (% Jam Kerja)
Struktur Alokasi Curahan Waktu Kerja an nonpertanian relatif besar (sekitar 46%) diban-
Pembahasan berikut akan melihat alokasi dingkan dengan kabupaten contoh lain. Penye-
curahan kerja keluarga (ART yang bekerja) pada rapan tenaga kerja pada sektor pertanian (rataan
berbagai bidang usaha yang dilakukan oleh rumah semua lokasi contoh) mencapai 67,31 persen,
tangga contoh. Pembahasan akan dilakukan de- gambaran ini sesuai dengan gambaran makro
ngan agregasi kabupaten, dan pembahasan akan dimana sektor pertanian masih menyerap 67,7
dibedakan atas: (1) rataan rumah tangga contoh persen tenaga kerja, namun ada variasi antar
total; dan (2) rumah tangga contoh dibedakan kabupaten. Penyerapan tenaga kerja pada sektor
menurut statusnya yaitu rumah tangga contoh pertanian bervariasi antara 54,07 persen pada
buruh tani dan rumah tangga contoh petani; dan kasus Kediri sampai dengan 75,39 persen di
(3) rumah tangga contoh dibedakan atas luas Kabupaten Ngawi. Untuk curahan kerja non-
sawah garapan. Pada kajian ini, status rumah pertanian yang dominan pada lokasi penelitian
tangga contoh didasarkan pada pekerjaan utama adalah tenaga profesional yang terdiri atas
kepala keluarga (KK) yaitu dibedakan atas petani pegawai negeri sipil, pegawai swasta dan lain-lain
dan buruh tani. Proporsi alokasi curahan kerja (Kabupaten Klaten, Kediri, Ngawi dan Sidrap),
keluarga dapat dijadikan indikasi sumber penca- sementara di Kabupaten Indramayu usaha jasa, di
harian utama pada masyarakat serta peranan Kabupaten Majalengka usaha buruh nonpertanian
berbagai sektor lainnya. Tabel 10 menunjukkan dan di Kabupaten Agam usaha dagang.
curahan jam kerja (dalam persen jam kerja) Pada sektor pertanian, distribusi alokasi jam
tenaga kerja dalam keluarga (rataan per ART yang kerja keluarga cukup beragam. Usahatani padi
bekerja) pada berbagai kegiatan ekonomi. Secara masih mendominasi dengan proporsi yang cukup
umum curahan kerja pada sektor pertanian masih besar yaitu berkisar antara 9,5 persen (kasus
dominan dibandingkan dengan curahan kerja non Kediri) sampai 30,7 persen (kasus Sidrap) dari jam
pertanian, namun kasus Kabupaten Majalengka kerja total. Berburuh tani ternyata menjadi kegiat-
menunjukkan curahan kerja keluarga pada kegiat- an yang cukup menyerap jam kerja keluarga,
165
bahkan pada beberapa kasus, melebihi usahatani adalah struktur curahan jam kerja ART yang
padi di lahan sendiri. Kisaran alokasi jam kerja bekerja pada rumah tangga petani dan rumah
keluarga untuk berburuh di lahan sawah, antara tangga buruh tani.Secara umum jumlah rumah
13 persen (kasus Kediri) sampai 28,9 persen tangga petani dan rumah tangga buruh tani pada
(kasus Ngawi) dari jam kerja total. Sementara tujuh kabupaten contoh tertera di Tabel 11.
alokasi jam kerja keluarga untuk berburuh tani di
lahan non sawah berkisar antara 0,48 persen
Tabel 11. Jumlah Rumah tangga Contoh Menurut
(kasus Agam) sampai 11,36 persen (kasus Kediri), Status Rumah tangga di Tujuh Kabupaten
relatif kecil dibandingkan dengan berburuh di Contoh, 2001
lahan sawah, kecuali kasus Kediri yang hampir
sama. Tingginya curahan jam kerja dalam keluar-
ga untuk berburuh tani dapat dijadikan indikator Rumah tangga
Kabupaten
bahwa sebagian petani menggarap lahan yang Petani Buruh Tani Total
sempit, dibanding dengan ketersediaan tenaga 1. Indramayu 60 20 80
kerja dalam keluarga (yang berkisar antara 2 – 4
orang) sehingga masih memungkinkan berburuh 2. Majalengka 67 13 80
tani sebagai kegiatan sampingan. 3. Klaten 67 13 80
Dilihat dari total curahan jam kerja per tahun 4. Kediri 60 18 78
(setara HOK) per ART yang bekerja berkisar 5. Ngawi 60 20 80
antara 77 HOK (kasus Kabupaten Indramayu) 6. Agam 74 5 79
sampai yang tertinggi 186 HOK (kasus di Kabu-
7. Sidrap 71 9 80
paten Agam). Fenomena ini menunjukkan bahwa
pada semua kabupaten contoh terjadii pengang- Sumber: Data Primer
guran terselubung, yang relatif besar, terutama
terjadi di Kabupaten Indramayu. Kesempatan kerja Pada Tabel 12 ditampilkan curahan jam
di sektor pertanian bersifat musiman berarti sektor kerja (dalam persen jam kerja) tenaga kerja dalam
pertanian memiliki kapasitas tertentu dalam me- keluarga (rataan per ART yang bekerja) pada
nyerap tenaga kerja, dan gambaran di atas rumah tangga petani dan buruh tani pada berbagai
menunjukkan kesempatan kerja di luar sektor kegiatan ekonomi. Secara umum curahan kerja
pertanian relatif terbatas seperti terlihat dari pada sektor pertanian pada rumah tangga buruh
partisipasi ART yang bekerja di luar sektor tani lebih tinggi dibandingkan dengan curahan
pertanian yang relatif kecil (Tabel 9) disamping kerja sektor pertanian pada rumah tangga petani,
total curahan jam kerja yang belum optimal. dengan proporsi yang cukup besar yaitu berkisar
Temuan ini sejalan dengan analisis data makro, antara 67.85 (kasus Kabupaten Majalengka)
yang menunjukkan masih relatif tingginya tenaga sampai dengan 96.12 persen (kasus Kabupaten
kerja yang bekerja dibawah kapasitas (52% pada Agam) dari total jam kerja. Dan sesuai dengan
tahun 2000). status rumah tangganya, curahan jam kerja terbe-
Curahan kerja pada usahatani komoditas sar adalah pada kegiatan berburuh tani terutama
palawija, hortikultura, dan komoditas lainnya di berburuh tani di lahan sawah. Fenomena ini juga
lahan sawah bervariasi antar lokasi penelitian, menunjukkan bahwa rumah tangga buruh tani
tergantung pada keragaman pola tanam yang dila- kurang akses terhadap kesempatan kerja di luar
kukan oleh masyarakat. Kasus Indramayu, Ngawi sektor pertanian. Diduga hal ini disebabkan karena
dan Agam, didominasi komoditas hortikultura, terbatasnya kesempatan kerja di luar pertanian di
sementara pada kasus Klaten, komoditas tebu dan lokasi contoh, karena dilihat dari total hari kerja
tembakau menyerap jam kerja cukup besar. Pada ART yang bekerja pada rumah tangga buruh tani
kasus Kediri dan Majalengka curahan kerja hanya berkisar antara 84 – 170 HOK per tahun
menyebar cukup merata pada komoditas hortikul- (dengan catatan 1 HOK setara dengan 7 Jam
tura dan palawija. Kegiatan usahatani lahan kering Kerja/JK).
