Sei sulla pagina 1di 20

DINAMIKA KEPUASAN PERKAWINAN PASANGAN SUAMI-ISTRI DALAM MASYARAKAT JAWA Oleh : Y.

Bagus Wismanto Fakultas Psikologi UNIKA SOEGIJAPRANATA SEMARANG

Inquiry: Jurnal Ilmiah Psikologi, Vol. 4, No. 1, November 2011


ABSTRACT This research aims to test the marital satisfaction model in Javanese culture and to find the path order of marital satisfaction. There are six variables : marital commitment (as the exogen/independent variable), marital satisfaction (endogen/dependent variable) and dyadic adjustment, willingness to sacrifice, exchange equity, perception toward partners behavior (as intervening/causal variables). The data were 118 couples (236 individuals) taken randomly from five districts and kelurahan of Bantul regency. The statistical test was path analysis, and was used the AMOS 4,01 version. It is found that the order of lines influences of husbands marital satisfaction are : (1) from wifes commitment to wifes dyadic adjustment and finally to the husbands marital satisfaction; (2) From the wifes marital commitment to the wifes willingnes to sacrifice and through the wifes dyadic adjustment then to the husbands marital satisfaction; (3) From the wifes marital commitment to the wifes exchange equity and through the wifes dyadic adjustment then to the husbands marital satisfaction. It is found out that the order of lines influencing the wifes marital satisfaction are : (1) From the husbands marital commitment to the dyadic adjustment and finally to the wifes marital satisfaction; (2) From the husbands marital commitment to the husbands willingness to sacrifice through the dyadic adjustment and finally to the wifes marital satisfaction. The husbands dyadic adjustment is the sole factor determining the wifes marital satisfaction. It is shown that the wifes model is simpler than the husbands. Key words : Marital satisfaction; Javanese culture; Path analysis.

Undang Undang Perkawinan R.I. No.: 1/1974, Bab I Pasal 1 menyatakan bahwa : perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal tersebut sesuai dengan pendapat masyarakat pada umumnya yang menyatakan tujuan dari suatu perkawinan adalah untuk membentuk keluarga, yang tentunya dengan harapan bahagia dan sejahtera. Sesuai hukum alam, tidak ada sesuatupun di dunia ini yang kekal. Namun demikian perkawinan yang kekal merupakan cita-cita dan harapan setiap
Penelitian ini mendapat pendanaan dari Yayasan Sandjojo, Semarang.

pasangan manusia yang harus diartikan secara moral. Kata kekal berarti kekal yang terbatas yaitu sampai salah seorang diantara suami-istri meninggal dan tidak terjadi perceraian sebelumnya. Sebagai suami-istri segala kebutuhan yang berbeda harus diarahkan untuk kebutuhan bersama. Suami-istri tidak lagi saling menutup diri, tidak ada yang mementingkan diri sendiri, dan semua kebutuhan rumah tangga seharusnya didiskusikan bersama. Untuk dapat melakukan hal itu suami-istri harus terus

menerus saling belajar dan saling menyesuaikan diri supaya tujuan keluarga tidak saling bertentangan. Ikatan perkawinan mestinya berlangsung seumur hidup, dan diharapkan pasangan suami-istri mampu menjaga dan mengembangkan ikatan tersebut. Dengan demikian proses penyesuaian diri dalam perkawinan akan berjalan terus menerus sepanjang hidup perkawinan itu sendiri. Dalam kehidupan nyata, tidak semua hidup perkawinan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Banyak di antara mereka yang tidak sejalan, yaitu antara suami istri tidak dapat saling menyesuaikan dan bahkan tidak dapat menerima lagi suami atau istri sebagai pasangan hidupnya, sehingga terjadi perceraian. Perceraian adalah indikasi tidak adanya kepuasan perkawinan di antara suamiistri. Di Indonesia, berdasar catatan Biro Pusat Statistik (2001) secara nasional tercatat bahwa tahun 1998/1999 terdapat 139.959 kasus talaq dan cerai,

sedangkan tahun 1999/2000 tercatat 183.805 kasus. Secara regional, di Jawa Tengah catatan talaq dan cerai pada tahun 1998/1999 tercatat 35.655 kasus dan tahun 1999/2000 tercatat 45.641 kasus. Data tersebut menunjukkan kenaikan sebesar 28 %, dan menunjukkan pula bahwa di Jawa Tengah terjadi 125 kasus setiap hari. Di Daerah Istimewa Yogyakarta kasus talak meningkat sekitar 100 kasus tiap tahunnya dari tahun 1999 -2002, sedangkan kasus cerai-rapak berjumlah sekitar 900 kasus setiap tahunnya (BPS, 2003). Perlu diingat bahwa catatan tersebut adalah kasus-kasus yang tercatat secara resmi di Pengadilan Tinggi Agama Propinsi, sehingga kemungkinan besar kasus nyata yang terjadi lebih besar lagi. Kepuasan perkawinan secara umum dipengaruhi oleh kesediaan

berkurban suami maupun istri, sedangkan kesediaan berkurban dipengaruhi oleh komitmen yang kuat (Van Lange, et al., 1997a; Van Lange, et al., 1997b; Wieselquist, et al., 1999). Lebih jauh lagi Van Lange, et al. (1997a), menyebutkan bahwa kesediaan berkurban berhubungan dengan fungsi pasangan yang oleh

sebagian orang disebut sebagai penyesuaian diadik (penyesuaian dua arah), karena semakin baik fungsi pasangan otomatis semakin baik pula penyesuaian diadiknya. Beberapa penelitian mengukur variabel kepuasan perkawinan dengan skala dyadic adjustment (Carey, et al., 1993; Kurdek, 1992; Heyman, et al., 2001), namun ada pula yang meneliti penyesuaian diadik dan kepuasan perkawinan sebagai dua variabel yang terpisah, seperti yang dilakukan oleh Bouchard, et.al. (1998) yang menemukan bahwa strategi pengatasan masalah dan penyesuaian diadik mempengaruhi kepuasan perkawinan diri subyek penelitian dan

pasangannya. Dalam penelitian ini, penyesuaian diadik dan kepuasan perkawinan adalah dua variabel yang terpisah, karena penyesuaian diadik dilihat sebagai prediktor bagi kepuasan perkawinan, di samping dipengaruhi oleh komitmen dan kesediaan berkurban. Dion & Dion (dalam Baron & Byrne, 1997) menyatakan bahwa budaya berpengaruh terhadap individu dan kelompok dalam memandang dan

mengkonsepkan cinta dan keintiman relasi. Masyarakat yang kolektivistik (India, China, Pakistan, dan juga Indonesia) mempunyai pandangan dan konsep yang berbeda daripada masyarakat yang bersifat Individualistik (Australia, Inggris, Canada maupun Amerika). Dalam masyarakat kolektivistik, individu cenderung memperhatikan kebutuhan dan minat orang lain, saling tergantung, hal pribadi kurang menonjol, emosi tergantung pada kelompok serta menekankan pada loyalitas. Masyarakat Jawa dapat dinyatakan sebagai salah satu masyarakat kolektivistik, suami istri saling tergantung, penganut kesamaan derajat suami-istri, serta menekankan pada loyalitas seperti yang dinyatakan oleh Suseno (2001, h. 16) bahwa Dalam sistem kekerabatan Jawa keturunan dari ibu dan ayah dianggap sama haknya, . . .. Daerah kebudayaan Jawa meliputi bagian tengah dan timur dari pulau Jawa, sedangkan Yogyakarta dan Surakarta dapat dinyatakan sebagai pusat kebudayaannya. Suseno (2001) menyebut orang jawa adalah orang-orang yang bahasa ibunya adalah bahasa jawa. Budaya Jawa mengajarkan tugas moral untuk menjaga keselarasan dengan tata tertib universal, oleh karena itu orang jawa selalu dituntut untuk

menjaga dan mengatur keselarasan dan keharmonisan dengan cara menjalankan

kewajiban-kewajiban sosial yang bersifat hirarkis. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang harus menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Menurut Suseno (2001) dan Mulder (1973 dan 1984) ada dua macam prinsip yang mendasari dan menentukan bentuk-bentuk konkrit semua interaksi yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam maksud untuk saling membantu (Suseno, 2001). Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan bahwa dalam prinsip kerukunan mengandung makna adanya tuntutan kesediaan untuk saling menyesuaikan. Berlaku rukun berarti usaha untuk tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada dan mencegah munculnya konflik-konflik secara terbuka. Individu dituntut untuk bersedia menomor-duakan atau bahkan melepaskan sama sekali kepentingan-kepentingan pribadi demi kepentingan bersama. Pemenuhan terhadap tuntutan tersebut dalam relasi suami-istri menujukkan adanya kesediaan untuk berkurban. Jika hal ini tidak dapat dicapai maka harus diupayakan agar pertentangan tersebut tidak pecah secara terbuka melalui beberapa alternatif yaitu (a) menyatakan ya atau inggih yang sopan dan tidak mengatakan tidak atau mboten; (b) untuk menghindari kekecewaan dengan cara berpura-pura atau ethokethok yang berarti tidak memperlihatkan perasaan yang sebenarnya terutama perasaan negatif; (c) tidak berbicara satu dengan yang lain untuk sementara waktu atau jothakan; (d) tidak berbuat apapun untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap suatu kompromi yang dipaksakan hanya demi kerukunan (Geertz dalam Suseno, 2001). Prinsip kerukunan senantiasa menuntut kerelaan-kerelaan tertentu

(kesediaan untuk berkurban). Untuk mencegah konflik seseorang harus bersedia menerima kompromi, harus seringkali rela tidak memperoleh hak sepenuhnya. Orang Jawa tidak suka mencampuri urusan orang lain meskipun banyak membicarakannya di belakang, seseorang tidak ingin terlibat persoalan orang lain karena akan menimbulkan emosi-emosi tertentu (Koentjaraningrat, 1984). Dari uraian tersebut di atas tampaklah bahwa prinsip kerukunan menuju kepada tuntutan bagi suami-istri untuk bersedia saling menyesuaikan (penyesuaian diadik) maupun kesediaan berkorban.