relatif kecil. Sebaran jam kerja keluarga sesuai Curahan jam kerja pada rumah tangga
dengan keragaan usahatani dan kegiatan ekonomi petani pada sektor pertanian berkisar antara 51,53
pada masing-masing lokasi penelitian. Berdasar- (kasus Kabupaten Majalengka) sampai dengan
kan pekerjaan utama KK yang dibedakan atas 74,28 persen (kasus Kabupaten Ngawi) dari total
petani dan buruh tani, maka pembahasan berikut jam kerja. Pada sektor pertanian, proporsi curahan
166
Tabel 12. Curahan Kerja Anggota Keluarga Per ART yang Bekerja Menurut Status Rumah Tangga (petani vs buruh tani) di
Tujuh Kabupaten (% jam Kerja)
kerja pada usahatani sawah lebih dominan diban- kerja yang tersedia, sementara pada rumah
dingkan dengan kegiatan lain, disusul dengan tangga petani berkisar antara 21 – 52 persen dari
kegiatan berburuh tani di lahan sawah. Tingginya hari kerja yang tersedia yaitu 364 hari kerja per
proporsi curahan kerja pada usahatani sawah tahun.
menunjukkan bahwa rumah tangga petani dalam Pembahasan berikut adalah struktur curah-
kegiatan usahataninya banyak mengguna-kan an jam kerja ART yang bekerja dimana rumah
tenaga kerja dalam keluarga, hal ini merupakan tangga contoh dibedakan atas luas sawah garap-
salah satu faktor semakin terbatasnya kesempatan an. Rumah tangga contoh dibagi dalam 6 kelas
kerja bagi buruh tani. Pada kegiatan usahatani, luas sawah garapan, yaitu : (1) Rumah tangga
usahatani padi masih mendominasi dengan pro- yang tidak punya sawah garapan/landless; (2)
porsi yang cukup besar yaitu berkisar antara 12,87 Rumah tangga dengan luas garapan 0,01 – 0,1
persen (kasus Kediri) sampai 34,86 persen (kasus ha; (3) Rumah tangga dengan luas garapan 0,11 –
Sidrap) dari jam kerja total. 0,5 ha; (4) Rumah tangga dengan luas garapan
Dilihat dari total curahan jam kerja per tahun 0,51 – 0,75 ha; (5) Rumah tangga dengan luas
(setara HOK) per ART yang bekerja pada rumah garapan 0,76 – 1,0 ha; dan (6) Rumah tangga
tangga petani berkisar antara 75 HOK (kasus dengan luas garapan lebih dari 1 ha. Sebaran
Kabupaten Indramayu) sampai yang tertinggi 191 rumah tangga contoh menurut luas sawah garap-
HOK (kasus di Kabupaten Agam). Baik pada an ditampilkan pada Tabel 13.
rumah tangga petani maupun buruh tani pada Pada Tabel 14 ditampilkan curahan kerja
semua kabupaten contoh, terjadi pengangguran ART yang bekerja menurut sektor dan kelas luas
terselubung. Pada rumah tangga buruh tani, sawah garapan, sementara curahan kerja ART
mereka hanya bekerja 23 – 47 persen dari hari yang bekerja menurut kelas luas sawah garapan
167
Tabel 13. Jumlah Rumah Tangga Contoh Menurut Luas Sawah Garapan di Tujuh Kabupaten Contoh, 2001
Tabel 14. Curahan Kerja Anggota Keluarga Menurut Sektor dan Luas Garapan Di Tujuh Kabupaten Contoh, 2001
(% Jam Kerja)
168
dan kegiatan ekonomi secara rinci ditampilkan kan karena berkembangnya kesempatan kerja luar
pada Tabel Lampiran 1 – 7. Dari Tabel 14 terlihat pertanian (industri genteng dan bata merah).
bahwa curahan jam kerja menurut luas sawah Proporsi curahan kerja pada kegiatan berburuh
garapan tidak memberikan gambaran yang non pertanian pada kabupaten contoh ini lebih
spesifik, tidak terlihat hubungan antara luas sawah tinggi dibandingkan dengan curahan jam kerja
garapan dengan curahan jam kerja di sektor pada kegiatan berburuh tani. Hal ini disebabkan
pertanian. Namun dari data yang lebih rinci (Tabel karena kesempatan kerja berburuh tani relatif ter-
Lampiran 1–7), terlihat bahwa pada kelas garapan batas karena sifatnya musiman, sementara kegiat-
rendah, curahan jam kerja pada sektor pertanian an berburuh non pertanian sifatnya sepanjang
didominasi oleh kegiatan berburuh tani terutama di tahun tidak mengenal musim. Gambaran yang
sawah, sementara pada kelas garapan yang lebih berbeda apabila rumah tangga dibedakan atas
tinggi curahan jam kerja pada sektor pertanian rumah tangga petani dan buruh tani. Pada rumah
didominasi oleh kegiatan pada usahataninya tangga buruh tani, curahan kerja di sektor
sendiri. Pada rumah tangga buruh tani atau pada pertanian mencapai 67,85 persen dan 46,87
rumah tangga dengan luas garapan sempit dan persen diantaranya adalah kegiatan berburuh tani
rumah tangga yang tidak mempunyai garapan di lahan sawah, namun proporsi curahan kerja
nampak bahwa tumpuan kesempatan kerja adalah buruh non pertanian masih lebih rendah (29,77%).
berburuhtani di lahan sawah. Sementara pada rumah tangga petani, proporsi
Pada kasus Kabupaten Indramayu, rasio curahan jam kerja pertanian dan nonpertanian
curahan kerja ART (rumah tangga total) pada hampir seimbang (51,53% vs 48,47%), pada
sektor pertanian dan non pertanian sebesar 73 sektor pertanian didominasi oleh kegiatan pada
persen berbanding 27 persen. Buruh tani, usaha- usahatani lahan sawah dan pada sektor non-
tani padi dan hortikultura merupakan kegiatan pertanian didominasi oleh buruh nonpertanian dan
dominan pada sektor pertanian, yang masing- tenaga profesional (PNS dan lain sebagainya).
masing memiliki proporsi sebesar 27 persen, 25 Struktur curahan jam kerja pada rumah tangga
dan 13 persen dari total jam kerja. Sementara yang dibedakan atas luas sawah garapan berbeda
untuk kegiatan non pertanian, usaha jasa dan antar kelas. Pada rumah tangga yang tidak mem-
angkutan memiliki proporsi cukup besar yaitu 8,4 punyai garapan, ternyata curahan kerja pada
persen, selain itu adalah usaha industri dan buruh kegiatan berburuh non pertanian (56,36%) relatif
nonpertanian sebesar 7,4 da 7,3 persen. Pada tinggi dibandingkan curahan kerja pada kegiatan
rumah tangga buruh tani, curahan kerja ART pada berburuh tani yang hanya mencapai 31,1 persen.
sektor pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan Pada rumah tangga dengan luas garapan <0,1 ha,
rumah tangga petani (yaitu 85 persen berbanding curahan jam kerja terutama pada kegiatan usaha
68 persen), satu lagi perbedaan yang nyata ternak (52,69%) dan berburuh nonpertanian
adalah kegiatan pertanian pada rumah tangga (33,87%). Pada rumah tangga dengan luas ga-
buruh tani adalah berburuh tani (mencapai 69,78 rapan 0,1 – 0,5 ha, curahan jam kerja berturut-
persen) sementara pada rumah tangga petani turut dari proporsi yang terbesar adalah kegiatan
adalah pada kegiatan usahatani sendiri (53,68 berburuh nonpertanian (30,39%), berburuh tani di
persen). Pada rumah tangga yang tidak mempu- lahan sawah (22,4%) dan selanjutnya kegiatan
nyai garapan dan rumah tangga dengan luas pada usahatani lahan sawah (24,63%). Pada
garapan <0,1 ha curahan kerja pada kegiatan rumah tangga dengan luas garapan lebih besar
buruh tani cukup besar, masing-masing 75,28 dan dari 1 ha, curahan kerja terkonsentrasi pada
69,96 persen, pada rumah tangga dengan luas usahatani lahan sawah (42,77%) disamping juga
garapan 0,11–0,5 ha curahan kerja pada kegiatan berburuh non pertanian (22,38%)
35,72 dan kegiatan pada usahataninya sendiri Secara absolut total curahan jam kerja ART
sekitar 27 persen, sementara pada rumah tangga di Kabupaten Klaten setara dengan 121 HOK per
dengan luas garapan yang lebih tinggi, curahan tahun. Curahan kerja di sektor pertanian lebih
kerja lebih dominan pada usahatani sendiri. tinggi dari sektor non pertanian. Curahan kerja
Kasus Kabupaten Majalengka menunjukkan pada sektor pertanian yang dominan adalah
bahwa curahan kerja ART pada sektor pertanian usahatani padi, buruh tani di lahan sawah, usaha
dibandingkan dengan curahan kerja non pertanian ternak dan usahatani tembakau. Sementara
yaitu 54 persen berbanding 46 persen. Tingginya kesempatan kerja non pertanian adalah sebagai
curahan kerja pada sektor non pertanian, disebab- tenaga profesional dan buruh non pertanian. Pada
169
rumah tangga buruh tani, sektor pertanian meru- penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian
pakan alternatif kesempatan kerja utama, terutama relatif tinggi namun dengan kegiatan yang berbe-
kegiatan berburuh tani, sementara pada rumah da. Pada rumah tangga tanpa garapan kegiatan
tangga petani kesempatan kerja pertanian lebih utamanya adalah berburuh tani di lahan sawah
terkonsentrasi pada usahatani di lahan sawah maupun lahan non sawah, sementara pada rumah
garapannya. Gambaran curahan kerja rumah tangga dengan garapan di atas 0,75 ha kegiatan
tangga menurut kelas sawah garapan (Tabel 12 utamanya adalah di usahatani lahan sawah
dan Tabel Lampiran 3) menunjukkan bahwa pada garapannya. Pada rumah tangga dengan garapan
rumah tangga landless dan rumah tangga dengan 0,1–0,5 ha dan 0,5-0,75 ha, curahan kerja di
sawah garapan di atas 0,1 ha, sektor pertanian sektor non pertanian lebih besar dibandingkan
merupakan kesempatan kerja utama, walaupun dengan sektor pertanian, kegiatan non pertanian
berbeda kegiatannya. Pada rumah tangga tanpa yang terbesar adalah sebagai tenaga profesional.
garapan (landless) kegiatan utama adalah ber- Pada kasus Kabupaten Ngawi, curahan te-
buruh tani di lahan sawah, sementara pada rumah naga kerja dalam keluarga sebagian besar pada
tangga dengan sawah garapan kegiatan terutama sektor pertanian (75,39%), terutama terdiri atas
pada usahatani di lahan sawah garapannya. Pada kegiatan pada usahatani sendiri dan berburuh tani.
petani luas (sawah garapan di atas 1 ha) di Klaten, Apabila dibedakan atas rumah tangga buruh tani
proporsi curahan pada usahataninya sendiri men- dan petani, curahan tenaga kerja pada sektor
capai sekitar 70 persen dan total jam kerja pertanian rumah tangga buruh tani lebih tinggi
tertinggi dibandingkan dengan kelas-kelas yang dibandingkan dengan rumah tangga petani,
lain, walau juga belum optimal (kurang dari 50% namun perbedaannya tidak sebesar yang terjadi
hari kerja yang tersedia). Pada rumah tangga pada kabupaten contoh lain. Dan sesuai dengan
dengan sawah garapan sangat sempit (kurang status rumah tangganya, pada rumah tangga
dari 0,1 ha), selain sektor pertanian mereka juga buruh tani curahan jam kerja terbesar adalah pada
tenaga profesional, bisa jadi pada kasus ini, sektor kegiatan berburuh tani terutama berburuh tani di
pertanian hanya merupakan pekerjaan sam- lahan sawah dan pada rumah tangga petani pada
pingan. kegiatan usahataninya sendiri. Curahan kerja ART
Proporsi curahan kerja sektor pertanian di pada semua kelas rumah tangga menurut luas
Kediri sebesar 62,82 persen, sementara non sawah garapan sebagian besar masih pada sektor
pertanian sebesar 37,18 persen. Pada sektor pertanian, dengan total jam kerja yang berkisar
pertanian, kegiatan buruh tani dan pada usahatani antara 96 – 180 setara HOK per tahun, yang
lahan sawah mempunyai proporsi curahan jam menunjukkan kapasitas ART yang bekerja belum
kerja terbesar. Pada sektor nonpertanian, PNS optimal.