Prinsip hormat menunjuk bahwa setiap orang dalam berbicara dan bertingkah laku selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kefasihan mempergunakan sikap hormat yang tepat dikembangkan orang jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga, melalui mekanisme wedi, isin dan sungkan (Geertz dalam Suseno, 2001). Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terhadap ancaman pisik maupun sebagai reaksi terhadap akibat kurang enak suatu tindakan. Isin berarti rasa malu, dikembangkan pada anak dengan membuat anak malu di depan tetangga maupun di depan tamu sebagai akibat atas tindakannya yang pantas ditegur. Belajar merasa malu adalah langkah pertama untuk menuju ke kepribadian jawa yang matang. Sedangkan sungkan adalah perasaan malu dalam arti yang positif, dan bukan sebagai suatu rasa yang hendaknya dicegah. Wedi, isin dan sungkan

adalah suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan prinsip hormat (Suseno, 2001). Untuk memahami diri sendiri ajaran jawa mengajarkan pada seseorang untuk melalui lima tahapan yaitu nanding sariro yaitu membandingkan diri sendiri dengan orang lain; ngukur sariro yaitu menjadikan diri sendiri sebagai tolok ukur; tepo sariro yaitu bagaimana seseorang seharusnya memperlakukan orang lain sesuai dengan perlakuan yang pernah diterimanya; mawas diri yaitu mengamati atau niteni perasaannya sendiri, dan mulat sariro yaitu seseorang diharapkan mampu melepaskan diri dari diri sendiri, mengambil jarak agar mampu mengawasi diri sendiri (Jatman, 1985). Lima tahapan tersebut menunjukkan bahwa untuk mengembangkan diri dan mampu mengawasi diri sendiri seseorang (baik suami maupun istri) harus mempersepsikan perilaku pasangannya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan dengan latar belakang budaya Jawa mampu menciptakan interaksi suami-istri yang positif. Berhasil tidaknya mereka mengembangkan relasi yang positif tergantung dari kemampuan mereka menyelaraskan dan mengembangkan prinsip seperti telah disebutkan di atas. Dalam hidup perkawinan dengan latar belakang budaya jawa prinsip kerukunan diusahakan untuk diterapkan

sepenuhnya. Setelah menikah individu dituntut untuk bersedia mengesampingkan kebutuhan dan harapan pribadi, untuk mencapai keharmonisan. Interaksi perkawinan yang dikembangkan harus berlandaskan pada tujuan untuk

mempertahankan keharmonisan. Suami-istri diharapkan selalu rukun, selaras, serasi, tenang dan tentram, tidak pernah berselisih maupun bertengkar, selalu bersatu, siap saling membantu. Jika terdapat tanda-tanda ketegangan antar pribadi, sedapat mungkin segera dihilangkan. Pemikiran tentang relasi perkawinan antara suami-istri dalam budaya Jawa tersebut di atas, juga selaras dengan berbagai teori maupun hasil penelitian tentang intimate relationship secara lebih luas. Kebahagiaan, kepuasan dan pemenuhan terhadap harapan-harapan dalam perkawinan hanya mungkin pada penyesuaian antar pasangan yang baik, yang membawa kepada perkawinan yang membahagiakan seperti yang ada pada masyarakat banyak. Ketika muncul perbedaan-perbedaan dalam konsep dan

persepsi tentang perkawinan, problem-problem sangat mudah bermunculan. Scafer dan Keith (1991) melihat hal ini sebagai transisi peran yang utama antara nilai-nilai perkawinan, sikap dan keyakinan ketika mereka memulai hidup bersama. Sebuah studi yang dilakukan Tucker dan OGrady (1990) menghasilkan bahwa pasangan suami-istri memasuki perkawinan dengan keyakinan yang berbeda tentang kebahagiaan, mereka berbeda pula dalam harapan kebahagiaannya. Oleh karena itu komunikasi, saling berbagi dan saling berbicara bersama akan meningkatkan kebahagiaan, kepuasan dalam hidup perkawinan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa ada timbal balik yang berkembang di antara suami-istri yang menuju ke arah semakin lama semakin baik, atau semakin lama semakin buruk dan semakin jauh dari kebahagiaan. Beberapa ahli menyatakan bahwa

relasi perkawinan secara alami akan menuju ke kehancuran tanpa adanya tabungan pertukaran terus menerus (Levinger dalam Dindia dan Baxter, 1987), karena pada hakekatnya kehidupan perkawinan dari hari ke hari adalah jalinan interaksi paling tidak antara suami dan istri. Penelitian yang dilakukan oleh Wieselquist et al. (1999) menunjukkan hasil bahwa terdapat perkembangan saling timbal balik yang terus menerus berlangsung dalam interaksi atau relasi perkawinan yang diuraikannya sebagai berikut : (a) ketergantungan pada pasangan menumbuhkan komitmen yang kuat, (b) komitmen memunculkan perilaku-perilaku yang menjaga relasi, (c) persepsi terhadap perilaku-perilaku yang menjaga relasi akan memperbesar kepercayaan pasangannya dan (d) rasa percaya memperbesar kesediaan pasangan untuk tergantung pada relasi mereka berdua.