dan buruh nonpertanian merupakan aktivitas domi- Hal senada dijumpai pada kasus Kabupaten
nan, masing-masing memiliki proporsi sebesar Agam, dimana curahan kerja anggota rumah
24,46 dan 8,17 persen dari total jam kerja dalam tangga sebagian besar pada sektor pertanian
keluarga. Curahan kerja antara rumah tangga (71,47%); yaitu pada usahatani padi rata-rata
buruh tani dan petani menunjukkan gambaran sebesar 21,48 persen. Pada sektor nonpertanian,
yang berbeda (Tabel 12). Pada rumah tangga usaha perdagangan merupakan alternatif kesem-
buruh tani, curahan kerja pada sektor pertanian patan kerja yang dominan. Jumlah rumah tangga
mencapai 76,07 persen dan sekitar 70 persen buruh tani di Kabupaten Agam relatif kecil (5
diantaranya adalah curahan kerja pada kegiatan rumah tangga), curahan kerja pada rumah tangga
berburuh tani baik pada lahan sawah maupun ini sebagian besar pada sektor pertanian (96%)
nonsawah. Pada rumah tangga petani, curahan terutama pada kegiatan berburuh tani di lahan
kerja pada sektor pertanian sekitar 58 persen dan sawah. Sementara pada rumah tangga petani
sebagian merupakan curahan kerja pada kegiatan curahan kerja pada sektor pertanian mencapai
pada usahatani lahan sawah garapannya dan di sekitar 70 persen yang terdiri atas kegiatan pada
sektor nonpertanian, tenaga profesional merupa- usahatani lahan sawah dan berburuh tani. Pada
kan alternatif kesempatan kerja yang cukup tinggi rumah tangga landless, curahan waktu kerja se-
di kabupaten ini. Curahan kerja pada kelas rumah mua pada kegiatan berburuh tani di lahan sawah,
tangga menurut luas sawah garapan bervariasi, dengan pendapatan per kapita Rp 737 ribu per
pada rumah tangga tanpa garapan (landless), dan tahun relatif kecil dibandingkan dengan penda-
rumah tangga dengan garapan di atas 0,75 ha patan pada kelas gaparan lain.
170
Sektor pertanian merupakan sumber penca- sebagian diantaranya bekerja di luar sektor non
harian utama di Kabupaten Sidrap, nampak dari pertanian. Secara rataan, penyerapan tenaga
curahan kerja rumah tangga yang lebih dari 70 kerja di sektor pertanian sesuai dengan gambaran
persen pada sektor pertanian, terutama usahatani penyerapan tenaga kerja secara makro. Suatu hal
padi, dan buruh tani, yang mencapai 50,6 persen. yang menarik perhatian adalah tingginya keter-
Curahan kerja pada sektor nonpertanian yang ada gantungan rumah tangga buruh tani terhadap
adalah buruh nonpertanian dan pegawai negeri sektor pertanian terutama pada kegiatan berburuh
sipil (tenaga profesional). Seperti halnya di Kabu- tani di lahan sawah, dan nampak kurang aksesnya
paten Agam, jumlah rumah tangga buruh tani di rumah tangga buruh tani terhadap kesempatan
Kabupaten Sidrap relatif kecil (9 rumah tangga), kerja non pertanian. Hal ini bila dilihat dari total
curahan kerja pada rumah tangga ini sebagian curahan kerja per tahun yang masih relatif rendah
besar pada sektor pertanian (95%) terutama pada (dibawah 50% dari ketersediaan hari kerja) dan
kegiatan berburuh tani di lahan sawah. Sementara rendahnya pendapatan per kapita rumah tangga
pada rumah tangga petani curahan kerja pada buruh tani. Atau memang di lokasi tersebut tidak
sektor pertanian mencapai sekitar 66,56 persen tersedia kesempatan kerja di luar sektor pertani-
yang sebagian besar merupakan kegiatan pada an. Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan
usahatani lahan sawah garapannya sendiri. kajian khusus tentang ketenagakerjaan dan
Peranan penyerapan tenaga kerja pada sektor kesempatan kerja. Sementara pada rumah tangga
pertanian masih relatif besar pada semua kelas petani, alokasi waktu kerja lebih banyak pada
rumah tangga, terutama pada rumah tangga tanpa usahatani sawah garapannya sendiri. Dilihat dari
luas sawah garapan dan pada rumah tangga total jam kerja, baik pada rumah tangga total,
dengan garapan 0,75–1 ha, kesempatan kerja rumah tangga petani dan buruh tani maupun pada
nonpertanian yang tersedia adalah buruh non- rumah tangga menurut luas sawah garapan
pertanian, tenaga profesional dan usaha jasa/ terlihat bahwa total jam kerja per ART yang
angkutan. bekerja per tahun masih relatif rendah (dibawah
Sumbangan pendapatan sektor pertanian 200 HOK per tahun). Hal ini menunjukkan bahwa
tidak sebesar proporsi alokasi curahan kerja pada tenaga kerja masih bekerja dibawah kapasitasnya,
sektor yang sama, kecuali kasus di Kabupaten dengan kata lain terjadi pengangguran terselu-
Indramayu. Hal ini sesuai dengan gambaran bung di pedesaan, seperti yang tergambar pada
secara makro dimana peranan sektor pertanian ketenagakerjaan tingkat makro. Hal ini menunjuk-
dalam penyerapan tenaga kerja dan PDB tidak kan bahwa ada keterbatasan kesempatan kerja di
seimbang. Fenomena menunjukkan bahwa secara luar pertanian dan tersumbatnya mobilitas tenaga
rata-rata produktivitas tenaga kerja sektor per- kerja pertanian ke non pertanian.
tanian dibawah sektor nonpertanian. Suatu hal
yang perlu dicermati lebih lanjut adalah jenis Perkembangan Tingkat Upah Sektor Pertanian,
kegiatan/usaha sektor nonpertanian apa yang Sistem Hubungan Kerja dan Pasar Tenaga
mampu memberikan produktivitas tenaga kerja Kerja di Indonesia
yang lebih tinggi. Bisa jadi suatu sektor yang
memerlukan modal yang cukup tinggi, sehingga
kesempatan kerja ini tidak dapat dimasuki oleh Perkembangan Tingkat Upah di Sektor
semua tenaga kerja atau yang tersedia adalah Pertanian
kegiatan non pertanian dengan upah relatif ren- Tingkat upah adalah nilai tukar dari tenaga
dah. Misalnya, kasus di Kabupaten Majalengka, kerja yang dijual kepada orang lain. Tingkat upah
dimana di daerah ini berkembang kesempatan di sektor pertanian ditentukan oleh pasar tenaga
kerja buruh nonpertanian (pada industri genteng kerja (interaksi antara penawaran dan permintaan
dan bata merah), namun kesempatan kerja ini tenaga kerja), pasar komoditas (sebagai input
tidak mampu meningkatkan pendapatan per kapita produksi, permintaan tenaga kerja dapat dipan-
pada rumah tangga buruh tani (Rp 519,6 ribu/ dang sebagai permintaan dari komoditas dalam
tahun) yang curahan kerja pada kegiatan ini cukup proses produksi), faktor kelembagaan tenaga kerja
besar (29,77% dari total jam kerja). yang ada (sifatnya spesifik lokasi) dan sosial
Dari uraian pada tujuh lokasi penelitian, budaya. Menurut Erwidodo (1993) faktor-faktor
sektor pertanian masih menjadi kesempatan kerja yang mempengaruhi tingkat upah pertanian di
utama bagi rumah tangga pedesaan, sekalipun suatu wilayah, antara lain : ketersediaan tenaga
171
Tabel 15. Perkembangan Rata-Rata Upah Buruh Tani di Lima Provinsi Contoh, 1989-2000
172
Tabel 16. Tingkat Pertumbuhan Upah Buruh Tani pada
6.00
5.00 Pasar tenaga kerja pertanian di pedesaan
4.00 bersifat spesifik, permintaan tenaga kerja terkait
3.00 dengan kegiatan dan musim artinya permintaan
2.00
1.00 tenaga kerja bersifat musiman, sementara pena-
0.00 waran tenaga kerja di pedesaan relatif tetap.
89 91 93 95 97 99 Dengan pengembangan teknologi di sektor perta-
19 19 19 19 19 19 nian seperti penjadwalan tanam, introduksi varie-
tas unggul dan masuknya mekanisasi pertanian
Sumbar Jabar Jateng
menyebabkan waktu pengerjaan kegiatan usaha-
Jatim Sulsel tani lebih singkat, pada saat itu permintaan tenaga
kerja sangat tinggi, sehingga kadang-kadang
Gambar 4. Perkembangan Upah Mencangkul Riil memunculkan isu terjadinya kelangkaan tenaga
kerja di sektor pertanian. Namun, pada saat tidak
ada kegiatan di sektor pertanian, terjadi kelebihan
Upah (Setara Kg Beras)
173
Pasar tenaga kerja di pedesaan Jawa Sistem Kelembagaan Hubungan Kerja
menunjukkan bahwa mekanisme pasar tenaga Pertanian
kerja sudah berjalan dengan baik. Secara umum Hasil penelitian di tujuh kabupaten contoh
sektor pertanian di pedesaan Jawa menunjukkan menunjukkan bahwa sebagian besar buruh tani
adanya ketersediaan tenaga kerja yang berlebih berburuh pada usahatani sawah (temuan ini
(over supply), namun ada indikasi makin terjadi sesuai dengan curahan kerja pada pembahasan
kekurangan tenaga kerja. Kelebihan tenaga kerja sebelumnya) dengan sistem hubungan kerja
sektor pertanian di pedesaan sebagian terserap sebagai buruh lepas. Hasil penelitian ini sejalan
oleh sektor nonpertanian, seperti industri, perda- dengan penelitian Patanas yang menemukan fakta
gangan dan jasa. Di Kabupaten Majalengka, pada semakin berkurangnya buruh tetap dan buruh
daerah-daerah lahan sawah irigasi yang berde- langganan (Bagyo, 1997, Saptana, 1999, Saleh,
katan dengan pusat industri seperti kecamatan 1997 dan Rachmat, 2000). Meskipun hasil peker-
Jatiwangi yang merupakan sentra industri genteng jaan buruh tetap/langganan lebih baik, namun
menunjukkan adanya kelangkaan tenaga kerja nampaknya semakin sulit untuk memperolehnya.
pria untuk mencangkul, sedangkan pada lahan Fenomena ini mengindikasikan bekerjanya sistem
sawah tadah hujan terjadi kekurangan tenaga pasar tenaga kerja yang semakin terbuka dan
kerja untuk kegiatan menanam dan panen. adaptasi kelembagaan hubungan kerja menun-
Sementara itu, di Kabupaten Klaten dan Kediri jukkan bahwa pasar tenaga kerja pedesaan
pada daerah lahan sawah irigasi teknis menun- bekerja cukup baik, berkembang menuju ke arah
jukkan adanya kelangkaan tenaga kerja karena yang semakin efisien dan berdasarkan rasional
banyak tenaga kerja yang terserap pada industri ekonomi. Proses adaptasi sangat dipengaruhi oleh
setempat seperti industri furniture di Klaten dan perubahan teknologi. Indikasi tersebut terjadi di
industri gula merah tebu dan rokok di Kediri, daerah persawahan, searah dengan semakin
sedangkan pada tipe irigasi lainnya menunjukkan ketatnya pengaturan waktu tanam dan penerapan
masih adanya kecukupan tenaga kerja. Bahkan mekanisasi pertanian dalam pengolahan lahan
untuk daerah lahan sawah tadah hujan menun- dan panen. Namun demikian, di kabupaten con-
jukkan adanya tenaga kerja yang berlebih. toh, masih ditemui kasus-kasus hubungan kerja
Kelangkaan tenaga kerja pada lahan sawah tetap dan atau langganan seperti di Kabupaten
irigasi teknis di Jawa sangat terkait dengan intensi- Indramayu, Majalengka, Ngawi dan Sidrap. Di
tas tanam yang tinggi dan tingginya mobilitas kabupaten Indramayu, buruh tetap dijumpai pada
penduduk antar wilayah dan antar sektor, sedang- usahatani padi (di desa irigasi teknis dan irigasi
kan adanya gejala kelangkaan tenaga kerja pada sederhana) dan pada usahatani bawang merah.