Suryomentaram (2002) mengatakan bahwa rasa bahagia, rasa enak, rasa tenteram itu menular, sebab orang yang merasa bahagia, rasa enak, tenteram akan berusaha membuat bahagia, enak, tenteram orang lain. Rasa yang menimbulkan enak mempunyai sifat ingin mengulang, sedang rasa yang menimbulkan tidak enak akan membuat jera (kapok). Oleh karena rasa enak membuat orang lain menjadi enak, maka pada gilirannya orang tersebut akan membuat enak pada diri orang yang membuat dirinya menjadi enak pula. Rasa tenteram, enak akan mendesak rasa tidak enak, dan rasa tenteram makin lama makin berkembang, sehingga akan menjadi bahagia dan tenteram bersama. Senada dengan Suryomentaram, Gymnastiar (2001) dan Walgito (2002) menyebutkan bahwa antara suami-istri seharusnyalah terjadi sikap saling. Sikap saling tersebut di atas menunjukkan bahwa antara suami-istri terjadi interaksi timbal balik yang terjadi secara terus menerus, selama pasangan ke duanya masih disatukan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka variabel-variabel dalam penelitian inipun juga saling terkait dan terus menerus saling timbal-balik, berdasar teori interdependensi (Wieselquist et al., 1999), seperti tergambar dalam diagram berikut :

Kepuasan Perkawinan Istri

Persepsi Istri *

Komitmen istri

Penyesuaian Diadik Suami

Kesediaan Berkorban Suami

Kesetaraan Pertukaran Suami

Penyesuaian Diadik Istri

Kesediaan Berkorban Istri

Kesetaraan Pertukaran Istri

Komitmen Suami

Persepsi Suami *

Kepuasan Perkawinan Suami

Gambar 1. Interaksi siklis dalam perkawinan.

Diagram tersebut di atas menunjukkan bahwa antara suami dan istri terjadi interaksi yang terus menerus saling timbal-balik (cyclical). Meskipun bersifat terus menerus dan saling timbal-balik namun dapat diduga bahwa ujung siklus tersebut adalah komitmen perkawinan. Sepasang suami-istri pada saat penanda-tanganan akad nikah yang juga sebagai tanda diawalinya hidup perkawinan, sesungguhnya mereka berdua secara aklamasi menyampaikan komitmen tentang pilihan pasangan hidup dan komitmen hidup bersama sehidup semati menuju kebahagiaan mereka berdua. Oleh karena itu, guna analisis statistik penelitian maka siklus tersebut dipotong menjadi dua bagian yang diawali dengan komitmen perkawinan sebagai awal dari siklus hidup perkawinan, seperti yang ada pada hipotesis yang dituangkan dalam diagram berikut ini :

Penyesuaian diadik Istri Kesediaan Berkorban Istri Kesetaraan Pertukaran Istri Persepsi Suami terhadap Perilaku istri Kepuasan Perkawinan Suami

Komitmen Perkawinan Istri

Gambar 2. Diagram jalur kepuasan perkawinan suami. Hipotesis 1 : Ada keterkaitan antara Komitmen Perkawinan istri, Penyesuaian diadik, Kesediaan Berkorban serta Kesetaraan Pertukaran dari pihak istri dengan Persepsi suami terhadap Perilaku Pasangan dan Kepuasan Perkawinan pada suami.
Penyesuaian diadik Suami Komitmen Perkawinan Suami Kesediaan Berkorban Suami Kesetaraan Pertukaran Suami Persepsi Istri terhadap Perilaku Suami Kepuasan Perkawinan Istri

Gambar 3. Diagram jalur kepuasan perkawinan istri

Hipotesis 2 : Ada keterkaitan antara Komitmen Perkawinan suami, Penyesuaian diadik, Kesediaan Berkorban maupun Kesetaraan Pertukaran dari pihak suami dengan Persepsi Istri terhadap Perilaku Pasangan serta Kepuasan Perkawinan dari pihak istri.

METODE Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan melibatkan enam variabel yaitu kepuasan perkawinan (variabel tergantung/endogen); komitmen perkawinan (variabel bebas/eksogen); serta empat variabel antara (causal vatiable) yaitu penyesuaian diadik; kesediaan berkurban; kesetaraan pertukaran dan persepsi terhadap perilaku pasangan.

Subyek Penelitian. Populasi adalah pasangan suami-istri bersuku jawa dari daerah Kabupaten Bantul yang tinggal bersama dalam satu rumah, minimal telah memiliki satu anak dengan usia perkawinan lebih dari satu tahun. Dari 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Bantul diambil secara random sebanyak lima kecamatan dan yang terpilih adalah Kecamatan Bantul kota, Kecamatan Sewon, Kecamatan Kasihan, Kecamatan Imogiri serta Kecamatan Dlingo. Jumlah sampel telah ditetapkan sebanyak 120 pasang suami-istri (240 orang), dan masing-masing kecamatan diambil secara random sebanyak 24 pasangan yang ditentukan dari pengambilan secara random dari Kartu Keluarga.

Alat Pengumpul Data. Pengumpulan data untuk keenam variabel kesemuanya dilakukan dengan alat ukur model skala dengan empat pilihan jawaban. Pengujian terhadap validitas skala meliputi dua tahap yaitu validitas isi dan validitas konstrak. Validitas konstrak dilakukan dengan menunjukkan kemampuan daya beda dari hasil pengukuran terhadap dua kelompok yang secara teoritis memang memiliki perbedaan dalam konstrak yang diukur. Ke dua kelompok tersebut adalah Kelompok pasangan yang hendak bercerai (44 pasang) dan pasangan yang relasi keluarganya terbina dengan baik yaitu kelompok Marriage Encounter (40 pasang). Pasangan yang hendak bercerai diambil berdasarkan data yang ada di Pengadilan Agama Kabupaten Bantul. Hasil pengujian menunjukkan validitas yang meyakinkan pada keenam alat ukur tersebut, yaitu pasangan yang hendak bercerai menunjukkan hasil/skor pengukuran yang rendah sedangkan pasangan yang terbina dengan baik menunjukkan hasil/skor pengukuran yang tinggi pada semua alat ukur.

Analisis Data.

Data yang diperoleh dari skala pengukuran berupa data kuantitatif hendak dianalisis dengan teknik analisis model persamaan (structural equation model), khususnya path analysis (analisis jalur) yang terdiri dari satu endogenous variable (variabel tergantung), empat variabel antara serta satu exogenous variable (variabel bebas). Dalam penelitian ini keenam variabelnya adalah manifest variable yaitu variabel yang diperoleh data hasil pengukurannya dan bukannya latent variable (Pedhazur, 1982).

HASIL Karakteristik subyek. Subyek peneltian ini direncanakan sejumlah 120 pasangan suami-istri, namun karena terdapat dua orang subyek yang datanya menyimpang jauh dari kelompoknya (out-liers) maka dua subyek tersebut dihapus dari data keseluruhan. Jumlah subyek dengan demikian tinggal 118 pasang suami-istri, dengan karakteristik sebagai berikut :

Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian. Usia Usia kronologis Perkawinan Rata-rata 38,01 16,81 Minimum 17 1 Maksimum 61 41

Jumlah Anak 2,22 1 6

Pendidik (dalam tahun) 10,08 5 (Klas 5 SD) 16 (Lulus Sarjana)

Hasil Analisis. Sebelum dilakukan analisis jalur, dilakukan uji asumsi-asumsi yang mendasari analisis jalur, yaitu (1) hubungan antar variabel yang dianalisis adalah linear, additive dan causal; (2) variabel residu tidak berkorelasi dengan variabelvariabel yang mendahului; (3) data semua variabel adalah interval; serta (4) reliabilitas alat ukur minimal adalah 0,8. Syarat tersebut di atas secara rasional dan empiris adalah terpenuhi. Hasil indeks pendukung dalam pengujian hipotesis yang pertama dapat dilihat dari tabel uji goodness-of-fit berikut :

Tabel 2. Evaluasi kriteria goodness-of-fit hipotesis pertama Goodness of fit index Cut-off value Hasil dari Model Keterangan

Chi Square probability RMSEA GFI AGFI CMIN/DF TLI CFI

0,05 0,08 0,90 0,90 2,00 0,95 0,96

0,0001 0,215 0,871 0,662 0,414 0,468 0,716

Tidak baik Tidak baik Tidak baik Tidak baik Tidak baik Tidak baik Tidak baik

Dari hasil tersebut diatas, maka hipotesis pertama ditolak, oleh karena itu dilakukanlah modifikasi terhadap model yang diajukan. Hasil pengujian terhadap hipotesis yang ke dua menunjukkan hal yang serupa, dan secara lengkap dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 3. Evaluasi kriteria goodness-of-fit hipotesis kedua Goodness of fit index Chi Square probability RMSEA GFI AGFI CMIN/DF TLI CFI Cut-off value 0,05 0,08 0,90 0,90 2,00 0,95 0,96 Hasil dari Model 0,0001 0,245 0,848 0,600 8,039 0,494 0,730 Keterangan Tidak baik Tidak baik Tidak baik Tidak baik Tidak baik Tidak baik Tidak baik