lahan sawah tadah hujan (kasus Majalengka) Tenaga kerja tetap pada usahatani padi terutama
terkait dengan ketergantungan saat tanam dengan dijumpai pada petani luas (yang dari sisi waktu
turunnya hujan serta rata-rata pemilikan lahan tidak mampu mengawasi semua lahan miliknya),
yang relatif lebih luas. Pasar tenaga kerja di pede- dengan upah 7 kw GKG per musim per ha di desa
saan luar Jawa menunjukkan bahwa mekanisme irigasi teknis yang dikenal sebagai sistem hubu-
pasar tenaga kerja sudah berjalan dengan baik, ngan kerja “open-openan”, selain upah tetap,
meskipun belum terintegrasi sebaik di Jawa. Pasar buruh tetap juga memperoleh hak untuk memper-
tenaga kerja di Kabupaten Agam dan Kabupaten oleh bagi hasil pada musim kemarau. Kewajiban
Sidrap, menunjukkan adanya kelangkaan tenaga tenaga kerja tetap adalah melakukan kegiatan
kerja pada semua tipe agroekosistem. Makin pemeliharaan dan mencari tenaga pengolahan
berperannya mekanisme pasar tenaga kerja di lahan, tanam dan panen, serta mempersiapkan
pedesaan luar Jawa ditunjukkan oleh hampir sarana produksi (pupuk dan pestisida) sesuai
semua aktivitas berburuh pertanian dilakukan dengan kebutuhan, tenaga tetap pada usahatani
dengan sistem upah, di Kabupaten Agam sistem padi berfungsi sebagai pengelola (manager) usa-
upah harian lebih dominan. Di Kabupaten Sidrap hatani sekaligus pekerja. Sistem ini berkembang
sistem upah borongan lebih dominan, meskipun dan merupakan suatu kasus yang didorong oleh
pada lokasi yang sumber air dan aksesibilitasnya adanya polarisasi pemilikan lahan. Kesempatan
kurang baik masih ditemukan sistem sambat- kerja dikuasai oleh pemilik lahan luas dan tenaga
sinambat khususnya untuk kegiatan tanam. kerja dalam posisi yang lemah. Sementara itu,
sistem hubungan kerja tetap pada usahatani
bawang merah didorong karena budidaya bawang
174
merah sangat intensif. Tenaga kerja tetap pada Keengganan penerapan sistem ceblokan berasal
usahatani bawang merah mempunyai tugas untuk dari pemilik lahan. Namun, hasil temuan pada
melakukan kegiatan pemeliharaan yang meliputi penelitian ini, menunjukkan adanya pergeseran
kegiatan menyiram, menyemprot dan menyiang. aturan main pada sistem penceblok, yang lebih
Di Kabupaten Sidrap, pemusatan pengua- menguntungkan penceblok. Hasil temuan di Maja-
saan lahan yang diindikasikan adanya petani yang lengka dan Indramayu menunjukkan bahwa
menguasai lahan luas (30-33 ha), mendorong kewajiban penceblok pada saat ini hanya melaku-
sistem hubungan kerja tetap, seperti halnya di kan kegiatan menanam saja, bahkan penceblok
Indramayu meskipun kasus ini hanya ditemukan memperoleh insentif tambahan dengan istilah
pada desa irigasi baik, dengan upah satu ton GKP uang sabun.
per ha/musim. Sehingga unit-unit usahatani tetap Di Indramayu, penceblok yang melakukan
dikerjakan seperti halnya usaha keluarga. Di sam- kegiatan tanam memperoleh “uang sabun” yang
ping itu, pemusatan penguasaan lahan di Sidrap besarnya sekitar 30 – 50 persen dari tingkat upah
mendorong usahatani dengan orientasi ke arah borongan tanam atau Rp 8000 per hari per orang.
teknologi hemat tenaga kerja yaitu dengan peng- Kasus di Majalengka, petani memberikan beras
gunaan mekanisasi pertanian (traktor, power dan uang meskipun jumlahnya tidak seberapa,
threser, dan water pump) dan penggunaan her- yaitu sekitar 1 “kati” (3/4kg) beras ditambah de-
bisida sebagai pemberantasan gulma. ngan sekitar uang Rp 2000 per orang. Fenomena
Buruh langganan terutama dijumpai pada ini menunjukkan bahwa ada kelangkaan tenaga
usahatani padi, dan dikenal sebagai sistem kerja tanam, disebabkan karena ada jadwal tanam
ceblokan dan dijumpai di Kabupaaten Indramayu serentak, sehingga posisi tawar menawar buruh
dan Majalengka. Menurut Erwidodo (1993), sis- tanam pada waktu tertentu (pada waktu puncak
tem ceblokan mengandung makna adanya hubu- musim tanam) semakin meningkat.
ngan resiprokal antara petani dan buruh tani
disamping hak serta kewajibannya dan hal ini Sistem Pengupahan di Sektor Pertanian
menunjukkan adanya interlink antara pasar lahan
dan pasar tenaga kerja. Aturan main yang Sistem pengupahan pada hubungan kerja
terkandung dalam sistem ceblokan adalah bahwa pertanian dapat berupa upah harian, upah
penceblok berkewajiban melakukan kegiatan borongan, upah tetap, dan upah bawon. Menurut
menanam dan menyiang tanpa diupah dan mem- Wiradi (1984), pembayaran upah borongan dida-
peroleh hak penuh untuk memanen. Bentuk sarkan pada satuan hasil kerja, dengan demikian
kelembagaan ceblokan akan mempengaruhi ke- upah bawon merupakan juga upah borongan yang
sempatan kerja, menurut Gunawan (1989) dan dibayar dalam bentuk natura. Pembayaran upah
Rachman (1989) hadirnya sistem ceblokan harian didasarkan pada jumlah hari kerja,
mengakibatkan tidak terjadinya free entry di pasar sementara pembayaran upah tetap didasarkan
tenaga kerja di pedesaan Jawa Barat. Disamping pada satuan waktu tertentu (per minggu, per
mengakibatkan adanya pasar tenaga kerja yang bulan, per musim atau per tahun). Hasil penelitian
tidak sempurna (ada segmentasi pasar), sistem tahun 2000-2001, menunjukkan bahwa tingkat
ceblokan juga menimbulkan dampak negatif, partisipasi buruh tani dengan sistem upah harian
antara lain : (1) Dengan hak monopoli memanen, di lokasi penelitian masih lebih besar dibanding-
waktu panen lebih ditentukan oleh penceblok, kan dengan sistem upah borongan (tidak termasuk
apabila ada kesempatan memanen di luar upah bawon), kecuali di Kabupaten Sidrap, di
ceblokan maka penceblok akan ikut memanen di mana sistem pengupahan yang berlaku sebagian
tempat lain, sehingga pemilik lahan merasakan besar adalah borongan (Tabel 15). Tingginya
dirugikan; (2) Penceblok merontokan hasil 1-3 hari tingkat partisipasi sistem upah harian di Klaten,
setelah penyabitan, hal ini tentu akan mengurangi Kediri dan Agam antara lain disebabkan karena
kualitas gabah yang diperoleh pemilik lahan. tenaga kerja panen (untuk menyabit) diupah
Dengan adanya dampak negatif pada sistem dengan sistem harian. Hasil penelitian “Rice” pada
ceblokan, maka ada kecenderungan berkurangnya tahun sebelumnya menunjukkan adanya perge-
sistem ceblokan, kalaupun ada hanya terbatas seran dari dominasi sistem upah harian ke sistem
pada famili dan kerabat. Fenomena ini juga upah borongan. Indikasi yang sama juga ditemu-
menunjukkan adanya interlink antara pasar lahan kan Kabupaten Indramayu, Klaten, Kediri.
dan pasar tenaga kerja semakin berkurang.