Seperti halnya hipotesis pertama, ternyata hipotesis ke duapun ditolak, dan tidak ada data pendukung yang menunjukkan hasil yang fit dengan data empirisnya. Berdasarkan hasil tersebut maka diperlukan modifikasi terhadap model. Berdasar hasil uji hipotesis tersebut di atas yang menunjukkan hasil yang tidak baik (modelnya tidak diterima), maka dilakukan modifikasi dan ditemukan bahwa model adalah fit apabila : (1) menghilangkan variabel persepsi terhadap perilaku pasangan; (2) menambah arah jalur dari variabel kesediaan berkurban menuju ke variabel penyesuaian diadik; serta (3) merubah jalur dari variabel kesetaraan pertukaran menuju ke penyesuaian diadik. Berdasar prosedur di atas dan dengan mempertimbangkan koefisien regresi yang terbobot maka diperoleh model yang paling fit untuk model kepuasan perkawinan suami sebagai berikut :

Penyesuaian diadik Istri

Komitmen Perkawinan Istri

Kesediaan Berkorban Istri

Kepuasan Perkawinan Suami

Kesetaraan Pertukaran Istri

Gambar 4 : Model fit untuk Kepuasan Perkawinan Suami. Model tersebut diatas memiliki hasil indeks pendukung yang dapat dilihat dari tabel uji goodness-of-fit berikut :

Tabel 4. Evaluasi kriteria goodness-of-fit hipotesis pertama Goodness of fit index Chi Square probability RMSEA GFI AGFI CMIN/DF TLI CFI Cut-off value 0,05 0,08 0,90 0,90 2,00 0,95 0,96 Hasil dari Model 0,229 0,044 0,988 0,939 1,223 0,979 0,994 Keterangan Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik

Kekuatan efek penyebab terbakukan setiap variabel terhadap kepuasan perkawinan suami dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 5. Efek penyebab terbakukan setiap variabel terhadap kepuasan perkawinan suami Variabel Efek tidak Efek Efek total langsung langsung Komitmen perkawinan istri 0,298 0,298 Kesediaan berkurban istri 0,127 0,198 0,325 Penyesuaian diadik istri 0,456 0,456 Kesetaraan pertukaran istri 0,059 0,059 Modifikasi terhadap hipotesis ke dua diperoleh hasil yang paling fit dapat dilihat dari gambar berikut :
Penyesuaian diadik Suami

Komitmen Perkawinan Suami

Kesediaan Berkorban Suami

Kepuasan Perkawinan Istri

Gambar 5. Model fit untuk kepuasan perkawinan istri. Model tersebut diatas memiliki hasil indeks pendukung yang dapat dilihat dari tabel uji goodness-of-fit berikut :

Tabel 6. Evaluasi kriteria goodness-of-fit hipotesis pertama Goodness of fit index Chi Square probability RMSEA GFI AGFI CMIN/DF TLI CFI Cut-off value 0,05 0,08 0,90 0,90 2,00 0,95 0,96 Hasil dari Model 0,432 0,001 0,993 0,965 0,234 1,030 1,000 Keterangan Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik

Kekuatan efek penyebab terbakukan setiap variabel terhadap kepuasan perkawinan suami dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 7. Efek penyebab terbakukan setiap variabel terhadap kepuasan perkawinan suami Variabel Efek tidak Efek Efek total langsung langsung Komitmen perkawinan suami 0,395 0,395 Kesediaan berkurban suami 0,205 0,205 Penyesuaian diadik suami 0,648 0,648 BAHASAN Perlu diingat bahwa subyek penelitian adalah masyarakat Jawa yang tinggal di Kabupaten Bantul, sedangkan kecamatan yang terambil relatif adalah daerah pedesaan. Berdasar pemahaman karakteristik subyek tersebut maka bahasan terhadap hasil penelitian disampaikan. Model kepuasan perkawinan istri yang lebih sederhana mencerminkan kesederhanaan tuntutan hidup perempuan Jawa. Dalam budaya Jawa seorang istri lebih banyak dituntut daripada mengajukan tuntutan, seorang istri dituntut untuk memberikan teladan, menciptakan keadilan dan kedamaian bagi suami dan keluarga, atau seorang istri menciptakan surga bagi suami dan keluarga (Herusatoto dan Dirdjoatmadja, 2004). Dalam tradisi Jawa ketika seorang remaja putri setelah menikah, dapat dikatakan bahwa ia sudah tidak memiliki dirinya sendiri, karena dirinya telah menjadi milik suami. Zaman dahulu perempuan ketika dinikahkan oleh orang tuanya kadang belum mengenal calon suaminya, namun begitu dinikahkan tampaknya perempuan Jawa menyatakan komitmennya, berusaha mencintai suaminya, dan muncul istilah tresno jalaran soko kulino (cinta karena biasa bertemu). Berkaitan dengan itu kepada perempuan diajarkan sikap nrima, iklas, rila, tanpa pamrih dan prasaja (Melalatoa, 1995). Bahkan ketika perempuan merias diripun, dia merias semata-mata untuk suaminya dan bukan untuk eksistensi diri. Model fit (yang paling cocok) hasil modifikasi diagram suami tersebut di atas menunjukkan hakekat sikap wanita jawa terhadap suaminya. Secara rohaniah seorang istri dalam budaya Jawa adalah garwa, sigaring nyawa (belahan jiwa suami). Perkawinan bagi seorang perempuan Jawa adalah penyerahan secara total atas raga dan jiwanya kepada suami untuk menjadi indung (induk) atau empu (yang menjadi pangkal), kang ngayani bathin (yang memberi nafkah bathin) dan