175
Sistem upah borongan merupakan institusi (labour exchange) yang oleh masyarakat setempat
baru yang berkembang cukup pesat, dan secara disebut “julo-julo”. Namun karena diduga tenaga
bertahap berhasil menggeser sistem upah harian. kerja relatif jarang (scare), maka setiap kegiatan
Pengguna tenaga kerja lebih menyukai sistem selalu diperhitungkan secara ekonomi, sehingga
borongan karena: (a) perhitungan biaya yang akan apabila seorang petani yang mempunyai hutang
dikeluarkan menjadi lebih pasti, bukan ditentukan julo-julo dan dia tidak ada kesempatan untuk
oleh lamanya kerja seperti yang berlaku pada share tenaga kerja, maka dia harus membeli tena-
sistem upah harian, (b) para pekerja tidak perlu ga orang lain untuk di jadikan julo-julo. Bahkan
diawasi dan tidak perlu memikirkan menyediakan apabila seseorang memiliki piutang julo-julo dan
makan bagi yang bekerja, dan (c) lebih memu- kebetulan dia tidak ada lagi yang harus dikerjakan,
dahkan dalam manajemen pencarian tenaga pe- maka dia dapat menjual julo-julo tersebut sehingga
kerja, dan tidak perlu lagi dilakukan secara per- dia memperoleh uang tunai.
orangan. Sistem borongan ini juga menguntung- Di Kabupaten Sidrap, sistem pengupahan
kan pekerja karena: (a) mencari kesempatan kerja yang berlaku adalah sistem upah borongan yang
lebih mudah, karena dilakukan secara bersama- dijumpai pada kegiatan pengolahan tanah dengan
sama, (b) kemampuan kerja dapat dipakai sebagai traktor, tanam, dan kegiatan panen (borongan
reputasi kelompok dalam menda-patkan peluang natura) yang dijumpai di semua lokasi contoh.
kerja, dan (c) besar kecil imbalan kerja tergantung Sementara itu, hubungan kerja langganan secara
prestasi kerja atau kecepatan dalam menyelesai- gotong royong masih dijumpai pada lahan sawah
kan pekerjaan bukan ditentukan oleh lamanya irigasi setengah teknis, sederhana, dan lahan
bekerja. Dengan demikian, berkembangnya sistem sawah tadah hujan, namun sudah mengarah ke
kerja borongan merupakan hasil dari mekanisme sistem upah secara borongan. Di samping itu
pasar tenaga kerja yang semakin efisien, karena ditemukan adanya sistem hubungan kerja secara
sistem ini mampu menurunkan biaya transaksi dan tetap dengan sistem upah borongan natura di
pengawasan, serta sekaligus memberi peluang lokasi lahan sawah irigasi teknis pada pemilik-
untuk meningkatkan prestasi kerja. pemilik lahan luas.
Pada usahatani padi sistem pengupahan
borongan berlaku untuk kegiatan pengolahan ta-
nah dengan traktor, cabut bibit dan tanam, pemu- KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
pukan dengan urea tablet. Sistem pengupahan
harian tenaga kerja pria berlaku untuk kegiatan 1. Secara makro, penyerapan tenaga kerja pada
pengolahan lahan (mencangkul), pengolahan sektor pertanian di pedesaan masih cukup
lahan dengan ternak, pemupukan, cabut bibit. tinggi, sementara sumbangan sektor pertanian
Berbeda pada pekerjaan lainnya sistem upah terhadap PDB semakin menurun, sehingga
borongan jarang dijumpai pada kegiatan panen mengakibatkan semakin menurunnya produk-
padi, meskipun pada kondisi saat ini ditemukan tivitas tenaga kerja sektor pertanian. Data
adanya sistem panen khususnya untuk sabit padi yang sama menunjukkan peningkatan pe-
secara borongan untuk kasus di Klaten. Semen- ngangguran terbuka dan pengangguran tidak
tara pada usahatani hortikultura (kasus bawang kentara di pedesaan yang masih relatif besar,
merah dan cabe di Indramayu) sistem upah boro- walau ada kecenderungan menurun pada
ngan berlaku untuk kegiatan pengolahan tanah tahun 2000. Beberapa langkah strategis yang
dengan tenaga kerja manusia. Dan sistem upah dapat dilakukan adalah melalui pengemba-
harian berlaku untuk pemasangan ajir, penyiram- ngan usahatani komoditas komersial yang
an, tanam, panen, pemeliharaan, dan pemupukan. bersifat padat tenaga kerja, usaha-usaha
Salah satu keunikan kondisi tenaga kerja di konsolidasi lahan dan managemen usahatani,
kabupaten Agam adalah bahwa sebagian besar serta pengembangan dan pendalaman agro-
penggunaan tenaga kerja pada kegiatan pertanian industri berbasis bahan baku setempat
dibayar dengan cara upah harian (daily wages), 2. Hasil kajian di tingkat mikro menunjukkan
baik pada kegiatan mencangkul, tanam sampai bahwa secara umum curahan kerja pada
dengan kegiatan panen. Namun pada sebagian sektor pertanian masih dominan dibandingkan
masyarakat tani yang kurang memiliki modal, dengan curahan kerja non pertanian, penye-
untuk memperoleh tenaga kerja dari luar keluarga rapan tenaga kerja pada sektor pertanian
dapat dilakukan dengan cara arisan tenaga kerja
176
(rataan semua lokasi contoh) mencapai 67,31 sebagai masukan bahwa dalam penentuan
persen, gambaran ini sesuai dengan gam- sasaran yang layak memperoleh bantuan
baran makro dimana sektor pertanian masih Program Raskin perlu memasukkan indikator
menyerap 67,7 persen tenaga kerja, namun buruh tani.