menjadi ratuning kaluwarga (ratu rumah tangga) (Herusatoto dan Dirdjoatmadja, 2004). Dalam serat Centini, ajaran Nyi Hartati kepada anak perempuannya Rancangkapti tentang kias lima jari tangan tampak bahwa ajaran tersebut mempunyai kecenderungan melemahkan kedudukan perempuan (Murniati, 1992). Ajaran tersebut menuturkan bahwa : (1) jempol atau ibu jari berarti pol ing tyas, Seorang perempuan sebagai istri harus berserah diri sepenuhnya kepada suami, (2) Penuduh atau telunjuk berarti jangan sekali-kali berani mematahkan tudhung kakung (petunjuk suami), (3) Penunggul atau jari tengah berarti selalu mengunggulkan dan meluhurkan suami dan menjaga mertabat, (4) Jari manis berarti tetap manis raut mukanya dalam melayani suami bila suami menghendaki sesuatu, (5) Jenthik atau kelingking berarti seorang istri harus selalu athak-ithik (terampil dan banyak akal) dalam segala kerja melayani suami. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa para perempuan diletakkan pada martabat yang lebih rendah daripada laki-laki atau para suami, namun fenomena tersebut sudah banyak bergeser terutama pada para perempuan masyarakat Jawa yang sudah lebih modern, mandiri dan terdidik dan yang tinggal diperkotaan. Pada saat ini perempuan sudah tidak mau lagi diangkat sebagai istri selir atau istri kedua. Pergeseran budaya Jawa tercermin pula dengan adanya dikotomisasi dunia publik dan privat serta adanya tuntutan harmonisasi antara keduanya (Sciortino dalam Hasyim, 2000). Perempuan dalam dunia publik saat ini telah memiliki kebebasan untuk berperan serta dalam berbagai kegiatan di luar rumah, menjadi anggota dan memimpin organisasi, memimpin perusahaan bahkan menjadi anggota DPR, namun ketika pulang ke rumah, kembali ke dunia privat, sebagian masih dituntut untuk mengurus tugas-tugas rumah tangga. Hal tersebut berarti pula bahwa sebagian masyarakat masih menganggap perempuan sebagai konco wingking yang bertanggungjawab terhadap urusan domestik dan laki-laki tetap menjadi pemimpinnya. Domestifikasi tersebut diperkuat secara formal oleh Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang ditujukan untuk melindungi kaum perempuan namun kenyataannya adalah bias gender. Pasal 31 ayat (3) yang berbunyi suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga

Menunjukkan dan menghendaki bahwa posisi isteri sebagai subordinasi suami. Lebih jauh lagi pasal 34 ayat (1) yang tertulis suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya, serta ayat (2) isteri wajib mengatur rumah tangga sebaik baiknya secara jelas menuntut para istri bertanggungjawab urusan domestik. Suryomentaram (2002) mengatakan bahwa hubungan suami-istri adalah hidup dalam ukuran ke empat yaitu hubungan manusia dengan benda hidup yang memiliki perasaan. Hubungan ini menuntut manusia untuk mengerti tentang perasaan, mampu membedakan rasa enak dan tidak enak. Rasa enak memiliki sifat untuk mbaleni (mengulang), sedang rasa tidak enak memiliki sifat mengapokkan (membuat jera). Rasa enak mendatangkan rasa tenteram, dan rasa tenteram bersifat menular karena orang yang merasa tenteram berusaha menenteramkan orang lain. Demikian pula dalam hubungan suami-istri, seorang istri yang merasa enak-tenteram akan berusaha mengenak-tenteramkan

suaminya, karena rasa enak dan tenteram tersebut akan terpancar dalam perilakunya dalam berhubungan dengan suaminya. Suami yang melihat perilaku istri yang mengenakkanpun pada gilirannya juga akan merasa enak dan tenteram, sehingga pada akhirnya suami-istri akan merasa enak dan tenteram bersama. Suami-istri yang ingin memelihara serta mengembangkan relasi yang harmonis harus rela suatu saat memberi dengan tulus namun pada saat lain menerima pemberian pasangannya. Seorang suami suatu saat berbicara secara seksama, namun pada saat lain bersedia pula mendengarkan perkataan istrinya dengan penuh perhatian. Hal ini merupakan hakekat yang paling mendasar dari komunikasi, yaitu pada suatu saat seseorang menjadi source di saat lain menjadi receiver. Relasi yang baik juga dapat terpelihara dengan adanya penyegaran baik dengan bergantian peran maupun dengan adanya pembaharuan.