ada variasi antar kabupaten. Secara umum 5. Hasil penelitian di tujuh kabupaten contoh
curahan kerja pada sektor pertanian pada menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran:
rumah tangga buruh tani lebih tinggi diban- (1) sistem kelembagaan hubungan kerja tra-
dingkan dengan curahan kerja sektor pertani- disional ke arah sistem pola hubungan buruh
an pada rumah tangga petani, dengan lepas; (2) sistem upah harian ke sistem upah
proporsi yang cukup besar yaitu berkisar borongan dan (3) makin terintegrasinya tingkat
antara 67,85 – 96,12 persen dari total jam upah antar lokasi dan antar kegiatan. Artinya
kerja dan terfokus pada kegiatan berburuh sistem pasar tenaga kerja pertanian telah
tani di lahan sawah. Pada rumah tangga bekerja dengan baik dan makin terintegrasi.
petani, curahan kerja terfokus pada kegiatan Adanya perubahan kelembagaan hubungan
usahataninya sendiri. Implikasinya, dengan kerja menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja
keterbatasan kesempatan kerja di luar sektor pedesaan bekerja cukup baik, berkembang
pertanian, akan mengakibatkan semakin ber- menuju ke arah yang semakin efisien dan
kurangnya kesempatan kerja buruh tani, berdasarkan rasional ekonomi dan akan
karena kegiatan usahatani akan dikerjakan mengakibatkan persaingan pasar tenaga kerja
sendiri oleh tenaga kerja dalam keluarga. pertanian dan nonpertanian di pedesaan.
3. Total curahan jam kerja per tahun (setara Implikasinya pengembangan usahatani padi
HOK) per ART yang bekerja berkisar antara dan komoditas komersial di lahan sawah terus
75 - 191 HOK artinya terjadi pengangguran ditingkatkan baik memalui perluasan areal
terselubung di daerah pedesaan sesuai de- maupun peningkatan intensitas tanam sehing-
ngan gambaran makro, tidak ada perbedaan ga mampu menyerap kelebihan tenaga kerja
total curahan jam kerja yang nyata antara pertanian. Disisi lain harus tetap membuka
rumah tangga buruh tani dan petani. Oleh kesempatan kerja di luar pertanian sehingga
karena kesempatan kerja di sektor pertanian arus migrasi tidak tersumbat.
bersifat musiman (sektor pertanian memiliki
kapasitas tertentu dalam menyerap tenaga
kerja), gambaran di lokasi kajian mengindi- DAFTAR PUSTAKA
kasikan kesempatan kerja di luar sektor per-
tanian yang relatif terbatas. Bagyo. A.S dan Sumaryanto. 1997. Studi Dinamika
4. Pada periode 1989 – 2000, di Sumatera Barat Kesempatan Kerja dan Pendapatan Provinsi
dan Sulawesi Selatan, tingkat upah riil untuk Jawa Tengah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat
semua kegiatan cenderung menurun. Semen- Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
tara di Jateng dan Jatim tingkat upah riil masih BPS, 1990. Penduduk Indonesia. Hasil Sensus
meningkat, walau relatif kecil, yaitu 1,03 Penduduk Tahun 1990. Badan Pusat Statistik.
persen (Jateng) dan 1,81 persen (Jatim) per Jakarta
tahun. Sementara di Jabar, tingkat upah men- BPS, 1990. Penduduk Indonesia. Hasil Sensus
cangkul riil menurun (-0,09%/tahun), sedang Penduduk Tahun 1990. Badan Pusat Statistik.
tingkat upah menanam dan merambet me- Jakarta
ningkat masing-masing 1,25 dan 2,03 persen BPS, 1995. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia
per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pertum- Tahun 1995. Badan Pusat Statistik. Jakarta
buhan tingkat upah lebih lambat dibandingkan BPS, 2001. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia
dengan pertumbuhan harga beras di tingkat Tahun 1995. Badan Pusat Statistik. Jakarta
konsumen. Implikasinya kesejahteraan rumah Erwidodo;M. Syukur; B. Rachman; G.S.Hardono. 1993.
tangga buruh tani akan menurun, sehingga Evaluasi Perkembangan Tingkat Upah Di
diperlukan pengembangan usahatani padi dan Sektor Pertanian. Monograph Series N0. 15.
komoditas komersial di lahan sawah yang Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
efisien, yang mampu memberikan tingkat upah Bogor. 1993.
riil yang meningkat agar tingkat kesejahteraan Gunawan,M., A. Pakpahan dan E. Pasandaran. 1989.
buruh tani tidak tertinggal. Temuan ini dapat Perubahan Kelembagaan Pertanian pada
177
Pasca Adopsi Padi Unggul. Prosiding Evolusi Saptana, Maesti M. dan M. Syukur. 2000. Pola
Kelembagaan Pedesaan. Pusat Penelitian Hubungan Kerja Sektor Pertanian di Pedesaan
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Jawa Timur. Prosiding Perspektif Pemba-
Mubyarto, 1985. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. ngunan Pertanian dan Pedesaan Dalam Era
Jakarta Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. 2000. Bogor. p:278-290.
Rachman, B. 1989. Sistem Hubungan Kerja dan
Distribusi Pendapatan di Pedesaan Jawa Supriyati dan N. Syafa’at. 2000. Analisis perubahan
Barat. Prosiding Evolusi Kelembagaan Pede- Struktur Kesempatan Kerja Di Indonesia, 1995-
saan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi 1998: Implikasinya pada Peran Sektor Per-
Pertanian. Bogor. tanian dalam Penyerapan Tenaga Kerja.
Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian
Rachmat. M; Supriyati, Hendiarto. 2000. Dinamika dan Pedesaan Dalam Era Otonomi Daerah.
Kelembagaan Lahan dan Hubungan Kerja Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Pertanian dalam Prosiding Perspektif Pemba- 2000. p: 128-1.
ngunan Pertanian dan Pedesaan Dalam Era
Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Tirto Sudarmo R. 1993. Migrasi dan Perubahan Sosial
Ekonomi Pertanian. 2000. Bogor. p:226-238. di Masa Orde Baru. AnalisisCSIS. Jakarta.
Saleh, C. 1997. Studi Dinamika Kesempatan Kerja dan Wiradi, J. Dan Makali. 1984. Penguasaan Tanah dan
Pendapatan Provinsi Sulawesi Selatan. Lapo- Kelembagaan dalam Perspektif Pembangunan
ran Hasil Penelitian. Pusat penelitian Sosial Ekonomi Pedesaan Indonesia. Yayasan Obor
Ekonomi Pertanian. Bogor. Indonesia. Jakarta. p: 43 – 130.
178