SIMPULAN Berdasarkan analisis data dan bahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Dinamika kepuasan perkawinan istri lebih sederhana daripada suami; (2) Dinamika kepuasan perkawinan suami adalah : Jalur pertama, berawal dari komitmen perkawinan istri yang berpengaruh terhadap penyesuaian diadik, dan kesediaan berkurban istri, kemudian kedua variabel tersebut berpengaruh secara

langsung pada kepuasan perkawinan suami. Jalur kedua, berawal dari komitmen perkawinan istri yang berpengaruh terhadap kesediaan berkurban dan kesetaraan perkawinan istri, melalui penyesuaian diadik berpengaruh pada kepuasan perkawinan suami. (3) Dinamika kepuasan perkawinan pihak istri adalah : jalur pertama, berawal dari komitmen perkawinan suami berpengaruh ke penyesuaian diadik suami dan penyesuaian diadik suami berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan istri. Jalur kedua, berawal dari komitmen perkawinan suami berepengaruh ke kesediaan berkurban suami, dan melalui penyesuaian diadik berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan istri.

DAFTAR ACUAN Badan Pusat Statistik (BPS). 2001. Statistik Indonesia. Jakarta : Badan Pusat Statistik-Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS). 2003. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka. Yogyakarta : Badan Pusat Statistik. Baron, RA & Byrne D. 1997. Social Psychology. Needham Heights, M : Allyn & Bacon. Bouchard, G; Sabourin, S; Lussier Y; Wright J & Richer, C. 1998. Predictive validity of coping strategies on marital satisfaction : Crossectional and longitudinal evidence. Journal of Family Psychology. March, Vol.12 (1) : 112 131. Carey, MO; Spector, IP.; Lantinga, LJ & Krauss, DJ. 1993. Reliability of the dyadic adjustment scale. Assessment psychology. June, Vol 5 (2) 238 240. Dindia K & Baxter, L. 1987. Strategies for maintaining and repairing marital relationships. Journal of social and Personal Relationship. 4 : 143 158. Gymnastiar, A. 2001. Menuju Keluarga Sakinah. Bandung : MQS Pustaka Grafika Herusatoto, B & Digdoatmadja, S.,2004. Seks Para Leluhur : Merancang Keturunan Berkualitas Lewat Tata Sanggama ala leluhur Jawa. Yogyakarta : Tinta. Heymans,RE; Feldbau-khan,SR; Ehrensaft, MK; Langhinrichsen, RJ & OLeary, KD, 2001. Can questionaire report correctly classify relationship distress and partner physical abuse ?. Journal of Family Psychology. June, Vol.. 15 (2) : 334 346. Janetus, T. 2002. Marriage and marital adjustment. Error! Hyperlink reference not valid..

Kurdek, LA. 1992. Diemensionality of the dyadic adjustment scale : Evidence from heterosexual and homosexual couples. Journal of Family Psychology. September, Vol 6 (1) : 22 35. Litle, GR. 1999. A theeory of percepsion. http://www.griphilosophy.co.nz Mulder, N. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Mulder, N. 1984. Kebatinan dan sikap sehari-hari orang Jawa. Jakarta : PT Gramedia. Murniati, AP. 1992. Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa). Yogyakarta : Kanisius. Pedhazur, EJ. 1982. Multiple regression in behavioral research : explanation and prediction. New York : Holt, Rinehart and Winston. Schafer, RB.; & Keith,PM. 1991. Self Esteem agreement in marital relationship. The Journal of Social Psychology. 132, Vol. 1: 5 9 Stafford, L. & Canary, DJ. 1992. Maintenance strategies and romantic relationship type, gender, and relational characteristics. Journal of Social and Personal Relationships. 8 : 217 242. Suryomentaram, KA. 2002. Falsafah hidup bahagia : Jalan menuju aktualisasi diri. (dialih bahasakan oleh : Suastika, KO; Suryomentaram KG; Atmosentono, KM) Jakarta : Grasindo. Suseno, FM. 2001. Etika Jawa : Sebuah analisis falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Tucker MW & O Grady KE. 1990. Effects of physical attractiveness, intelligence, age at marriage and cohabition on the perception of marital satisfaction. The Journal of Social Psychology. 131 (2) : 253 -269. Van Lange P., Drigotas, SM; Rusbult, CA.; Ariaga XB; & Witcher, BJ. 1997a. Willingness to sacrifice in close relationship. Journal of Personality and Social Psychology. Vol 72, No : 6, 1373 1395. Van Lange P., Agnew CR; Harinck F; & Steemers, GEM. 1997b. From game theory to real life : How social value orientation effects willingness to sacrifice in on going relationship. Journal of Personality and Social Psychology. Vol 73, No : 6, 1330 1344. Walgito, B. 2002. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta : Penerbit Andi.

Wieselquist, J.; Rusbult, C.A.; Foster, C.A. & Agnew,C.R. 1999. Commitment, prorelationship behavior, and trust in close relationships. Journal of Personality & Social Psychology. Nov. Vol 77 (5) 942 966.

Potrebbero piacerti anche